webnovel

9. Hanasta Ryden Niskala

🍁🍁🍁

Di sekolah dipanggil Nasta dan Ryden panggilannya ketika di rumah, namun Ryden lebih suka memanggil dirinya sendiri dengan nama Yaden karena Bunda Saras yang memberi panggilan tersebut. Lingga tak pernah membiarkan ia berjalan sendirian, ada kalanya ia terkejut ketika Lingga ada disampingnya juga Assel yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Laki-laki yang merasa bertanggung jawab atas kakak dan adiknya ini sebenarnya cengeng, hanya saja Ryden tak mau mengakuinya. Ia pandai mengatur ekspresi wajahnya menjadi datar.

Ryden mengikuti jejak Gifya yang suka menyendiri dan membaca buku sambil mendengarkan musik lewat headphone miliknya, ia tak pernah terlihat bersama perempuan lain kecuali keenam saudaranya. Hobinya membaca buku di perpustakaan kota yang terkadang HP-nya ia silent sampai membuat orang rumah khawatir. Persis seperti Gifya.

Hanya dia yang bisa membuat Lunar masak mie ditengah acaranya menonton televisi, jangan harap ia mau memasakkan tiga kembarannya. Anak itu termasuk kalem di sekolah, ia jarang berbaur dengan yang lain dan memilih berada di perpustakaan. Temannya pun tak sebanyak Lingga yang dikenal semua orang bahkan guru-guru atau Assel yang ketika berjalan saja banyak yang menyapanya, sang primadona yang banyak disukai para murid.

Ia berada di tim futsal sekolah sebagai pemain cadangan namun lebih sering di ruang musik untuk bermain piano. Ia suka sekali mengajak Rheana jalan-jalan karena bersama gadis itu ia tak mengeluarkan uang sepeser pun. Ada kalanya ia bermain basket bersama Harsa yang membuat Yasha marah pada sahabatnya itu karena saking seringnya membawa ketiga adik laki-lakinya pergi.

Ia bersyukur walaupun tak pernah masuk lima besar Gama tak pernah menuntut anak-anaknya, ia juga tak peduli apa kata orang-orang ketika membandingkan ia dan kedua kembarannya yang selalu masuk peringkat paralel. Laki-laki yang hidupnya hanya tentang musik itu tak tertarik menjalani hubungan seperti kebanyakan teman-temannya, toh ia masih senang menganggu adik bungsunya ketimbang pusing memikirkan perempuan dan berujung uring-uringan seperti temannya itu. Apalagi melihat tingkah Lingga yang suka menggombal makin kesal lah dia. Ryden yang pemikirannya terkadang lebih dewasa dari anak seumurannya.

_________

Ryden berjalan dengan langkahnya yang terbilang buru-buru itu hampir saja menabrak seseorang, untungnya keduanya tak ada yang jatuh. Kepalanya yang masih pusing membuatnya menggeram kesakitan.

"S--sorry gue nggak sengaja, gue tadi buru--"

BRUKK

Ryden tersungkur dengan darah menetes dari sudut bibirnya, laki-laki itu meringis merasakan sakit. Ia menutup wajahnya ketika seseorang yang tak ia kenal memukul wajahnya. Tak sempat melakukan perlawanan hingga ia tak bisa berbuat apa-apa selain melindungi dirinya.

"Jangan berurusan sama kita kalo elo nggak bisa berantem! NGERTI GAK LO!!" Laki-laki berbadan besar itu menarik rambut Ryden dan meninggalkannya begitu saja

"Sial," Ryden meringis mencoba berdiri, ia menutupi kepalanya dengan tudung Hoodie yang untungnya ia pakai hari ini, laki-laki itu berjalan menuju ke UKS tak peduli tatapan murid lain juga bisikan yang selalu ia dengar ketika sendirian

"Padahal Mada jago berantem kok kembarannya nggak bisa sih? Katanya kembar."

"Nggak terkenal, nggak pinter, muka juga pas-pasan nggak kaya Mada."

"Apa sih yang dia bisa? Seorang pemain cadangan yang lebih tepatnya tukang anter minuman wkwk."

"Nggak ada gunanya juga sih adanya dia apa enggak, percuma ganteng kalo nggak berbakat,"

Ryden menulikan pendengarannya seolah tak mendengar apapun sepanjang jalannya menuju ke UKS, menghela nafasnya ketika kembali lagi ke tempat ini. Laki-laki itu menutup pintu dengan pelan dan mencari letak kotak p3k. Saking seringnya masuk ke UKS ia sampai hafal dengan letak barang yang ada disini.

Dengan perlahan ia mengobati sudut bibirnya yang sobek sambil menatap kaca yang berada disamping pintu, ia meringis menahan perih, dering ponsel tak ia pedulikan saking fokusnya. Hingga suara pintu yang didobrak membuat jantungnya berpacu lebih cepat, belum sempat ia bertanya tubuhnya sudah didorong hingga menubruk meja. Baru saja diobati lukanya kembali bertambah. Ryden hanya bisa memejamkan matanya ketika kerah seragamnya ditarik.

"LO BUDEK YA? ATAU SENGAJA? BERANI LO NGGAK JAWAB TELEPON GUE HAH?!!"

"Gue nggak tau ada telepon, lagian ngapain sih pake nelepon segala, bukannya sholat dhuhur." Ryden menepis tangan laki-laki yang merupakan kakak kelasnya itu, pentolan kelas 9 F yang terkenal bandel dan sialnya satu tim futsal dengannya

"UDAH BERANI LO SAMA GUE?! DASAR CUPU!" Rizal mendorong tubuh Ryden hingga jatuh tersungkur, ia melepaskan sepatunya untuk dilemparkan pada Ryden, tentu saja anak buahnya mengikuti

"Beliin kita minuman dan anterin ke latihan atau gue patahin tangan lo. Mada nggak ada jadi elo nggak ada alasan buat nolak perintah gue kan cupu?"

Ryden hanya berdehem tanpa minat, wajahnya datar saja menatap mereka, ia berdiri untuk membersihkan Hoodie yang kotor lalu menendang sepatu-sepatu tersebut sebelum berlari pergi.

"MATI AJA LO NJ*NG,"

Ryden tak peduli, ia hanya berjalan dan terus berjalan tanpa arah bahkan tak sadar sudah berada di depan sekolah. Matanya menatap Lingga yang tengah duduk bersama dengan teman-temannya didepan sebuah warung, ia menghela nafas, kembarannya tak boleh melihatnya terluka seperti ini.

"HANASTA!"

Ryden memejamkan matanya saat Kevin memanggil, ia menoleh saat teman sekelasnya menyeberang dan menyodorkannya seplastik makanan. "Apa?"

"Makanan."

Ryden menatap datar laki-laki berkacamata itu. "Dari siapa dan buat siapa?"

Kevin menganggukkan kepalanya mengerti, "Ini cilung, dari Mada buat elo katanya nunggu kue pancong nggak datang-datang jadi dia beliin ini dulu, oh, katanya juga elo jangan marah-marah lagi, dia stress noh,"

Ryden melirik Lingga yang melambaikan tangan dengan heboh kearahnya, tak habis pikir dengan buaya yang terkenal cuek pada sekitar itu. Entahlah, Ryden bingung pada kembarannya sendiri.

"Thanks ya, jangan mau direpotin Lingga,"

"Santuy, kita temenan kok, jadi nggak papa, elo boleh banget gabung kita kalo elo mau, temennya Mada juga temen lo kok," Kevin menepuk-nepuk pundak Ryden sebelum kembali menyeberang jalan untuk duduk bersama teman-temannya

Kalau boleh jujur Ryden iri dengan kembarannya yang satu itu, pandai bergaul, pintar, disukai semua orang dan yang paling penting Lingga punya temen-teman yang menerimanya apa adanya, sangat berbanding terbalik dirinya yang suka menyendiri dan tak mengenal temen sekelasnya.

***

"Telat lagi?"

Ryden hanya terdiam tak peduli, ia menaruh tasnya di bangku sebelum menyerahkan dua plastik berisi minuman dingin pada mereka. Tentu dengan wajah datarnya.

"Nggak bisa ngomong ya lo? Kalo ada yang ngomong sama lo tuh dijawab bukan sok keras begini!" Rizal selalu ketua tim futsal menarik seragam yang Ryden pakai

"Eh, sudah sudah! Kalian ini apa-apaan sih? Jangan berantem ya! Rizal, kamu udah mau lengser kenapa masih ikut latihan? Bukannya bapak bilang anak kelas 9 harus fokus sama ujian besok?"

Tak ada yang berani menjawab ketika Pak Farhan berbicara, pria paruh baya itu menyuruh semua anak didiknya untuk duduk di tengah lapangan, mengarahkan mereka semua untuk jalannya ekstra setelah kenaikan kelas nantinya.

"Dan bapak mau Ryden yang menggantikan Rizal nantinya."

Bukan hanya mereka yang terkejut mendenganya namun Ryden juga sama terkejutnya. Laki-laki itu tak pernah memimpikan menjadi seorang kapten yang jika dibayangkan sudah seberapa besar tanggungjawabnya. Bisikan-bisikan membuatnya menundukkan kepalanya.

"Pokoknya keputusan saya sudah bulat dan silahkan pulang, semangat untuk ujian kalian dan jangan lupa belajar."

"Bisa kok, bisa!" Anton menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu, ia tersenyum menyakinkan Ryden. "Ayo pulang. Besok kita stress bareng ujian."

"Besok masih Minggu, santai dikit."

"Matamu!"

Rydem terkekeh melihat wajah kesal Anton, mereka berdua berjalan bersama setelah mengambil tas yang mereka letakkan di bangku. Langkah keduanya terhenti saat gerombolan anak 9F menghadang mereka.

"Mau apa lagi sih kalian? Besok ujian, budek ya?"

Anton melotot kaget mendengar ucapan Ryden yang tidak ada takutnya itu. Ia tersenyum kikuk pada kakak kelas yang tiba-tiba merangkul bahunya. "Hehee Kak.."

"Manusia lemah begini mau jadi ketua gantiin gue? Yang bener aja." Tawa mereka mengudara membuat Ryden diam-diam mengepalkan tangannya

"Nendang bola aja jatuh disuruh mimpin."

Ryden melirik Anton sebelum menarik tangan laki-laki itu untuk pergi. Tak mempedulikan ejekan mereka yang makin membuat dadanya sesak dan emosi secara bersamaan.

"Gak usah dengerin mereka den, lo keren kok."

"Dulu, kayanya.."

"Sekarang masih keren bjirr elo aja yang gak sadar.. cuma kurang pede aja kata gue mah,"

"Kapan gue pede lagi ya?"

"Bisa kok! Asal lo mau aja, nggak usah insecure lah. Bapak lo kaya, punya Kakak cantik-cantik, kembaran lo pintar dan elo punya Adik yang nggak bisa jauh-jauh dari lo. Emang mereka punya? Kagak lah! Hidup lo mendekati sempurna den, kalo banyak yang iri berarti mereka pengen jadi lo. Sekarang yang harus lo lakuin adalah balikin kepercayaan diri lo lagi."

"Kalo nggak bisa?"

***

"Kenapa sih pake berantem segala, lo tuh dibilangin buat nggak bandel sama Daddy, masih aja bandel. Berantem sama siapa lagi lo?"

Ryden hanya melirik Assel yang tengah mengobati luka di sudut bibir Lingga, entah ada apa tiba-tiba Assel meneleponnya untuk segera ke UKS. Padahal mereka sudah janjian untuk bertemu di warung Seblak karena gadis itu makan di sana. Begitu sampai di UKS yang ia lihat Lingga tampak kacau dengan keadaan baju berantakan dan sudut bibir yang sobek, senyuam lebar sang kembaran benar-benar membuatnya jengkel.

"Rizal gak sih namanya? Aduh, gue paling bego ingat nama orang nih,"

Kini Ryden menatap sang kembaran dengan wajah serius namun di mata Lingga anak itu menatapnya dengan wajah datar seperti biasanya.

"Yang anak futsal itu loh, yang sksd sama gue."

"Kok bisa?" Assel dengan perlahan mengobati luka di sudut bibir sang kembaran

"Ssel, pelan-pelan atuh lah.. sakit tau."

"Ya makanya jangan gerak mulu!" Gadis itu menabok pelan punggung Lingga yang meringis

"Gue tiba-tiba pengen nonjok dia, mungkin karena muka dia tengil kali ya jadi gue tonjok aja,"

"Nggak lucu!" Kesal Assel, gadis itu pamit sebentar untuk menaruh kembali kotak p3k tersebut sekaligus mencuci tangan

Kedua laki-laki kembar itu tak ada yang mengeluarkan suaranya, sibuk dengan pikirannya masing-masing atau hanya Ryden saja yang merasa begitu, beberapa kali ia melirik Lingga yang tengah merebahkan diri dengan kaki naik ke meja.

"Gue nggak papa kok, santuy."

Ryden memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Sangat menyebalkan jika tertangkap basah tengah memperhatikan seseorang.

"Harusnya lo bilang sama gue dari awal, nggak capek nahan selama setahun ini?"

"Cuma dilempar sepatu kok,"

Lingga berdecih, dugaannya tak pernah meleset menebak laki-laki yang merupakan kembarannya itu. "Lo pikir gue percaya? Setahun gue perhatiin elo ya, berulang kali gue bilang untuk nggak terlalu baik sama orang. Kalo dari awal lo enggak nurut sama mereka ujungnya nggak akan gini,"

"Terus gimana? Gue mati kah di kelas 7 kena bully satu sekolah? Gue cuma perlu bersabar sedikit lagi kok, mereka bentar lagi lulus."

"Lo yakin mereka lulus? Serius lo yakin begitu?"

Ryden hanya diam saja membuat Lingga menghembuskan nafasnya. "Makhluk kaya dia kalo lulus juga bakal berbuat semena-mena di tempat baru,"

"Terus lo ngapain? Balasin dendam gue?"

"Iya lah, enak aja bikin kembaran gue menderita selama setahun ini, gue bikin pincang kakinya,"

"Kalingga!"

"Ryden!"

"Stop ikut campur sama urusan gue bisa gak sih?!"

"Mohon maaf aja nih, gue nggak bisa diem aja liat orang-orang bikin elo sakit, lo nggak mikirin gue sama Assel kah yang tiba-tiba badannya sakit padahal nggak bertingkah? Sampai sini elo nggak paham? Kita kembar nyet, apa yang elo rasain juga kita rasain, sesak kan dada lo sekarang?"

Ryden menahan nafasnya, apa yang dikatakan Lingga ada benarnya. Ia memegang dadanya yang terasa sesak bagai tak mendapat oksigen sedikitpun, saking berlarutnya kejadian demi kejadian ia seakan lupa jika kembarannya juga bisa merasakan apa yang dirasakannya.

"Sesusah itu yang kita jadi Kak kembar yang apa-apa ngomong, ngadepin semuanya bareng-bareng, sekecil apapun masalahnya yang gue tau pasti Kak kembar ngomong. Kita nggak bisa ya sedikit aja niru mereka?"

Tak ada yang bersuara kecuali kipas angin yang berputar dan Assel yang tak jadi kembali karena ikut menahan sesak, gadis itu memilih duduk di sofa tak jauh dari mereka.

"Maaf,"

Lingga menolehkan kepalanya menatap Ryden yang berjalan kearahnya dengan wajah tertunduk.

"Lo berantem cuma demi gue yang nggak berani sendirian ini,"

"Jadi baik itu nggak salah kok, tapi tetap pada porsinya, bedain juga mana yang wajar sama enggak, bukan kesalahan elo kalo nolak perintah orang."

"Sekarang gue harus apa? Lo-- luka karena gue,"

Lingga menahan senyumnya saat Ryden memeluknya sambil menangis, tangannya terulur untuk mengelus rambut sang kembaran. "Ya nggak gimana-gimana, gue yang akan cerita ke Daddy kalo udah siap nantinya, walaupun gue yakin Daddy selalu tau apa yang terjadi sama anak-anaknya. Jangan nangis kek, elo jelek tau."

"Kita kembar, berarti elo jelek juga,"

"Anj-- hehee," Lingga tersenyum lebar saat Assel masuk menenteng tas mereka, gadis itu menjatuhkan tas dan memeluk keduanya dengan Ryden yang berada di tengah

"Udahlah, ayo pulang. Hari ini harus dapat kue pancong pokoknya! Gue yang teraktir!"

"Seblak dulu, Ai!"

"Iya, iya. Ayookk nyeblak!"

***

Ryden memejamkan matanya saat kedua kakinya masuk ke dalam kolam ikan, malam hari terasa dingin namun begitu menyenangkan ketika melihat hamparan langit gelap itu. Melihat langit malam adalah satu-satunya cara mengingat masa kecil bersama mendiang orang tua mereka.

"Kak Yaden tidak dingin kah? Kok kakinya masuk air, nanti digigit Kio,"

"Koi," ralat Ryden menepuk tempat disebelahnya, ia membantu Seanne untuk duduk dengan hati-hati agar anak itu tak masuk ke dalam kolam

"Adik kenapa keluar? Kan dingin, nanti masuk angin loh kamu," ia memeluk tubuh mungil itu dari samping

"Tidak tau, di kamar ada Abang dan Kak Assel sedang berdebat, Adik tidak suka mendengarnya, tidak paham."

"Ngomongin apa?"

"Sasa Sasa gitu terus ada bahasa inggris nya juga, kata Kak Assel mau menjauh, Adik tidak paham jadi pergi, Abang seram kalo lagi marah begitu, Adik jadi takut lihatnya,"

Ryden menganggukkan kepalanya sepertinya ia paham arah pembicaraan kedua kembarannya itu, ia yakin Lingga bisa meyakinkan kembaran perempuan mereka untuk menjauh dari gadis ular itu.

"Abang nggak lagi marah kok, mungkin Adik liatnya seperti marah tapi enggak, mereka cuma berdebat sedikit karena beda pendapat,"

"Seperti Kak Le dan Kak Rhean ya?"

"Iya, versi kalemnya,"

"Kak Yaden, Adik mau ikan,"

"Bilang Mbak kalo mau dimasakin,"

"Okay.."

"EHH ADIK! KAMU---" Ryden tak bisa berkata-kata lagi melihat adik bungsunya masuk ke dalam kolam untuk menangkap ikan, dari lantai dua Lingga dan Assel juga melihatnya

"Ikan mana yang enak?" Tanya anak itu

"Dek, dingin gak?"

Seanne mengangguk dengan wajah polos yang membuat Ryden tak tau harus marah atau menangis detik itu juga.

"Naik dulu yuk? Kak Yaden capek,"

Anak itu memiringkan kepalanya guna melihat wajah frustasi Ryden lalu meraih tangan sang kakak untuk naik ke atas.

"Okay.."

***

Ryden sudah berada di lapangan kompleks sehabis sholat subuh, tentu ia menitip pesan pada Lingga agar kakaknya yang lain tidak mencarinya. Mengambil bola yang sudah ia siapkan kemaren sore lalu menendangnya sekuat yang ia bisa. Berlatih berkali-kali sendirian.

Dulu, ia sangat jago bermain sepak bola bahkan pernah mengikuti pertandingan bersama teman-temannya ketika SD. Namun beberapa tahun ini kepercayaan dirinya mulai hilang berganti menjadi rasa takut gagal yang membuatnya sering tak fokus, ia sadar itu membuatnya terlihat lemah didepan Rizal dan kawan-kawannya.

"Emang kayanya udah nggak bisa deh, besok ngomong ke pak Farhan aja kalo gue nggak siap jadi kapten, nggak akan bisa."

"Dih, pesimis banget jadi human." Sembari meminum teh cekek yang dibelinya, Rheana mengambil alih bola yang berada di antara kaki sang adik

Gadis berambut pendek yang kini dikuncir satu itu tampak lihai bermian bola, membuat Ryden yang melihatnya tampak kagum.

"Ayo lawan gue, yang kalah beliin Sony Angel tiga biji."

"Kak?"

Rheana menendang bola tersebut membuat Ryden mau tak mau menangkapnya, kedua saling berebut bola hingga tak ada yang mengalah. "Ini baru Raden anak kelas 4 yang pede."

"Kak.. apa gue bisa?"

"Bisa lah! Dulu aja lo bisa masa sekarang enggak sih. Jangan nyerah ya? Kita coba sekali lagi, kalo gagal ayo coba lagi sampai bisa."

"Kok nggak ngajak gue sih? Kan pengen beli es cecek juga." Lingga mencebikkan bibirnya saat melihat kedua saudaranya bermain bola

"Dek, Kak Ryden keren gak?" Seanne mengangguk antusias. "Ngomong dong, lagi direkam nih." Lingga menarik tangan sang adik untuk duduk disampingnya, tak lupa menyodorkan ponsel untuk merekam adik bungsunya itu. "Liat sini, Kak Ryden keren gak?"

"Keren sekali, Kak Yaden keren!" Anak itu bertepuk tangan begitu Ryden berhasil mencetak gol

"Kak, lo nggak lagi ngalah kan?" Selidik Ryden curiga, pasalnya sedari tadi ia tak bisa melewati pertahan yang gadis itu buat

"Mata lo ngalah! Nggak liat kah gue udah ngos-ngosan begini? Kamu nanyakk?"

"Yaa aneh aja,"

Rheana menepuk bahu Ryden agak keras. "Percaya diri coba, ini udah lebih dari keren tau. Besok-besok ikut gue deh latian sama anak Static."

"KAK YADEN SEMANGAT!"

Senyum laki-laki dengan Jersey bola berwarna biru muda itu makin lebar saat melihat sang adik serta kembarannya yang heboh di sana.

🍁🍁🍁