"Gea, aku boleh pinjam boneka kamu gak?" tanya Gita saat bermain dengan teman-temannya di teras rumah Bu RT, tempat anak-anak berkumpul.
"Gak boleh," jawab Gea sembari menarik beberapa boneka yang tergelatak begitu saja di hamparan karpet.
"Tapi kan boneka kamu banyak," kata Gita dengan wajah memelas, berharap sepupunya akan iba.
Namun, Gea justru melempar beberapa boneka yang sudah tak lagi di gunakan itu ke comberan yang tak jauh dari tempat mereka bermain.
"Gea, kok di buang?" tanya salah satu temannya.
"Biarin aja, mendingan di buang dari pada di kasih sama Gita," jawab Gea sombong.
Gita murung seketika, ia sakit hati melihat perlakuan sepupunya. Hanya Gita yang tak memiliki boneka untuk bermain bersama teman-temannya. Boneka pemberian almarhum papanya sudah rusak dan tak layak pakai.
Mata Gita berembun melihat boneka yang menurutnya masih bagus di buang begitu saja oleh sepupunya.
"Kamu mau? Ambil kalau bisa! ha ... ha ..." ejek Gea saat melihat Gita yang terus menatap boneka yang telah bercampur lumpur hitam itu.
Karena Gita sangat menginginkan boneka untuk bermain bersama temannya. Terpaksa ia mengambil boneka yang sudah di lumuri lumpur itu. Namun, saat tangan mungilnya berusaha menggapai boneka itu, seketika ibunya datang dan menariknya.
"Gak usah di ambil Gita, kamu gak mesti merendahkan diri kamu di hadapan orang-orang sombong," ucap ibunya sembari melirik ke arah Gea. Bukannya takut karena ada orangtua, Gea justru semakin jumawa.
"Tapi Gita mau boneka ma," rengek Gita sembari menunjuk boneka dalam comberan.
"Yuk, kita beli boneka yang baru, mama masih ada uang," kata Intan sembari menarik anaknya. Ia benar-benar sakit melihat kelakuan keponakannya yang tak berbeda dengan ibunya.
Gea menatap sinis kepergian Gita bersama ibunya.
Di perjalanan menuju pasar. Semua mata tertuju padanya. Intan merasa tak nyaman karena banyak yang berbisik saat ia melewati orang-orang.
"Ma, kenapa orang-orang lihatin kita begitu ya?" tanya Gita. Anak kecil itu sangat pintar. Ia peka terhadap sesuatu.
"Mama juga gak tahu, ya sudah jangan di hiraukan, sekarang kita beli boneka buat Gita aja, ya," ujar Intan lalu di sambut senyum ceria oleh anak semata wayangnya.
Sesampainya di toko boneka, Gita antusias memilih boneka yang ia sukai. Ia mengambil boneka Teddy bear berukuran sedang, sebenernya ia ingin yang ukuran besar, namun ia khawatir ibunya melarang.
"Eh itu kan cewek yang viral itu, dia yang morotin adik iparnya, jangan-jangan beliin boneka anaknya uang hasil morotin adik iparnya lagi," bisik-bisik seseorang pelan, namun masih terdengar oleh Intan.
"Iya, kalau aku jadi istrinya, udah aku bejek-bejek tuh, pokoknya gak ada tempat buat pelakor," jawab lawan bicaranya.
Intan tak mengerti mereka sedang membicarakan siapa. Dari tatapannya seperti mereka sedang membicarakan dirinya, namun ia sama sekali tak mengerti atas dasar apa mereka mengghibahinya.
Intan memiliki android meski sangat jadul. Tapi ia jarang mengisinya kuota, maka dari itu ia jarang sekali membuka sosial media, sehingga dia benar-benar tak mengerti apa yang sedang di bicarakan orang-orang. Intan tetap berfikiran positif, semoga saja mereka tak menggunjingnya, dan rasa tak nyaman ini hanya perasaannya saja.
***
"Mam, apa maksud kamu mempermalukan Intan?" tanya Fathan saat duduk di meja makan. Tadinya ia akan bertanya lewat telpon, namun ponsel Rena tak aktif.
"Maksud kamu apa mas?" tanya Rena di sela-sela menyiapkan makan malam. "Geaaa ... ayo makan sayang," ia memanggil Gea yang masih di kamarnya.
"Aku sudah bilang, jangan ganggu Intan, hanya karena uang 3 juta kamu mempermalukan dia se-Indonesia. Apa kamu gak kasihan, dia sudah gak punya siapa-siapa lagi, orangtuanya gak ada, suaminya juga sudah gak ada," tutur Fathan, ia kesal, namun tetap menjaga nada bicaranya agar tak memancing emosi istrinya.
"Oh itu ... Gak tahu aku juga, tahu-tahu viral aja, lagian karena kejadian itu sosial media aku makin rame mas," jawab Rena.
"Mam, aku serius!" kali ini suara Fathan sedikit menggertak.
"Mas, kan aku udah bilang, aku gak rela uang kamu di makan sama mereka, nanti mereka tuman minta-minta terus, nanti mereka jadi orang malas gak mau kerja, lagian aku juga takut kalau kamu nantinya ada hubungan spesial sama Intan," jelas Rena dengan nada tinggi.
"Kamu terlalu berburuk sangka pada orang lain, cemburu kamu berlebihan, cemburu kamu itu gak beralasan," ketus Fathan.
Ia tahu betul, Rena sedang cemburu buta. Dulu, Rena adalah wanita yang sangat baik dan lembut. Itulah mengapa Fathan meminangnya. Apalagi saat itu Rena memiliki seorang bayi yang baru saja lahir. Namun di tinggalkan oleh suaminya.
Fathan terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Rena, ia juga sangat sayang pada Gea sejak pertama kali melihat bayi mungil itu. Hingga detik ini rasa sayang pada istri dan anak sambungnya tak pernah berkurang.
Namun, sikap Rena perlahan berubah. Ia menjadi wanita egois dan perhitungan semenjak bergaul dengan teman barunya. Fathan tak pernah melarang Rena bergaul dengan siapa saja, hanya saja Fathan khawatir pergaulan yang salah akan mengubah sikap lembut istrinya. Benar saja, perlahan ketakutannya itu terjadi.
"Kamu harus minta maaf sayang, kamu harus klarifikasi di sosial media bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Kasihan Intan, dia pasti banyak yang menghujat di luar sana," ucap Fathan lembut. Meski ingin marah, namun ia berusaha tetap tenang demi keutuhan rumah tangganya.
"Kenapa sih kamu belain intan terus? Kenapa gak bela aku? Aku istri kamu mas? Atau jangan-jangan benar, kamu memang suka sama Intan, jawab mas?" teriak Rena sembari mengguncangkan bagi suaminya.
Fathan yang sudah berusaha keras menahan emosi, akhirnya kembali tersulut lantaran keegoisan Rena. Lelaki itu berdiri dan melemparkan sendok yang sudah ia pegang. Selera makannya hilang seketika.
"Kamu kenapa sih nuduh aku terus? Apa pernah selama ini aku bermain belakang sama wanita lain? Kamu harus ingat, ucapan itu do'a, ucapan kamu terkabul tahu rasa," hardik Fathan. Ia memilih keluar rumah untuk menenangkan diri.
"Mas, kamu mau kemana?" tanya Rena khawatir. Namun Fathan sudah tersulut emosi. Ia tak menghiraukan suara parau istrinya. Fathan membanting pintu saat keluar rumah.
'Aahhh ... semuanya gara-gara Intan, awas kamu ya, rumah tanggaku hancur gara-gara janda s*a*an itu.' batin Rena.
"Mama, papa mau kemana?" tanya Gea saat melihat papanya keluar.
"Papa mau ada perlu dulu sayang, kita makan aja yuk," ajak Rena pada putrinya. Ia berusaha menutupi kekesalan di hadapan putrinya.
Keduanya makan bersama, hati Rena tak karuan, pikirannya kalut, ia menyesal karena terus-menerus menuduh suaminya. Ia takut jika suami yang tadinya setia benar-benar selingkuh hanya karena emosi.
"Ma," tanya Gea di sela-sela makan.
"Apa sayang?" tanya Rena.
"Cerai tuh apa sih?" tanyanya polos.
"Lho, kok tiba-tiba anak mama nanyain cerai, kenapa?" tanya Rena bingung.
"Mama sama papanya Baim katanya cerai, terus sekarang Baim ikut mamanya, Gea gak bisa main sama Baim lagi," jawab Gea polos.
"Oh, cerai itu berpisah sayang, mama sama papa Baim udah gak tinggal satu rumah lagi," jawab Rena sekenanya.
"Oh gitu, Gea seneng deh, soalnya mama sama papa gak pernah cerai, kalau misalkan mama sama papa cerai, Gea mau ikut papa aja, soalnya papa baik," celetuknya.
Tiba-tiba mata Rena membulat mendengar pernyataan polos putrinya. Gea tak tahu jika Fathan hanyalah ayah sambungnya.
***
Sementara di sudut kamar yang lain, Intan sedang berdo'a. Ia sedang mengadu pada sang pemilik kehidupan agar ia selalu di beri kekuatan.
Ia memeluk poto suaminya erat. Ia selalu mendo'akan suaminya. Ia juga berharap bisa bersatu lagi dengan suaminya di surga kelak. Saat ini rindu pada suaminya sedang membuncah, namun rindu yang paling menyakitkan adalah rindu pada dia yang sudah lebih dulu di panggil keharibaan.
***
Fathan menyesap satu batang rokok untuk menenangkan pikirannya. Ia duduk di kursi teras rumahnya. Namun, saat sedang asyik-asyiknya memainkan asap rokok yang membumbung ke udara, seketika bayangan masa-masa itu menghantui pikiran. Bayangan saat kakak kandungnya bersimbah darah dan meminta pertolongan berkelebat di kepala.
Bersambung.