webnovel

Night King : Kebangkitan Sang Kucing Hitam

Pertemuannya dengan bocah delapan tahun membuat Lin Tian sadar, bahwa kekuatan tidak sepenuhnya bisa melindungi banyak orang. Sebaliknya, dengan kekuatan dan kekuasaan membuat orang-orang semakin menderita, terutama mereka yang lemah. Ketika Lin Tian hendak mengajak bocah tersebut untuk pergi, saat itu juga gerombolan Pendekar mengepung dirinya. Bocah tersebut tewas saat salah satu Pendekar menjadikannya dirinya sebagai tawanan. Lin Tian yang sudah dipenuhi luka itu akhirnya mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk membunuh semua pendekar tersebut. Lin Tian pun menghembuskan napas terakhirnya. Namun, ketika dia membuka matanya bukan Nirwana yang didapatnya, tetapi dunia yang jauh berbeda dengan masa lalunya. Takdir telah membawanya ke masa depan, lebih tepatnya di tahun 2022. Ribuan tahun hari kehidupan sebelumnya. Namun, pada kehidupan keduanya pun dunia tidak jauh berbeda dengan kehidupan pertamanya. Ketidakadilan masih meraja rela, bahkan lebih kejam dari yang pernah dilihatnya. Lin Tian tidak memiliki pengalaman apa-apa pada kehidupan keduanya. Akan tetapi, dia bertekad untuk mengembalikan kedamaian dunia. Mampukah Lin Tian mengembalikan senyuman orang-orang yang ada di sekitarnya? Akankah kehidupan barunya membuat Lin Tian menyesali kematiannya? Takdir apa yang akan Lin Tian jalani nanti? Siapkah Lin Tian mengetahui kalau orang-orang yang pernah ada di kehidupan pertamanya, hadir di dunia baru ini?

arayan_xander · Action
Not enough ratings
205 Chs

24. Lapangan Sepak Bola

Night king : Kebangkitan Sang Kucing Hitam

Chapter 24 : Lapangan Sepak Bola

"Lin Tian, bangun!" seru Lin Hua seraya menepuk-nepuk bahu Lin Tian.

Lin Tian pun membuka matanya dan mendapati Lin Hua telah berdiri di sampingnya dengan posisi pintu mobil yang telah terbuka.

"Apa kita sudah sampai?" tanyanya sembari melihat-lihat sekitar dan mendapati Lin Xiao sudah tidak ada di balik kemudi. "Di mana Lin Xiao?" lanjutnya seraya keluar dari mobil.

"Dia sudah ada di sana!" tunjuk Lin Hua, pada sosok pemuda yang sudah berada jauh dari mereka.

Lin Tian pun melihat ke arah mana Lin Hua menunjuk. Dia memicingkan matanya mencari keberadaan sosok Lin Xiao tidak terlihat dengan jelas.

"Kita di mana?" tanyanya sekali lagi.

"Kita ada di lapangan sepak bola, milik keluarga Lin," timpal Lin Hua seraya menggenggam salah satu pergelangan tangan Lin Tian.

"Lapangan sepak bola, apa itu? Sepak bolak, itu apa lagi? Apakah sesuatu yang dapat dimakan?"

Pikirannya hanya dipenuhi dengan makanan saja, sampai semua hal pun dianggapnya sesuatu yang dapat mengenyangkan perutnya. Lin Hua pun ingin mencubit hidung Lin Tian kembali, tetapi dia mengurungkan niatnya itu dan akhirnya sedikit menyasarkan pukulan di kepala Lin Tian.

"Aduh, sakit! Sebelumnya hidung, sekarang kepala, lalu setelah ini apa lagi yang akan kamu jadikan sasaran?" tanyanya bernada kesal, sembari mengelus kepalanya yang terkena pukulan itu. Walaupun tidak terlalu kencang, tetapi itu sudah mampu membuat bagian keningnya memerah.

"Sekali lagi kamu bertanya, maka aku akan memukul milikmu ini agar kau tidak bisa ..."

Lin Hua menjeda kata-katanya, tetapi salah satu tangannya mengepal dan siap untuk memberikan pukula di area intim Lin Tian. Sesuatu yang sangat berharga bagi seorang pria, harta berharganya di masa depan.

"Kamu ..." Lin Tian menarik dirinya, mundur beberapa langkah seraya menutupi bagian bawahnya itu dengan kedua tangan.

Lin Hua pun menahan tawanya, bibirnya pun terkantup, niatnya yang hanya ingin menakut-nakuti Lin Tian berakhir dengan sikap polos Lin Tian.

Sementara itu, Lin Tian mengerucutkan bibirnya. "Menagap kamu sangat suka memukul? Bisa tidak kamu bersikap seperti wanita biasa yang lembut dan juga manis," tutur Lin Tian penuh kekesalan.

"Seperti ..." Lin Tian menjeda kata-katanya, seketika dia melihat bayangan seorang gadis berparas cantik tengah bermain manja dalam pikirannya.

"Seperti apa?" tanya Lin Hua penasaran.

Lin Tian mendapatkan kembali kesadarannya. "Bukan seperti siapa-siapa," akunya menahan diri untuk tidak membahas topik tersebut.

Lin Hua mengerutkan keningnya, "Sungguh, bukan siapa-siapa?" Dia memicingkan matanya, seraya mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan Lin Tian. "Atau, jangan-jangan kau sudah memiliki seorang kekasih, benar 'kan?" selidik Lin Hua, sembari membaca pikiran Lin Tian dari sorot matanya yang berusaha dia buang ke sembarang arah.

"Ada apa dengan kamu? Kekasih apa yang kamu maksudkan? Aku tidak memiliki kekasih seperti yang kamu pikirkan itu. Menyingkir dariku, kamu membuat aku menjadi tidak nyaman."

Lin Tian mendorong tubuh Lin Hua dan menjauhkan dirinya agar tidak terlalu dekat dengan gadis ayu bersurai panjang itu.

"Oh, jadi tidak ada wanita yang mengisi hatimu, kalau begitu bagaimana aku yang mengisinya?"

Kini Lin Tian bersikap diluar dugaan dan kendali seorang Lin Tian. Dia mendekatkan dirinya sedekat mungkin dengan Lin Tian, bahkan sangat dekat sampai bibirnya hampir menyentuh bibir milik Lin Tian.

Sontak saja membuat Lin Tian membulatkan matanya. Setiap hembusan napas Lin Hua dapat dirasakannya, degup jantungnya pun bisa Lin Tian dengar dengan jelas.

Sepasang mata saling bertemu, ada perasaan berbeda yang menyelimuti diri Lin Hua. Entah itu cinta atau sekedar rasa kagum saja? Ungkapannya seolah mengisyaratkan bahwa gadis ayu bersurai panjang itu mengharapkan hal lebih dari Lin Tian. Mungkinkah itu cinta atau hanya sekedar kasih sayang seorang Kakak terhadap adiknya?

Lin Tian pun mendeham setelah mendapatkan kembali kesadarannya. Lin Hua pun ikut tersadar dan buru-buru mengambil jarak dari Lin Tian. Dia menyeka rambutnya yang kali ini dibiarkan tergerai ke belakang telinganya.

"Di mana Lin Xiao, mengapa dia tidak terlihat di sana?" tanya Lin Tian memulai pembicaraan mereka kembali.

Lin Hua pun membalikkan tubuhnya, memandang hamparan hijau yang sebelumnya menjadi tempat Lin Xiao berada.

"Pergi kemana dia?"

Sama halnya dengan Lin Tian, Lin Hua pun tidak dapat menemukan keberadaan Lin Xiao di sana. Sebelumnya, dia yakin bahwa Lin Xiao ada di sana entah sedang melakukan apa, tetapi sekarang pemuda itu sudah tidak ada di sana.

"Kalau begitu, ayo kita pergi ke sana mungkin saja Lin Xiao berada tidak jauh dari tempat itu!" ajak Lin Hua, hampir saja dia ingin menggenggam tangan Lin Tian. Namun, dia mengurungkan niatnya karena teringat kembali dengan kejadian tadi.

Lin Tian melihat jelas pergerakan tangan Lin Hua tersebut. Dia pun akhirnya mengambil inisiatif sendiri. Ketika Lin Hua mulai mengayunkan kakinya, saat itu juga Lin Tian menggenggam tangan Lin Hua. Dia menautkan jari-jarinya pada tangan gadis ayu bersurai panjang tersebut.

Lin Hua tersentak kaget, dia mendongak dan menatap manik Lin Tian dengan lekat. Sementara itu Lin Tian membalas tatapan tersebut dengan mengulas senyuman yang semakin membuat jantung Lin Hua berdegup tidak karuan.

"Tenang, Hua. Senyumannya itu hanya rayuan saja. Kamu itu bukan wanita murahan yang akan masuk dalam perangkapnya."

Tentu saja Lin Hua mengatakan itu semua di dalam hatinya. Dia tampak membuang napasnya berkali-kali, seraya menata hatinya yang sepertinya mulai acak-acakan hanya karena senyuman Lin Tian itu.

"Apa nama tempat ini? Katamu 'Lapangan sepak bola' bukan? Maksud lapangan sepak bola itu apa?"

Setelah cukup tenang, akhirnya Lin Tian mampu menguasai hatinya dan dapat kembali bertanya. Sesungguhnya dia masih penasaran dengan nama tempat yang saat ini sedang mereka kunjungi.

Lin Hua mengatakan sebelumnya tempat ini bernama 'Lapangan sepak bola' untuk nama lapangannya sendiri, dirinya sudah tahu karena di kehidupan pertamanya Lin Tian kerap kali menghabiskan waktunya untuk berlatih di sebuah lapangan. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah 'Sepak bola' apa itu sepak bola?

Lin Hua pun tersenyum, dia menunjukkan senyuman yang menampilkan deretan giginya. Namun, setelah itu dia membuang pandangannya seperti seseorang yang sedang kesal dan tidak lama kemudian dia melepaskan genggaman tangan Lin Tian.

"Hei!"

Lin Hua menghiraukan panggilan Lin Tian. Dia berjalan dengan tempo cepat dan berusaha untuk tidak memalingkan wajahnya ke belakang.

"Pertanyaannya itu, lama-lama membuatku semakin gila." Lin Hua mengelah napasnya, seraya berjalan dengan tempo cepat tanpa memedulikan Lin Tian yang terus memanggil dirinya.

Lin Tian yang masih berada di belakang pun mengerutkan keningnya, "Ada apa dengannya, apa pertanyaanku itu salah? Aku bertanya karena kau tidak mengetahuinya. Apa aku salah?"