webnovel

Inside: City of Orange I

Sebelas tahun berlalu, hari ini cahaya matahari bersinar cerah di balik cakrawala. Angin sejuk yang bertiup sudah bisa untuk mendorong para pendatang menyandarkan kapal layar mereka di dermaga. Bagi warga kota ini merupakan saat yang tepat untuk memulai beraktifitas.

~quay~

Kapal - kapal bersandar, kerumunan orang berhamburan datang. Langkah - langkah kecil mulai meramaikan dermaga, mereka adalah para pembawa rejeki bagi orang - orang yang berada di balik meja yang terisi penuh berbagai macam barang dagangan. Di bawah terpal berwarna hijau dan biru yang masih terlihat bentuk anyamannya, pedagang duduk menanti pembeli. Senyuman ramah mereka pasang semanis mungkin untuk menarik perhatian para pembeli. Barisan toko sementara ini membentang di atas lahan luas yang membentang antara tempat bersandar kapal hingga gedung - gedung pertokoan.

Kota ini telah berkembang pesat menjadi jantung perdagangan di kerajaan yang berkuasa di pulau ini. Dahulu di dermaga hanya terdapat penjual di bawah terpal yang akan mudah lepas tertiup badai. Sekarang semua semakin baik, pemerintah kerajaan membangun sebuah deretan gedung pertokoan yang terbagi dua dan dipisahkan oleh jalanan utama.

Gedung paling utara disewa oleh para nelayan terkenal di kota yang bersatu dalam satu organisasi. Mereka bangga memajang sebuah papan besar bertuliskan BLACK MARLIN di depan toko. Dua gedung berikutny diisi oleh bank lokal yang sudah terhubung langsung dengan sistem keuangan kerajaan.

Di sisi selatan gedung pertama yang berbatasan dengan jalanan utama terdapat toko roti paling enak menurut penduduk sekitar, roti Fleigale. Toko Fleigale bisa dikenali dengan mudah melalui plang dengan warna dasar cokelat dari kayu tergantung bergambar kelinci hitam yang sedang memakan roti berwarna putih. Di sebelah toko Fleigale, café Levarms menjadi tempat bersantai untuk menikmati berbagai minuman berbahan dasar anggur ungu dan merah.

Paling selatan dihuni oleh para pengrajin kayu dan besi an Frimbose. Memberi peluang para saudagar untuk menambah koleksi maupun menjual barang unik yang enggan mereka rawat. Kain hitam panjang dengn tulisan latin an Frimbose menutup toko ini, mencegah sinar matahari masuk dengan mudah menyinari barang - barang unik itu. Kayu - kayu bahan mereka dihanyutkan melalui sungai kecil yang melintas di selatan toko mereka.

Sungai ini melintas membelah kota kemudian berbelok di belakang gedung pertokoan ke selatan menuju tebing tinggi di selatan kota. Karena sungai ini, sebuah jembatan penghubung yang melengkung dibuat supaya para penduduk dapat melintas ke bagian kota lainnya. Hampir semua bangunan di Vietersburg terbuat dari batu jingga. Sehingga membuat kota Vietersburg dijuluki kota Jingga.

~main city of vietersburg~

Di tepian sungai yang melintasi kota terdapat sebuah rumah kecil dengan halaman ditumbuhi sayuran berdaun bulat lonjong mengitari rumah dari sisi kiri hingga kanan. Menyisakan bagian depan yang berisi tumpukan kayu dan beberapa hasil kerajinan meja, kursi, ataupun pintu yang terbuat dari kayu.

Dari sisi depan rumah terdapat pintu cokelat diapit dua jendela putih. Pintu dengan guratan alami yang terbuat dari pohon Fitom. Pohon yang banyak tumbuh bebas di sepanjang Pegunungan Rakavas, batang pohon fitom berwarna cokelat muda sudah memiliki guratan berwarna cokelat tua membuatnya dijadikan sebagai bahan utama untuk membuat kerajinan.

Di pintu yang terdapat papan putih bertuliskan "ROHA via " muncul seorang anak laki - laki memakai jas dan celana kulit sebatas lutut yang keduanya berwarna cokelat. Wajahnya oval dengan hidung yang nyaris mancung, rambut pendek terurai rapi, dan kulit putih bersih. Itu adalah Raka, dia saat ini berumur 11 tahun. Ia sedang menuju ke sekolah. Di tangannya yang sebelah kanan dipegang sebuah topi dengan panel yang menyatu dengan bagian kelep yang juga berwarna coklat bergaris hitam kotak - kotak.

Raka kemudian mengenakan topi itu sembari berjalan menjauh dari rumah. Tangan kirinya diikat oleh gelang perak berukir sedang memegang sebuah buku tulis bersampul hitam. Dari bawah sepatu merah tua dari kulit membungkus kaki Raka, di bagian alas dari sepatu itu terdapat lapisan cokelat yang terbuat dari kayu kichant yang lentur mirip karet.

Raka pergi ke sekolah sering memutar melewati jembatan yang terletak dekat area perdagangan dermaga. Hal ini akan menghibur dikarenakan pemandangan dermaga yang selalu ramai, menarik untuk dilihat setiap harinya.

Hiruk pikuk dermaga yang padat Raka lalui, tidak ketinggalan para penghibur jalanan juga ikut mengambil posisi. Diantara mereka adalah Frans Lutumartha, seorang pelukis yang selalu duduk di bibir kolam air mancur tengah.

"Raka," panggilnya Frans, sang pria berambut abu - abu tipis. Ia mengenakan kemeja putih hitam kotak - kotak dengan sebuah tali menggantung di bahu menyangga celana hitam cokelat kainnya. Sebuah topi yang serupa dengan Raka tidak pernah ketinggalan dalam penampilannya.

"Saya," jawab Raka mendatangi Frans.

Frans merupakan pelukis jalanan. Ia menjual hasil karyanya yang terdiri dari lukisan keindahan kota Vietersburg. Meskipun bersifat jalanan, salah satu lukisannya telah dipajang di museum lukisan Jeo an Paradise. Frans sudah berumur 65 tahun, hal itu terlihat dari wajah lemas dan kantung mata yang tebal. Tapi, kulit Frans tidak keriput sedikitpun. Kulit Frans tetap licin dan lembut seperti pria muda yang baru saja melewati masa pubertas pertamanya.

"Apa rencanamu hari ini Frans ?" tanya Raka.

"Aku ingin sekali melukis Vietersburg yang membara," jawab Frans.

Raka berpikir untuk membantu Frans mewujudkan keinginannya hari ini.

"Vietersburg dikala senja dengan cuaca cerah mungkin akan tampak membara," jawab Raka dengan tawa kecil.

"Menarik," senyum Frans meletakan sebuah frame lukisan ber-watermark an Frimbose berisi kanvas bersketsa dermaga yang penuh dengan keramaian serta coretan berbentuk kotak banyak berhamburan di lautan.

"Raka pergilah. Nanti sekolahmu terlambat. Kau ingin mengenal dunia kan, salah satu cara mengenal dunia adalah sekolah," jelas Frans.

"hehe.. iya," tawa Raka. Ia sudah mengenal Frans semenjak berumur delapan tahun. Frans berwawasan luas, ia banyak menceritakan keindahan dunia luar kepada Raka. Dan topi yang sama itu adalah bukti kedekatan mereka.

"Vebr," salam Raka, kembali melangkah menuju sekolah.

"Vebr," jawab Frans.

vebr : sampai jumpa.

Raka pergi berlari melewati jembatan penghubung di belakang gedung pertokoan, melanjutkan perjalanan pagi - pagi itu melewati jalanan utama kota. Jalanan ini lebar bahkan bisa dilalui sepuluh kereta kuda secara bersamaan. Di sebelah kiri - kanan jalan terlihat kotak - kotak tanpa tutup berwarna jingga di depan masing - masing rumah penduduk. Masing - masing rumah terdapat satu kotak berwarna jingga yang tergantung tepat di depan pintu mereka.

Beberapa menit kemudian saat Raka melewati barisan toko bunga Lloflowerista, Toko Baju Porsceco, dan toko daging Maksider sesorang berteriak, "Raka, tunggu..."

Seorang gadis sebaya Raka mengejar sambil memejamkan mata, kedua tangannya diregangkan seperti hendak mendorong. Rambutnya berwarna coklat keabu-abuan bergaya quiff standard.

"Kamu sudah membuat tugas minggu lalu, Vie ?" Raka bertanya ke Silvie yang hari ini mengenakan sebuah one piece berwarna putih dengan jaket jeans kecil yang menutup di bagian bahu dan setengah lengannya yang langsing.

"Sudah, tapi aku tidak yakin benar. Boleh aku melihat milikmu Raka? Jawabanmu selalu meyakinkan kebenarannya hahaha" tawanya riang membuat matanya kembali terlihat terpejam. Seberapa pun Silvie tertawa atau tersenyum matanya akan selalu terlihat terpejam.

"Baiklah, tapi harus ada petukarannya," balas Raka ketus.

"Bagaimana kalau ciuman ?" toleh Silvie ke Raka, sembari berjalan bersama melalui jalan pagi kota Vietersburg yang riang.

"Hah?" Raka menoleh kaget penuh keheranan.

"Bercanda, tehee" lidah merah jambu Silvie menjulur lembut keluar dari bibir yang pipih namun tebal di bagian bawah -mengejek Raka. Raka hanya membalas dengan menggeleng pelan.

Mereka berjalan bersama, bersebelahan, berdua di tengah padatnya jalanan utama kota melewati hiasan bangku - bangku dari kayu yang diapit rapi oleh pot - pot besar berisi beraneka ragam pohon. Tiang - tiang lampu jalan di kota Vietersburg berwarna hitam. Semuanya terjajar rapi di sepanjang jalan. Tiang lampu ini ada di setiap titik, setiap sekitar 10 meter. Tiang ini berbentuk trisula dengan lampu di setiap ujungnya. Bola lampu putih susu dibungkus oleh sebuah kotak prisma segi enam yang akan menyala jika gelap dan semuanya diatur oleh pemerintah kota Vietersburg.

Tak lupa senyum dari para petugas keamanan kerajaan berbaju biru tua dengan rapier menggantung di pinggang dan senapan di punggung. Mereka menjalankan tugas harian berpatroli keliling memberikan rasa aman kepada seluruh warga kota. Satuan keamanan ini dikenal dengan nama Trivell Aquiros.

~school~

Tempat Raka bersekolah terletak beberapa blok di sebelah barat dari gedung pusat pemerintahan kota, dan merupakan satu - satunya sekolah yang ada di kota ini. Sekolah ini bernama Iniyahanda an Haluks.

Bangunan sekolah dari depan nampak seperti sebuah aula, 4 pilar sejajar menjadi pondasi depan bangunan. Sebelum pilar terdapat 4 anak tangga. Semuanya berwarna jingga, dan terlihat jelas petak - petak kotak bata yang menyusun bangunan sekolah ini. Pintu sekolah berwarna hitam, jumlahnya sepuluh menyatu menjadi satu kesatuan. Masing - masing pintu berukuran lebar 1 meter dan tinggi 3 meter.

Setelah melewati pintu terdapat lapangan yang merupakan halaman sekolah. Sebuah kolam ikan lengkap dengan air mancur menghiasi di tengah. Di sekitar lapangan terdapat enam kelas. Kelas - kelas ini memutari kolam, kelas pertama untuk usia 8 - 9 tahun, kelas kedua untuk usia 10 - 11 tahun, kelas ketiga untuk usia 11-13 tahun, dan kelas keempat untuk usia 13-15 tahun. Kelas kelima merupakan ruang guru, dan kelas keenam adalah perpustakaan.

Karena umurnya Raka dan Silvie sekarang berada di kelas ketiga. Sekolah Iniyahanda kelas ketiga mengajarkan ilmu menengah tentang dasar tata letak kota serta sejarahnya, dasar berdagang, dan kreatifitas.

Raka langsung memasuki kelas. Kelas yang sekarang Raka tempuh memiliki dinding berlukiskan awan putih berlatar langit biru. Bangku dan meja terbuat dari kayu berwarna cokelat tua. Lima baris meja memanjang ke belakang dengan tiap baris berjumlah empat meja. Tempat duduk Raka terletak di baris ketiga sebelah kanan. Di muka kelas terdapat papan hitam selebar enam meter, di sisi kanan papan terdapat sebuah pot berisikan batang kayu yeng menjulang bercabang tanpa daun yang digunakan sebagai tempat menggantung topi atau jas bagi guru yang mengajar. Semuanya berada di lantai yang lebih tinggi 2 inch dari lantai lain di ruangan, membuatnya seperti panggung kecil di depan kelas.

Bel pun berbunyi, namun guru yang mengajar belum hadir ke ruangan. Mengakibatkan kelas menjadi sedikit riuh.

"hei.. Oravia- Raka, jadi kau masih berangkat bersama Silvie ?" kata seorang laki - laki bertubuh paling kekar di kelas Raka, dia duduk bersandar di kursi. Kedua tangannya ia sandarkan ke kursi sementara kaki kanannya disandarkan ke meja. Lagaknya seperti seorang tuan tanah yang sedang memperhatikan budaknya bekerja. Namanya Makhside Agitua, rambutnya keriting gimbal. Dalam kesehariannya, Makhside mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Makhside seperti kakak yang protektif kepada adiknya Silvie, ya dari segi umur Makhside lebih tua dua tahun dari Silvie yang saat ini berumur 12 tahun. Mereka adalah tetangga di jalan utama Vietersburg, rumah Makhside terletak di sebelah kanan rumah Silvie yang sama - sama menghadap ke utara. Oleh karena mereka yang sudah kenal semenjak kecil membuat Makhside merasa menjadi kakak dari Silvie.

"Kau bukan kakak kandungku. Berapa kali kubilang. Kau tidak berhak marah. Aku bebas berjalan dengan siapapun," balas Silvie.

"Hampir setiap hari kau begitu, padahal Silvie saja tidak ingin memanggilmu kakak," bisik Raka sambil menunduk menghindari tatapan Makhside, topinya menutupi sebagian muka.

Makhside mendengar bisikan Raka akhirnya marah, diraihnya kerah baju Raka dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menghujam memukul pelipis kiri Raka. Raka yang terkena pukulan jatuh tersungkur, punggungnya menabrak kursi. Kursi - kursi pun berantakan tergeser oleh tubuh Raka.

Tak jauh dari Raka tersungkur, berdiri salah satu dari teman kelas Raka. Tingkahnya angkuh.

"Oya tontonan yang menarik di pagi hari. Makhside sebaiknya kau sudahi dulu, Guru cantik kita akan segera tiba," kata Agran, ia bersandar di bibir pintu, dia adalah pesaing Raka dalam bidang akademik. Kemeja hitam dan celana hitam panjang di kenakan si pemilik senyuman tajam merekah dengan rambut merah menyala.

Agran memang dijuluki anak setan, senyuman miliknya selalu saja memperlihatkan kedua gigi taring di ujung bibirnya. Dengan lirikan yang tajam dan menakutkan, ia sangat cocok menjadi penjahat berdarah dingin yang siap membantai siapapun yang menghadangnya. Agran juga tetangga Silvie karena berada di sisi kiri rumah Silvie, hal itulah yang membuat Agran menjadi panutan untuk Makhside.

Guru pengajar pertama mereka datang, Amelia Gordougan memasuki ruang kelas. Anak - anak yang sedari tadi berbuat onar seketika menjadi jinak dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa meninggalkan bekas keributan sedikit pun. Amelia Gordogan merupakan guru tata letak kota dan sejarah.

"Raka tolong kumpulkan tugas minggu lalu, dan letakkan di meja Ibu" pinta Amelia kepada Raka. Dalam hal ini, Raka sebagai sekretaris di kelasnya. Sehingga sudah menjadi tugas Raka untuk mengumpulkan tugas dari semua teman di kelas ini. Raka yang mendapat tugas segera mengambil buku - buku berisi tugas dari temannya.

"Agran apakah kamu sudah mengerjakan tugas dari Ibu?" tanya Amel langsung ke Agran.

"Tentu saja sudah, guru kami yang manis," jawab Agran dengan sedikit senyuman tipis melengkung. Ia kemudian melempar buku yang berisi tugas ke tumpukkan buku yang sedang dibawa oleh Raka. Lemparannya tepat mengenai dagu Raka, dan jatuh tertumpuk rapi.

"Agran berapa kali ibu katakan, perilakumu tidak sopan. Kau memang pintar tapi perilaku seperti itu

akan membuatmu sulit diterima oleh masyarakat," kata guru itu dengan poni rata sebatas alis sambil mengarahkan jari telunjuk tangan yang mungil ke arah muka Agran.

Agran membalas dengan mengangkat kedua tangan, seperti orang yang menyerah ditodong oleh sebuah senapan panjang Trivellios. Amelia hanya bisa menghela nafas, rambutnya terurai panjang tanpa celah hingga pinggang. Ia kemudian mengambil sebutir kapur dan mulai mengajar. Kali ini ibu guru Amelia akan melanjutkan pengajaran sejarah kota Vietersburg.

"Vietersbug, semua mungkin sudah mengetahui kota kita tercinta yang kita tinggali saat ini disebut juga sebagai kota jingga. Asalnya karena hampir semua bangunan di kota ini terbuat dari bata jingga," Amelia memulai pengantar materi hari ini. Di sekolah ini tidak ada buku pedoman, pengajar diberikan kebebasan untuk mengajar sesuai dengan wawasan yang mereka miliki. Hanya ada pembatas tentang apa yang disampaikan, supaya tidak membayakan kehidupan sekitar nantinya.

"Dari riwayat yang ada di buku sejarah Arvana an Hovobia karya Vi Virata an Hovobia Fiadis E. Shartanuburg. Batu bata jingga yang menjadi penyusun kota Vietersburg berasal dari lembah Ivara. Lembah Ivara terletak di lereng puncak tertinggi Rakavas, Ve Ivara. Tapi, sekarang batu bata jingga tidak ditemukan lagi di tempat itu. Konon karena kekurangan bata putih untuk membangun, 30 tahun lalu semua batu bata di sana diambil dan dijadikan bahan bangunan di sini."

"Virata-ya, bagaimana si guru besar Fiadis itu tau berasal dari sana sedangkan tidak ada lagi bata jingga di lembah Ivara ?" tanya Agran memotong penjelasan Amelia, keangkuhan akan jelas terasa ketika mendengar setiap kata dari mulut Agran.

"oh, bagus Agran. Coba kamu tidak nakal. Mungkin akan banyak wanita manis dan cantik yang suka denganmu," ejek Amelia. Dari rupa wajah dan fisik, Agran seorang yang tampan. Ditambah cara berpikirnya yang cepat dan cerdas, menambah sisi ideal Agran. Jika Raka lebih memilih diam dan melihat, maka Agran adalah tipe rame, dan selalu ingin paling menonjol dari yang lain.

"Vi Virata Fiadis ketika sedang berpetualang menggambar peta seluruh wilayah kerajaan Burganvia. Dalam perjalanannya, ia menemukan sebuah gua yang di dalamnya terdapat guratan warna jingga menyala menghiasi dinding - dinding gua di dekat lembah Ivara. Dari situ dia menyimpulkan kalo batu jingga berasal dari lembah Ivara" jawab Amelia atas pertanyaan Agran.

Di lain sisi congkak dan jahil Agran, ia merupakan anak yang rajin membaca. Setiap pagi ia berlari berkeliling dekat rumah sambil membaca buku. Sebuah kemampuan yang jarang bisa dilakukan orang lain. Di rumahnya Agran memiliki banyak tumpukan buku yang sudah ia baca. Sejujurnya ia juga pengemar para cendekiawan dari sekolah tertinggi Burganvia, Tutiva an Haluks . Salah satunya Leidisch, dia adalah perancang senjata yang digunakan Trivellios saat ini. Selain itu, dari buku yang ia tulis : Vijjialvia Vean Alpinchou disebutkan bahwa ia banyak belajar dari salah seorang kaum paling pintar yang pernah ia temui. Kejelasan kaum itu masih menjadi misteri. Oleh hal itulah, Agran termotivasi untuk belajar lebih giat, banyak membaca buku. Untuk mencari kaum yang disebut dalam buku itu sebagai kaum terpintar, dan kenapa mereka disebut kaum terpintar.

"Vietersburg berasal dari nama thirvan saat kerajaan Burganvia baru saja terbentuk," Amelia melanjutkan materi sembari berjalan perlahan mendekati murid - muridnya yang mulai hilang kefokusannya.

"Saat itu raja Burganvia vois Ethivania Verseuthiburg yang bergelar Ethivania I mengutus lima thirvan (patih)nya untuk membagi wilayah pulau dan menentukan wilayah mereka. Nama belakang mereka yang akhirnya dipakai untuk menamai kota - kota tersebut dan mereka, para patih ini adalah gubernur pertama di setiap kota tersebut," jelas Amelia.

"Ibukota kita dinamai dari nama raja pertama Burganvia vois Ethivania Verseuthiburg, begitu. Ada yang ingin bertanya ?"

Salah seorang anak berambut cokelat muda bertopi putih mengangkat tangan, "kenapa nama mereka berbeda dari nama Evie mereka?" tanya Aliba Greebell.

*Evie : orang tua

"Itu karena tradisi dulu, nama belakang anak - anak kaum Burganvia memang dibuat berbeda untuk membedakan silsilah keturunan. Berbeda dengan sekarang, nama belakang keturunan sama dengan orang tua untuk membedakan garis keturunan mereka. Dan mempermudah mencari silsilah keluarga yang sudah semakin banyak," jawab Amelia atas pertanyaan Ali.

Amelia melanjutkan sejarah tentang Vietersburg, dan waktu pun sudah mendekati akhir. Dia saat ini menjelaskan tentang perjanjian persamaan kerjaan Burganvia. 18 tahun yang lalu terjadi kedatangan besar - besaran pendatang ke Burganvia. Dan sesuatu yang tidak bisa dihindari terjadi, yaitu perang. Perang diakhiri oleh sebuah bencana besar yang akhirnya menghasilkan perjanjian persamaan. Vietersburg menjadi penjara khusus untuk para pendatang, mereka dilarang untuk menjelajah ke kota lain. Meskipun begitu, para pendatang tetap berdatangan dan satu - satunya celah untuk bisa masuk ke Pulau Arvana saat ini adalah Vietersburg. Untuk mengamankan kota Vietersburg dari marabahaya, petinggi Burganvia sampai membuat divisi khusus keamanan jalur perdagangan.

"Virata-ya, itu tidak perlu ," Agran mengkritisi.

"Kerajaan ini luas Agran, kalian juga perlu tau sedikit tentang apa yang terjadi di luar sana." Ketus Amelia kali ini menimpali perkataan Agran yang mulai tajam.

"Agran benar Virata, tidak perlu menceritakan hal yang tidak perlu diceritakan. Itu hanya akan menakuti mereka yang ingin pergi ke ibukota." Kali ini Raka sependapat dengan Agran, sesuatu yang jarang terjadi.

"Kalian perlu tau dan mengerti, Vietersburg ini istimewa karena keanekaragamannya. Berbeda dengan bagian bagian daerah lain yang hanya dihuni orang pribumi Burganvia," sanggah Amelia.

"Tapi, ingatlah kalian merupakan anak dari para pendatang, butuh medal untuk dapat pergi ke ibukota. Jangan melakukan hal yang tidak perlu," kata Amelia menjelaskan.

Tidak banyak informasi tentang perang itu, yang memang sedikit ditutupi oleh pemerintahan kerajaan karena takut akan memicu pemberontakan baru.

"Kita lanjutkan ke biografi an herany Vietersburg, Ovoir Alex Fikredburg." Amelia berkelit menghindari protes dari dua murid pintarnya.

*ovoir : julukan bangsawan tingkat tiga

Amelia menutup materi dengan menjelaskan biografi Gubernur Vietersburg saat ini : Alex Fikredburg. Seorang gubernur yang berasal dari kaum minoritas non bangsawan. Tapi sekarang ia sebagai gubernur sudah menjadi bangsawan tingkat tiga.

Dengan senyumnya yang masih memperlihatkan empat gigi dominan itu, Amelia mengakhiri pelajaran. Diiringi sebuah bunyi bel dari pukulan besi ke aluminium yang terdengar nyaring memekak telinga.

Amelia sudah melangkah pergi dari kelas, tidak ketinggalan sebagian murid yang ingin cepat pulang berhamburan meninggalkan kelas. Sementara Agran, Silvie, Raka dan Makhside masih berada di kelas.

"Tumben sekali kamu setuju dengan Agran, Raka," kata Silvie sembari merapikan peralatan tulis dan buku yang kemudian ia masukkan ke dalam tas kantung dari kulit berwarna hitam.

"Aku selalu membaca hal - hal tentang ibukota, perkataan Virata tadi seperti menakuti bahwa ibukota dan kerajaan yang kita diami ini sangat kejam," Raka menjelaskan maksud ia memprotes materi dari gurunya, Amelia Gordougan.

"Tapi memang begitu kan, Oravia Raka-ya. Ibukota sangat menarik, banyak wawasan baru yang ada disana. Mulai dari kaum terpintar, perang senja, kota modern, sampai para penyihir," senyum Agran, kedua tangan ia taruh di kantung celana hitam panjang yang ia kenakan.

"Penyihir ?" heran Raka.

Agran melirik sembari tersenyum, tatapan yang ia berikan memberikan rasa penasaran Raka untuk bangkit.

"Sudahlah ayo kita pulang Raka, kau sudah berjanji mengantar aku kan ?" Silvie menarik tangan Raka, memaksanya pulang. Mereka pergi menibggalkan Agran dan Makh.

"Cih," muka Makhside memerah seperti tomat yang matang.

"sudahlah Makh-ya. Bagaimana kalau kita menyusup ke museum sore ini ?" Agran merangkul Makhside yang bermuka masam.

"oi, benarkah ?" tanya Makhside, kelihatan ragu.

"Tentu saja, jika tidak diberi sedikit tantangan, nanti hidupmu membosankan," tawa Agran, anak yang selalu terlihat santai, anak yang terlihat bebas tanpa beban.