"Apa kau tak punya kenalan yang jago akting? Minimal memiliki pembawaan kuat dan berpotensi tak disukai oleh orang banyak. Hanya sementara. Satu malam saja. Akan aku bayar berapa pun yang dia minta. "
Wataru berjalan menuju tangga apartemen, mulutnya sibuk mengoceh di telepon atas masalah yang dihadapinya.
Beberapa hari setelah pulang dari Dubai, ia masih sibuk mencari seorang perempuan yang bisa diajak kerjasama hingga meminta bantuan kenalannya di dunia malam. Tapi, tak satupun memberikan rekomendasi memuaskan.
Penampilannya kini berbeda sekali, ia seperti pemuda berandalan dengan kaos oblong dan celana jeans sobek-sobek. Rambutnya sangat berantakan, tapi tetap keren.
Ia benar-benar butuh perempuan dalam waktu singkat sebagai pengalih perhatian di acara reuni dua minggu depan. Perempuan yang bisa membuat sebagian besar semua tatapan lapar, serakah, mesum, dan benci mengarah padanya.
"Aku tak butuh yang cantik-cantik amat. Bodoh sedikit juga tak apa. Cukup yang bisa aku kendalikan. Tidak. Semua daftar wanita yang aku miliki dominan terlalu manja dan banyak maunya. Merepotkan sekali. Mereka juga gampang terpancing. Aku tidak peduli kalau kau mesti mencarinya sampai ke luar negeri. Pokoknya harus sedia sebelum acara reuni dimulai."
Wataru mematikan ponselnya, menaiki tangga. Kedua tangan berada pada saku celana. Ketika kakinya baru melangkah beberapa anak tangga, ia nyaris terpeleset.
Kaget dengan pemandangan mengerikan di depannya.
Itu Misaki!
Si Hikikomori kutu buku.
Para penghuni menyebutnya demikian, ia lupa dengan nama keluarganya. Toh, tak penting.
Dia adalah perempuan cupu yang tinggal di sebelahnya. Pekerjaannya adalah karyawan mini market dua blok dari apartemen.
Perilakunya sangat aneh. Hanya keluar di malam hari untuk bekerja, dan setelah pulang kerja nyaris tak pernah terlihat batang hidungnya hingga jam kerjanya mulai lagi. Seolah hidupnya hanya berputar antara tempat kerja dan apartemen saja.
Wanita membosankan menurutnya.
Rambut panjang tak terawatnya tergerai ke depan, sepertinya sedang memungut sesuatu di pinggiran tangga atas.
"Oh! Kupon makan gratisku hampir melayang!" serunya.
Sudut bibir Wataru berkedut.
Apa ia tak bisa memiliki tetangga yang minimal cantiknya standar? Perempuan itu lebih mirip penunggu rumah kosong daripada manusia.
Mata mereka bertemu.
Kaget.
Wataru mengernyitkan kening, tersinggung dengan refleks si jelek itu yang mundur seketika.
Harusnya dia, kan, yang mundur karena penampakannya tadi? Rasanya ia seperti masuk film horror saja dengan pembukaan klise hantu yang menerjang tepat di depan pemeran figuran, hanya saja dengan plot twist tentunya.
Langkah kakinya dipercepat, berjalan melewati Misaki dengan mendecakkan lidah. Jijik sekaligus kesal setiap kali melihat tampang sok polos dan sucinya disetor tiap kali berpapasan tanpa sengaja.
Perempuan itu merapatkan tubuhnya ke dinding apartemen, tak mau berdekatan dengan lelaki itu.
Dan hal ini sangat terang-terangan ditunjukkannya. Bukan hanya sekali atau dua kali, meski kadang juga sesekali membungkukkan badan memberi salam sopan seperti seminggu lalu.
Dia itu jangan-jangan anti-sosial, ya? Tebaknya iseng.
"Sok polos. Jelek begitu memang aku bakal tertarik?" ia bergumam, melirik Misaki melalui bahunya sejenak. "Masih cepat seribu tahun untuk bisa menggodaku. Jeeeeeeee. leeeeeek." Imbuhnya datar dengan sorot mata tak peduli. Kakinya melangkah semakin jauh dari Misaki.
Perempuan itu melotot sebal, menggertakkan giginya pada punggung lelaki bej*t itu.
"Ngomong, tuh, mikir dulu, kek! Memang aku ini apa dikomentari tanpa perasaan? Dasar pria tak bermoral!"
Ia menjulurkan lidah, lalu bergegas menuruni tangga. Kupon makan gratisnya digenggam erat-erat.
Sebelum pukul sembilan malam, ia bisa makan enak di salah satu restoran dekat tempat kerjanya. Wajahnya berseri-seri penuh harap.
***
Malam itu, tepat seminggu sebelum acara reuni diadakan, Wataru masih saja belum mendapatkan kriteria pendamping satu malamnya.
Ia bangun dari tempat tidur dengan perasaan dongkol.
"Kenapa sulit sekali mendapat wanita yang cocok sebagai pengalih perhatian?"
Jam dinding menunjukkan hampir pukul sembilan malam.
Rapat pemegang saham dadakan tadi pagi juga membuat darahnya naik. Beberapa dari mereka seenaknya memutuskan untuk mengeluarkan saham baru tanpa konsultasi terlebih dahulu.
Bikin kesal saja. Ceroboh sekali mereka. Mentang-mentang perusahaan itu memiliki saham blue-chip*, dikiranya tak akan ada guncangan dengan situasi politik dan kebijakan Amerika saat ini?
Hatinya panas, beberapa hal tak berjalan sesuai rencananya selama beberapa minggu terakhir, ia menyambar satu pak rokok dan berjalan kasar menuju balkon apartemen.
"Dasar orang-orang bodoh." Umpatnya berbisik, tangannya menyalakan sepuntung rokok dengan hati-hati.
Asap rokok dihembuskan setelah hisapan pertama.
Ia menghela napas panjang. Kedua bahunya dilemaskan.
Di saat begini, ia butuh wanita untuk menyenangkannya, tapi sial ia sedang tak bernafsu.
Sudut matanya menangkap sosok di lantai balkon sebelah.
"Oh. Si jelek itu ketiduran lagi rupanya."
Senyum dingin merendahkannya ditujukan pada Misaki yang tidur bersandar dekat jemuran, di pangkuannya sebuah buku tebal terbuka lebar dengan bagian isi bersandar pada dada. Kepala perempuan itu terkulai miring ke sisi kanan bahunya, membuat wajahnya terlihat jelas oleh Wataru.
Kacamata bulatnya sedikit melorot dari hidung, dan rambut panjangnya yang dikepang terlihat agak berantakan. Walau begitu, ia tertidur begitu damai dan tenang. Begitu lelap, begitu nyaman.
Melihat hal ini, mood Wataru semakin memburuk detik demi detik.
"Mengganggu sekali wajah perempuan ini." Katanya jijik penuh amarah.
Semenjak ia pindah ke apartemen kecil itu, sosok perempuan tetangganya itu selalu mengusik hati dan pikirannya.
Rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di dadanya, ia tak menyukai sensasi itu. Wataru ingin sekali memaki dan mengumpatnya tanpa alasan yang jelas karena membuat dirinya mengalami hal yang tak mengenakkan itu.
Pikiran licik melintas di otaknya.
"Oh… kenapa aku jauh-jauh mencari pendamping satu malam? Di sini ada satu makhluk yang bisa aku manfaatkan dan ingin kuhancurkan sejak dulu. Tak berharga sama sekali... Mari kita lihat, seperti apa dia jika dimainkan olehku. Berapa lama kau akan bertahan, jelek?"
Arogansi Wataru saat itu membuat siapa pun yang melihatnya akan gemetar ketakutan.
Kepalanya setengah mendongak.
Senyum tipisnya terlihat dingin dan misterius. Matanya berkilat tajam, lalu seringai jahat timbul di wajah tampannya, seolah terlihat lebih seperti iblis daripada manusia.
Sudah lama ia merasakan desakan tak masuk akal dan tak beralasan untuk menghancurkan sosok perempuan menyebalkan sok polos dan sok suci itu, tapi ia tak mau jika tak punya alasan atau situasi yang bisa diterimanya untuk berurusan dengan tipe yang bikin dia alergi setengah mati.
Entah kenapa, detik ini juga ia tertarik untuk sedikit bermain-main dengan tipe semacam Misaki. Ia gemas ingin membuatnya berurai air mata memohon-mohon cinta padanya seperti pengemis tak tahu diri.
Memikirkan hal ini, Wataru tertawa puas.
Mainan baru telah ditandainya. Ia berjalan mantap kembali ke ruangan. Tapi sebelum itu, dengan sengaja ia menjatuhkan kursi yang ada di balkon.
BRAK!
Misaki terperanjat.
Bangun dengan perasaan kacau bukan main.
Pandangan matanya masih belum fokus.
Letih seketika juga menyerang raut wajahnya, matanya melirik sebal ke arah balkon sebelah, kemudian kembali memejamkan mata.
Tanpa disadari, tak biasanya lelaki penuh perhitungan itu melakukan hal ceroboh sekali di malam berangin itu.
Ia telah membuat sebuah keputusan terbodoh yang akan membuat hidupnya pasang surut penuh drama hingga sanggup merelakan semua miliknya, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri…
[ Special Chapter: His Side 100%. End ]