Hujan turun dengan deras, mengguyur tanpa henti dan menciptakan genangan di jalan setapak yang dilalui oleh pasukan penyelamat. Malam itu begitu gelap, hanya diterangi sesekali oleh kilat yang menyambar dari langit, menciptakan bayangan tajam di antara pepohonan hutan. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, dan suara hujan yang mengguyur dedaunan bercampur dengan langkah-langkah berat para prajurit.
Aris Cean berada di tengah barisan, matanya yang tajam mencoba menembus gelap dan derasnya hujan. Meski tubuhnya mulai basah kuyup, ia tidak peduli. Tekadnya untuk menyelamatkan Lysandra lebih kuat dari rasa dingin yang menggigit atau kelelahan yang mulai terasa. Di sekelilingnya, para prajurit bersenjata lengkap berjalan dengan hati-hati, menjaga jarak aman satu sama lain agar tidak kehilangan formasi di tengah gelap dan licinnya tanah.
"Lapor!" suara salah satu pengintai terdengar di depan barisan. Seorang pria berbaju gelap dengan tudung kepala mendekati pemimpin pasukan, wajahnya nyaris tak terlihat di bawah bayang-bayang hujan.
"Kita semakin dekat," lapornya dengan suara pelan namun tegas. "Lokasi tempat mereka menahan Nona Lysandra dipastikan berada di sebuah benteng tua di lembah sebelah timur. Namun, pengawal mereka cukup banyak, dan mereka memiliki penjaga yang berpatroli bahkan di tengah hujan seperti ini."
Lord Sylas, yang memimpin pasukan ini, mengangguk sambil menggenggam erat gagang pedangnya. Ia berpaling ke arah prajurit-prajuritnya, lalu memberikan aba-aba dengan suara rendah agar semua tetap waspada. Aris, yang mendengar laporan itu, merasakan dadanya berdegup lebih kencang. Ia mengepalkan tangan, mencoba menenangkan emosi yang bercampur antara marah, gelisah, dan ketakutan akan keselamatan Lysandra.
"Kita harus bergerak dengan hati-hati," ujar Lord Sylas dengan nada dingin. "Jangan sampai mereka menyadari kehadiran kita sebelum waktunya. Aris, pastikan kau tetap di belakang dan mengikuti perintah. Ini bukan tempat untuk bertindak gegabah."
Aris mengangguk, meskipun hatinya memberontak. Ia tahu betul pentingnya misi ini, namun dorongan untuk segera berlari menuju benteng itu sulit ia tahan. Di dalam pikirannya, ia terus membayangkan Lysandra yang mungkin sedang ketakutan atau terluka di tangan penculiknya. Rasa bersalah karena tidak mampu melindunginya sejak awal semakin menggerogoti dirinya.
Pasukan itu terus maju, menerobos hujan dan kegelapan malam. Benteng tua yang menjadi tujuan mereka mulai terlihat samar di kejauhan, berdiri seperti bayangan raksasa yang menyeramkan di tengah lembah. Suasana semakin tegang, dan Aris merasakan bahwa setiap langkah membawa mereka lebih dekat kepada bahaya yang belum bisa ia bayangkan sepenuhnya.
Namun, sesuatu yang tidak mereka duga terjadi. Di tengah perjalanan, pasukan terbagi menjadi dua kelompok kecil untuk menyusup ke benteng dari arah yang berbeda. Ketika mereka berpencar, bayang-bayang misterius yang mengintai dari kegelapan mulai bergerak. Dalam sekejap, kedua kelompok itu mendapati diri mereka terkepung oleh musuh dari segala arah. Teriakan peringatan terdengar di tengah suara hujan yang menenggelamkan segalanya.
"Ini jebakan!" seorang prajurit berteriak, pedangnya terangkat tinggi untuk menahan serangan pertama yang datang.
Aris yang berada di kelompok kedua merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia mencabut pedangnya, matanya mencari celah untuk melawan atau melarikan diri. Tetapi musuh begitu banyak, bayangan mereka menyatu dengan kegelapan, membuat pertempuran menjadi kacau dan sulit diprediksi.
Namun, saat pertempuran dimulai, Aris mengingat sesuatu. Kilatan hujan dan gemericik air yang mengalir di sekitarnya memberinya sebuah ide. Ia menatap pedangnya, dan ingatan akan latihan bersama kedua orang tuanya tiba-tiba muncul di pikirannya.
"Aris, dengarkan baik-baik," suara tegas ayahnya terdengar di tengah lapangan latihan. Sang ayah, seorang pendekar pedang legendaris, berdiri di hadapan Aris yang masih kecil. Di tangannya, pedang berkilauan tertutup lapisan air yang berputar seperti pusaran. "Ini adalah teknik pelapisan pedang. Dengan berkonsentrasi pada aliran energi dan menggunakan elemen air di sekitarmu, kau bisa menciptakan senjata yang jauh lebih tajam dan mematikan."
Aris muda memandang kagum, mencoba meniru ayahnya. Ia mengangkat pedangnya, berusaha memusatkan pikirannya pada tetesan air di sekitarnya. Namun, usahanya gagal. Air hanya menetes tanpa terkendali dari ujung pedangnya.
Ayahnya tertawa kecil. "Jangan terburu-buru. Rasakan elemen air di sekitarmu. Pahami arusnya, lalu biarkan ia menjadi bagian dari senjatamu."
Saat itu, sebelum pertempuran besar ini, ayahnya juga mengingatkan sesuatu dengan nada tegas, "Aris, kau harus ingat bahwa pertempuran adalah hidup dan mati. Dibunuh atau membunuh. Jangan pernah ragu saat di medan perang. Yang ragu akan mati, dan aku tidak ingin kau menjadi salah satu yang mati."
Beberapa waktu kemudian, ibunya mengambil peran. Di sebuah kolam kecil di dekat rumah mereka, sang ibu yang dikenal sebagai arch priest dengan kekuatan elemen air, duduk di tepi kolam sambil menatap Aris dengan lembut.
"Air bukan hanya untuk bertempur, Aris," ucapnya. "Air memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan memulihkan. Jika kau terluka, fokuslah pada aliran air yang mengalir di tubuhmu. Bayangkan ia membawa pergi rasa sakit dan menggantinya dengan kekuatan baru."
Aris menatap ibunya penuh harap. Ia mencoba mencelupkan tangannya ke air, merasakan dinginnya mengalir melalui jari-jarinya. Dengan bimbingan ibunya, ia belajar bagaimana menggunakan air untuk mempercepat penyembuhan luka-luka kecilnya.
Kembali ke kenyataan, Aris memejamkan matanya sejenak, mengingat pelajaran itu. Di tengah hujan yang semakin deras, ia mulai memusatkan pikirannya. Air mengalir di sekelilingnya, dan ia merasakan kekuatan yang dulu diajarkan oleh orang tuanya.
Dengan napas dalam, ia mengangkat pedangnya. Air mulai membalut bilah pedangnya, berputar dengan kecepatan tinggi hingga menyerupai gergaji mesin yang tipis namun mematikan. Musuh yang melihat itu tampak terkejut, namun Aris tidak memberi mereka waktu untuk bereaksi. Dengan satu tebasan cepat, ia melumpuhkan lawan-lawannya, membuktikan bahwa ia adalah pewaris kekuatan dari kedua orang tuanya.
Aris memimpin jalannya pertempuran di kelompok kedua. Performa Aris sangat luar biasa, dan semangatnya yang membara membangkitkan moral pasukan di tengah derasnya hujan. Ia melangkah maju tanpa ragu, dengan mata yang tajam dan kosong, menghabisi setiap musuh yang menghalangi jalannya. Teknik pedang yang dilapisi air membuat serangannya begitu cepat dan mematikan. Di tengah medan perang, ia mengingat kata-kata ayahnya, "Jangan ragu. Keraguan adalah akhir dari hidupmu." Dengan tekad bulat, Aris terus maju, memimpin pasukannya menuju kemenangan di tengah situasi yang tampaknya mustahil.
Namun, di tengah pertempuran, tujuh musuh sekaligus mengepungnya. Mereka menyerang dari berbagai arah, memaksa Aris untuk menghindar, bertahan, menangkis, dan menyerang secara bergantian. Gerakannya harmonis, seolah-olah ia menari di bawah hujan dengan pedangnya. Meskipun ia merasa agak kesulitan, aris juga mendapatkan beberapa luka karena serangan mereka namun lukanya sembuh dalam sekejap berkat air hujan yang berkesinambungan dengan teknik pemulihan aris, mereka adalah musuh terkuat sepanjang hidup aris setelah ayahnya, ketenangan dan keahliannya membawanya melewati tantangan ini. Dengan satu serangan terakhir yang memanfaatkan pusaran air pada pedangnya, Aris berhasil menghabisi mereka satu per satu.
Setelah memastikan bahwa musuh-musuhnya tidak lagi menjadi ancaman, Aris menarik napas panjang. Ia menatap ke arah benteng tua yang berdiri menjulang di tengah lembah. Tanpa menunggu lebih lama, ia memutuskan untuk bergerak seorang diri menuju kastil, tekadnya bulat untuk menyelamatkan Lysandra. Langkahnya semakin cepat meski tubuhnya lelah, hingga akhirnya ia tiba di depan gerbang besar kastil itu, tempat ia berdiri menatap pintu kayu besar yang tampak suram di bawah hujan lebat.