33 33. Kau Terhebat!

"Aku tidak berfikir untuk merabanya, tapi dia malah mengingatkanku untuk itu," batin Delice sembari tanganny mengelus dada Naura yang terasa hangat.

"Cih... Pria ini benar-benar!" batin Naura.

"Setelah ini bagaimana kalau kita langsung melakukannya di dalam mobil? Aku tidak akan bisa menunggu lama sampai di hotel," goda Delice.

CKITTTTT...

"Aduhh, kenapa?"

"Kita di hadang!" ujar Naura panik.

Delice melihat lalu mengamatinya. Bukan musuh yang berat sehingga Delice tidak harus khawatir. Delice sudah mengirim signal pada Ken dan Loid, namun karena Delice dan Naura mengendarai mobil di lokasi yang berbeda, membuat Ken sedikit lambat untuk menyusul mereka.

"Kau sembunyilah di sini. Aku akan menghadapi mereka. Ingat, jangan menoleh apapun yang kau dengar. Ini ponselku. Kau harus menghubungi Ken ataupun Loid kalau dalam 30 menit, aku tidak kembali padamu. Apa kau mengerti?" ujar Delice.

Delice memberikan ponsel dan juga jam tangan yang di pakainya. Jam tangan itu merekam dan juga mengirimkan lokasi terbaru pada Ken ataupun Loid.

CUP...

"Kembalilah! Setidaknya, tetaplah hidup," gumam Naura setelah mengecup kening Delice.

Delice menggulung lengan kemejanya yang panjang, lalu terus jalan maju mendekati mobil yang menghadangnya. Naura tidak bersembunyi seperti yang Delice katakan.

Naura ingin membantu Delice diam-diam di saat keadaan begitu genting. Naura mengambil pistol yang di berikan Delice untuknya. Naura memejamkan matanya, mengingat-ingat bagaimana caranya Ken mengajarinya menembak pada hari itu.

"Aku pasti bisa. Tapi, tanganku saja gemetaran... Memalukan, bagaimana ini?" gumam Naura lirih.

***

"Keluar! Jangan seperti seorang pengecut!" teriak Delice.

Tujuh orang keluar dari dalam mobil dengan senjata di tangan mereka. Tubuh yang besar, tidak berbeda jauh dengan tubuh Delice.

Delice menanggapinya sangat santai. Bahkan, Delice tersenyum dengan arti yang menakutkan.

"HAHAHAHA... Katakan, apa tujuan kalian? Tikus kecil tidak berguna!" teriak Delice dalam tawanya.

"Tujuan? Sudah pasti memenggal lehermu!" jawabnya.

"Ohya? Apa kalian yakin kalau kalian bisa?" ejek Delice.

"Sialan!" pekiknya.

"Mau bertarung dengan senjata, atau tanpa senjata?" tanya Delice.

"Tanpa senjata, bagaimana?"

Delice sengaja mengulur waktu, menunggu Ken dan Loid datang. Di tatapnya langit-langit yang cerah.

"Aku tidak boleh membuat mereka mendekati mobil," batin Delice.

***

"Aku percaya, kau pasti bisa. Kau pasti sudah terbiasa, bukan? Menghadapi musuh yang lebih sadis dan juga lebih banyak dari sekarang?" gumam Naura.

"Delice, ternyata mencintaimu saja tidak cukup. Mencintaimu berarti aku harus masuk dalam duniamu. Duniamu tidak hanya membutuhkan cinta. Aku akan jadi benalu kalau sampai tidak bisa membantumu apapun," batin Naura.

Naura tidak bisa mendengar apapun yang di bicarakan Delice dengan beberapa orang yang ada di depannya. Naura hanya melihat Delice melemparkan pistol, begitupun dengan musuh. Mereka bertarung benar-benar dengan tangan kosong.

Delice menerima beberapa kali pukulan di wajah maupun perut, kaki bahkan dada, juga punggung. Namun, tubuhnya tetap berdiri kokoh tanpa bergeser dan bergerak sedikitpun.

"Delice, apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak melawan?" gumam Naura seorang diri.

Uhuk... Uhuk... Uhuk...

Tiba-tiba saja, Naura batuk dan mengeluarkan darah segar dari bibirnya. Meskipun bingung, tapi Naura berusaha untuk tenang. Wajahnya mulai pucat, sekujur tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga.

"Kenapa ini? Delice tidak boleh mengetahuinya," batin Naura.

Di dalam mobil ada kotak sampah dan juga air putih. Naura diam-diam mengelap bajunya yang terkena darah dan juga berkumur-kumur supaya Delice tidak memiliki curiga apapun.

"Kenapa tidak hilang?" Naura menoleh ke kanan dan diri, lalu menemukan belati di sudut mobil. "Uhhhhh...," Naur mengiris kulitnya yang dekat dengan baju yang terkena darah.

Naura berharap, dengan luka itu, Delice tidak akan menanyainya banyak hal. Dengan tubuh yang gemetaran, Naura kembali duduk dengan tenang.

"AAAARRRRRHHHHHH...'

***

BUKKK...

BUKKK...

DUKKK...

Berulang kali Delice menerima pukulan namu tubuhnya seperti sudah terbiasa merasakan sakit hingga tidak bergeming sedikitpun.

Tatapan mata DElice mulai berubah. Dengan bibir yang tersenyum menyeringai, membuat bulu kuduk merinding.

"Apa hanya segitu kekuatan kalian?" ejek Delice sembari melepaskan ikat pinggangnya, lalu menggulungnya di tangan.

Musuh terdiam dan masih menganggap murka Delice hanyalah murka manusia biasa. Mereka belum mengetahui, seperti apa Delice jika sudah mengamuk.

"Ayo, maju lagi!" seru Delice.

SPLASSS...

SPLASSS...

SPLASSS...

Delice mengarahkan ikat pinggangnya ke leher musuh yang berani mendekat, hingga ikat pinggang itu melingkar dan Delice menariknya. Mati! Tiga orang sekaligus sudah mati dengan satu pukulan yang sama.

"Kau majulah! Aku sama sekali tidak takut untuk menghabisi nyawamu!" ucap Delice dengan suara geram.

"Jangan sombong dulu. Kau belum tahu kekuatanku," jawabnya.

"Sombong? Kekuatan? Cihhhh!" Delice meludah di depan wajah pria itu. "Kalau kau memiliki kekuatan, kau tidak akan diam dan membiarkan anak buah mati, bukan?" Delice semakin menganggapnya remeh.

"Jangan menilaiku sekilas, Tuan Delice!" jawabnya sinis.

"Ohya? Kalau begitu, biarkan aku yang menyerangmu, atau kau yang menyerangku?"

Dalam keadaan genting dan terancam, otak Delice tetap bekerja untuk berfikir memperlambat waktu hingga negosiasipun terjadi.

"Kau terlalu banyak bicara!" pungkasnya.

Pria yang merupakan ketua dari anggota gangster yang bunuh oleh Delice, mulai meradang dan tidak terima, Delice menganggapnya sangat remeh.

BRUKKK...

Pria itu melayangkan sebuah tendangan, namun serangannya sama sekali tidak menyentuh tubuh Delice. Pria itu terjatuh, setelah kakinya terlilit oleh ikat pinggang yang Delice gunakan sebagai senjata utama. Delice menarik sekuat tenaga setelah ikat pinggang itu mengenai mangsanya.

"Diam di tempat! Jangan ada yang menyerang," teriaknya.

"Apa perlu aku bantu untuk membuatmu berdiri?" ledek Delice.

Sisa anggota yang di bawa pria itu hanya menonton seperti orang bodoh. Pria yang sebagai ketua utama, tidak ingin harga dirinya tercoreng karena harus menerima bantuan dari anak buahnya.

"Apa kau masih ingin bermain-main denganku?" ucap Delice dengan suara yang lantang.

Pria itu kemudian berdiri, menyeimbangkan tubuhnya terlihat tegap. Meskipun sedari tadi Delice tertawa, namun tatapan matanya tetaplah menyala seperti tidak bisa di padamkan kobarannya.

"Aku sudah katakan padamu, supaya kau jangan terlalu banyak bicara!" teriaknya.

Pria itu mengepalkan tangannya, lalu melayangkan pukulan tepat di wajah Delice.

KRETEKKK...

"AAAARRRRRHHHHH..,"

Delice menangkap kepalan tangan pria itu menggunakan telapak tangannya. Delice bukan hanya mencengkram menggunakan tangan besinya. Delice juga melintir tangannya, sembari menarik seakan-akan ingin mencabut tangan yang menempel dengan kokoh hingga terdengar suara tulang retak dan berserakan.

Melihat pimpinannya kesakitan, salah satu anggota musuh yang masih menyimpan pistol, mengarahkan pistol itu diam-diam tepat ke arah jantung Delice.

"DELICE, AWAS!!!" teriak Naura.

DORRR... DORRR...

Dengan tangan gemetar dan juga mata yang menangis sangt deras, Naura mengatur nafasnya. Dua kali suara bidikan pistol terdengar oleh telinga Naura, bahkan Naura melihat sosok yang tidak jauh dari keberadaannya, tengah tergeletak tidak berdaya.

"Delice...,"

avataravatar
Next chapter