webnovel

[5]

Kakinya ragu melangkah menuju rumah tetangganya itu. Namun kalau sudah suruhan mama tidak mungkin bisa ditolak. Hingga akhirnya sampai juga langkahnya di depan pintu rumah yang ia tuju. Pagar dan pintu rumahnya terbuka tetapi terlihat sepi. Ia mencoba menenangkan dirinya yang entah mengapa jantungnya berdebar semakin cepat.

“Selamat sore, tante. Tante!” teriak Kyla memanggil seisi rumah.

“Eh, Kyla!” sapa Mama Deka dari arah kiri Kyla sekitar satu meter darinya.

“Loh, tante ngapain disitu?” tanya Kyla yang kaget, karena ia sudah teriak keras-keras ternyata yang dicari ada di luar rumah tapi si tante tersembunyi.

“Lagi berkebun, nih. Kamu bawa apa, La?”

“Oh, ini tante kue unyil. Mama iseng bikin.” Sebenarnya Kyla sudah senang, tidak perlu masuk rumah untuk membawakannya, tinggal kasi di tempat aja ya kan.

“Wah, tangan tante kotor. Masuk, yuk! Bantu bawain kuenya ke dapur, ya!” Kyla tertegun mendengar permintaan itu. Perasaannya tiba-tiba berubah, bukan senang lagi. Tapi kenapa Kyla harus makin berdebar dan ingin cepat-cepat balik ke rumah? Bukannya ia sudah sering bermain kesini sejak dulu? Bahkan bertanya-tanya dan yakin kalau Deka sudah balik merantau karena liburan sudah selesai. Berarti Deka sudah tidak ada di rumah ini harusnya, kan? Baiklah, Kyla tidak bisa menolak dan mengikuti dari belakang Mama Deka masuk ke dalam rumah.

“Deka!” teriak mamanya sambil berjalan menuju dapur. Kyla panik, bingung, kaget tidak sesuai ekspetasinya ternyata. Kenapa mamanya harus memanggil, kenapa harus diteriaki berulang kali hingga yang terpanggil menjawab?

“Deka!” Wajahnya tidak mau ia tampakkan, jangan sampai terlihat. Ia mencoba berjalan menunduk dan beberapakali memainkan rambutnya agar wajahnya sedikit tertutup.

“La, kok diem? Minta tolong taruh aja kuenya di meja,” pinta Mama Deka sambil ketawa memperhatikan Kyla yang hanya berdiri di depan meja makan dengan tangan masih membawa sepiring kue. Mama Deka langsung mencuci tanganya terlebih dahulu.

“Oh, iya.” Kyla nyengir dan langsung meletakkan piring tersebut di meja.

“Tante, Kyla mau-“

“Iya, ma?” Waduh, suara Kyla kalah volume kali ini. Ternyata suara Deka lebih keras daripada Kyla yang menjawab teriakan mamanya tadi.

“Eh, nak. Ini Kyla bawa kue unyil kesukaan kamu. Kesukaan kalian maksudnya. Tuh, temenin Kyla disini. Mama mau mandi sama mau bawain kuenya buat Abel dan Riko juga.” Mama Deka menyiapkan piring baru dan mengambil beberapa kue tersebut. “Kyla, Riko masih disini. Tugas mereka kayanya banyak banget. Tante tinggal dulu, ya!” Usai memberi informasi dan mengelus pundak Kyla, ditinggalah mereka berdua menuju ruang belajar Abel dan Riko. Ia seperti terjebak dalam lubang besar hari ini.

“Tumben mama kamu buat kue unyil,” sahut Deka sembari menarik kursi dari meja makan, lalu duduk mengambil satu kue.

“Hmm, enak. Masih tetep enak dari dulu,” seru Deka menyantap satu gigitan kue yang lantas mengagetkan Kyla yang masih saja berdiri di depannya.

“Lo, kenapa masih disini? Harusnya kan udah balik kampus. Liburan semester kan udah selesai.”

“Cie nanya-nanya. Kepo, ya?” canda Deka lalu menarik lengan Kyla dan juga menarik kursi dari meja makan, kemudian menyuruhnya duduk saling berhadapan. Entah mengapa Kyla canggung ketika dilihat dan diperlakukan seperti ini. Kemarin-kemarin sangat emosi melihat Deka.

“Aku udah pindah.”

“Ha? Serius?” tanya Kyla tidak percaya dan memperhatikan Deka sangat tajam. Begitu santai Deka tanpa ada wajah beban sebagai mahasiswa. Lebih tepatnya mungkin seperti wajah tak bertanggung jawab sebagai mahasiswa.

“Iya, di kampus kamu.”

“APA?” Deka tertawa melihat ekspresi kaget Kyla.

“Lo bohong, kan?”

“Enggak, lah!” Lanjut Deka menyantap kue berikutnya.

“Kenapa ke kampus gue? Kampus lo kan lebih bagus, lebih favorit, lebih diincar orang, kenapa harus kesini coba?”

“Emangnya kampus ‘wah’ yang maksudnya orang good bisa menjamin kehidupan gue sesudah wisuda bakal ‘wah’ juga? Emang kampus lo bukan kampus incaran para maba juga?” Kyla tertegun mendengar jawaban Deka yang menurutnya sudah cukup dewasa daripada sebelumnya.

“Ya, tapi kan sayang lo udah mau semester 3 malah pindah.”

“Sayang?”

“Iya sayang.”

“Cie manggil aku pakai sayang-sayang,” goda Deka membuat Kyla tersadar dengan candaannya dan merasa salah berbicara.

“Bukan gitu, Deka!”

“Kenapa kamu kaya peduli gitu nanya-nanya tentang kuliah aku?” tanya Deka spontan memutus bantahan Kyla.

“Gue risih sama lo kalau ada dalam satu kota sama lo,” jawab Kyla spontan juga. Deka terdiam sejenak dan berpikir cepat.

“Oke, aku minta maaf soal kita beberapa tahun lalu.”

“Bukan soal kita, Ka. Soal kepercayaan gue sama lo sebagai tempat curhat, tempat cerita, tempat berbagi, tempat-“

“Tempat mencintaimu.”

“Deka!”

“La, aku emang salah. Tapi gak ada yang berubah dari aku. Apa gak bisa kasi kepercayaan aku kedua kalinya? Apa sesering bahkan selalu aku matahin kepercayaan kamu dulu sampai kamu kaya gini?” Kyla terdiam dan melihat wajah serius Deka. Begitu juga Deka yang tidak berhenti memandang gadis dihadapannya yang selalu saja ia harapkan sejak masih bocah.

“Gue balik ke rumah dulu.” Kyla mencoba berdiri namun Deka berhasil menahannya.

“La, aku serius. Aku minta maaf.”

“Ka, gue udah maafin lo soal itu dari dulu. Tapi gue masih gak bisa terima kalau lo hancurin kepercayaan gue sama lo sebagai tempat penyimpan cerita rahasia gue.”

“Mau sampai kapan, La? Kalaupun aku gak kasi tahu sama dia tahun lalu, pasti beberapa tahun kemudian dia bakal tahu juga apa yang terjadi. Karena dia berjuang keras masuk di kampus kamu dan fakultas yang sama dengan kamu.” Mendengar kata Deka, Kyla teringat dengan yang apa yang ditakuti Zahra juga tentang Fandra.

“La, aku pindah kampus tuh karena kamu juga. Aku tetep berusaha bagaimana pun caranya supaya kamu bisa terima keberadaan aku dan gak risih lagi sama aku.”

“Lo gila, ya? Kuliah bukan buat main-main.”

“Lagian aku juga gak betah disana, La. Beneran aku gak betah banget sama lingkungan kampus, lingkungan teman, lingkungan kos-an juga.” Kyla menghela napasnya, ia no comment soal ini.

“La, kamu mau aku gimana biar kamu gak marah lagi sama aku?”

“Gak tau bakal sampai kapan. Gue mending mau ketemu Riko dulu.” Kali ini Deka tidak mencegah Kyla pergi. Ia berjalan menuju ruang belajar Riko dan Abel.

“Hai!” sapa Kyla melihat mereka berdua serius sekali namun sepiring kue cubit itu sudah habis ludes tanpa sisa. Kasihan, mungkin mereka lapar.

“Kak Kyla! Aku baru aja sebulan sekolah udah dapat tugas banyak,” keluh Abel manja sembari memperlihatkan wajah manyunnya.

“Uh kasihan banget adiknya kakak. Riko, masih lama gak pake leptopnya?”

“Bentar dikit lagi,” ketus Riko menjawab karena sangat serius mengerjakan. Kyla mengangguk dan bersiap pergi meninggalkan mereka.

“Yaudah, kakak balik ya. Semangat kerja tugas!” Manis senyum Kyla membuat Abel kembali mendapatkan energi semangat mengerjakan.

‘Eh!” Kyla kaget melihat Deka berdiri tepat di belakangnya ketika ia membalikkan badannya.

“Ngapain ngikut?” tanya Kyla kasar dan berusaha menenangkan diri.

“La, pengen ngomong bentar,“ pinta Deka membuat Kyla teriak dalam hati, sungguh kalau lelaki ini menunjukan wajah manja dan memohon seperti ini, sangat imut, lucu tapi tetap tampan sekali. Oh Tuhan, tolong Kyla sekarang, jangan buat wajahnya memerah! Kyla mencoba kuat, menarik nafas, memainkan bibirnya untuk menahan ekspresinya jangan sampai terlihat senang.

“Tadi udah ngomong, kan? Gue pulang dulu kerjaan numpuk. Da!” Baru kali ini Deka melihat Kyla berpamitan semenjak kemarin melihat tingkahnya yang tak karuan dan penuh emosian. Demi neptunus, tidak bisa berbohong, dari hati yang paling dalam, sejujurnya Kyla rindu, rindu menatap lama Deka, rindu mengelus rambut Deka, rindu bercanda dengan Deka, rindu semuanya tentang Deka. Namun Deka lebih rindu tanpa Kyla sadari. Karena Kyla masih saja menyimpan rasa kesal dengan Deka yang entah sampai kapan bisa pulih.