"Sebenarnya, cewek pendek itu adalah 'settingan' tuhan untuk di kecup keningnya."
Cup!
"Ih, kok di cium beneran?!" rengekku mengelap dahiku, lalu memukul pelan dada bidang laki-laki di depanku ini. Bukan karena marah, tapi malu. Kalau seekor banteng melihat pipiku, pasti sudah jadi sasaran.
Mario Aditya.
Dia sahabatku sejak awal masuk SMA. Sebenarnya kita adalah teman masa kecil, namun berada di sekolah yang sama membuat kita tidak terlalu dekat. Saat SMA, Rio adalah orang pertama yang ku jumpa saat MOS. Saat aku di hukum karena tidak memakai name take, di sela-sela hormat pada tiang bendera aku melihat Seorang laki-laki terkepung oleh beberapa anak osis termasuk sang ketua osis yang sok berkuasa.
Sebagai mausia normal yang di landa hawa kepo, sambil hormat pada sang saka ekor mataku melirik laki-laki itu yang sedang mencoba bernegosiasi perihal MOS dengan 3 anak OSIS beserta ketuanya dan siswa senior itu terlihat geram. Aku sedikit heran, dari tampang anak itu tak ada muka badboy sedikit pun tapi berani dengan anak OSIS. Mungkin ini membuktikan, tidak selamanya pria berwajah badboy menjadi jagoan.
Tapi, itu sama saja cari mati!
Dan benar.
Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya yang samar di telingaku, satu pukulan menghantam pipi kanannya. Aku bergidik ngeri, takut. Bayangin aja, lo liat langsung kejadian orang berantem didepan mata lo!
Aku shok, histeris, laper. Ingin rasanya aku teriak untuk merelai mereka, syukur-syukur ada guru yang datang dan membantu menyudahi insiden ini. Tapi, aku takut jadi incaran atau the most wanted anak OSIS itu. Alhasil, aku menyaksikan proses bonyoknya muka laki-laki itu di depan mataku. Setelah puas, keempat kaka OSIS tersebut meninggalkannya dengan melewatiku. Salah satunya menunjukku agar tak buka mulut atau berniat untuk membocorkan kejadian ini pada siapapun.
Selepas mereka pergi, aku menghampiri cowok malang itu dan menolongnya. Namanya Rio.
Dan sejak itu, kita berteman.
"Tadi katanya settingan tuhan buat di cium keningnya, eh pas di cium malah marah. Gimana sih," gemasnya mengacak-acak rambutku.
"Aiih, poni gue!"
Ia tertawa renyah. Manis!
Tangannya terulur untuk meraih tubuhku yang mungil ini. Pipiku semakin padam olehnya, dekapan-nya ini mendamaikan jiwaku, menghangatkan ragaku, kepalanya bersandar di balik pundakku, aku bisa merasakan hemburan nafasnya. Inilah alasan kenapa aku selalu berpura-pura kesal padanya. Saat persahabatan kita merenggang, ia memelukku. Dan berkata...
"Maaf, Nagita-ku si mungil yang tingginya gak bertambah dan terus berku—Aduh!" aku menoyor kepala Rio sebelum ucapannya tuntas. Lantas ia melepas pelukannya dan meringis kesakitan. Rasain!
"Bukan tinggi gue yang berkurang. Lo aja yang grown-nya kecepetan! Jadi orang tinggi banget, mau saingan sama tiang listrik?"
"Ih, mulai yah," ucapnya dengan tatapan penuh arti.
Mataku mendelik. Aku mulai was-was dengan senyum miring terukir di bibirnya juga matanya yang sedikit menyipit. Tatapan ini, aku tau! Dia pasti akan melakukan hal itu. Oh, tidak! Jangaaan...
"Ahaha... Yo, udah Yo, udah! Ahaha..." tubuhku aku menggeliat kesana-kemari ketika jemari Rio menari-nari di area sensitifku, pinggang.
"Ampun, Gak? Ampun, Gak?!" katanya.
"Ahaha, Iya. Ampun! Huh... Ampun, ahaha... Ampun Rio, Rio geli!" melihat mukaku memelas, Rio menghentikan penyiksaan itu terhadapku. Aku mengatur nafas, lalu mengelap air mataku yang sempat keluar. Huh!
"Jadi, masih berani sama Mario?!" ucapnya angkuh.
Di sela-sela mengatur nafas aku berkata, "iya deh. Gue nyerah! Nyerah kalo di geliktik kaya gini. Curang banget!"
"Mau cibir gue lagi?!"
"Eh, iya-iya. Enggak kok, Mario Teguh. haha…."
"Dasaaar!" gemasnya kembali mengacak-acak rambutku.
*****
"Sory yah, Ta. Gue janji minggu depan double deh, jadinya." aku melipat tanganku di depan dada, lalu membelakanginya. Melihat keluar jendela, di mana sang surya sudah berada di titik tertinggi. Agendanya, hari ini aku dan Rio akan pergi nonton. Tapi, ...
"Ta, lo gak marah kan?" tanyanya khawatir.
"Kalo mau pergi, pergi aja!" jawabku tak acuh.
"Yah, jangan gini dong, Ta. Lo bolehin gue jalan tapi nada bicara lo udah kaya mau ngerebus orang. Gue kan jadi serba salah," ucapnya memelas membuatku memejamkan mata lalu menghembuskan nafas berat.
Kalau Rio sudah begini aku merasa tidak tega untuk marah padanya, wajahnya yang memelas membuatku luluh. Dasar nih anak, selalu mengeluarkan jurus andalannya di saat-saat seperti ini, ucapku kesal dalam hati.
"Yaudah. Kalo mau lo pergi, pergi aja," ucapku yang kali ini lembut tanpa menoleh ke arahnya sama sekali, berusaha untuk tidak peduli namun tetap saja aku ingin melirik reaksinya.
Aku merasakan sesuatu menyentuh pundakku. Tangan Rio.
"Thanks yah, Ta. Gue janji nanti pulang gue bawain martabak. Oke? Oke! Byeee...." suara decitan pintu tertutup terdengar jelas seraya menghilangnya suara Rio di indra pendengaranku.
Rio, ia sudah pergi.
Aku menunduk.
Sikap macam apa yang gue lakukan padanya tadi? Ngambek gara-gara gak jadi jalan. Marah karena dia yang lebih pentingin pacarnya daripada gue. Emang gue siapa dia? Kalau pun ada yang marah pacarnya dong yang ngomel-ngomel ke gue.
Aish, kenapa otak gue runyam gini? Ini kan gak ada kaitannya sama rumus fisika Pak Baroto!
Sudah setengah jam aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Sudah jam setengah duabelas malam, apa yang ku tunggu tak juga datang. Bukan Rio, tapi martabak yang di janjiin bocah tengil itu!
"Ish, lama banget sih!" aku merampas Ponsel yang tergeletak di meja belajar. Membuka kunci dan mencari akun BBM yang bernama Rio Gingsul.
Sengaja ku rename Display Name kontaknya. Giginya memang ada satu yang panjang, manis kalo senyum. Dia juga jago main gitar. Kata orang orang sih, 'cowok tinggi itu keren, cowok gigi gingsul itu manis, cowok bisa main gitar itu romantis. Kalo punya cowok tinggi, bisa main gitar dan bergingsul, barokah hidup lo!'
Tapi, sayang. Dia udah ada yang punya dan pacarnya cantik pula dan yang paling membuatku minder umurnya yang lebih muda dariku. Seua itu membuat ke insecur-an aku ini semakin bertambah.
Nagita Alana : Ping!!!
Nagita Alana : Ping!!!
Nagita Alana : Ping!!!
Nagita Alana : Woy, Yo. Lo masih idup kan?
Yah, cuma 'D'. Apa dia masih sibuk sama ceweknya yah?!
Otakku berpikir ke mana-mana tentang apa yang dilakukan Rio dengan Cinta. Sedang apa mereka sekarang? Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka bersenang-senang menghabiskan waktu bersama?
Aku merebahkan kepalaku di kasur, memikirkan tentang mereka hanya membuatku pusing kepala. Namun aku tidak bisa menyingkirkan pikiran itu dari kepalaku, sekarang apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku harus melepas kepalaku.
Huuuuh, aku menghembuskan napas panjang. Mataku terasa berat, perlahan-lahan kelopak mata ini tertutup dan aku pun terlelap. Rasanya ringan, aku pun mulai berkunjung di dunia mimpi.
*****