Beberapa ekor gagak terbang keluar dari hutan karena merasa terganggu dengan keributan yang dibuat oleh dua pria yang sedang berkelahi, Naara vs si A sedangkan teman-teman si A yaitu B, C, D dan E sudah Naara lumpuhkan terlebih dulu.
Seperti dugaan Niin sebelumnya, A bukanlah orang sembarangan, pria itu bisa melakukan segel bunga. Berbeda dari cara Komandan Zee yang mengeluarkan segel bunganya dari dalam tanah, si A justru mengeluarkannya dari telapak tangan, saat segel itu ia tembakkan segel itu melebar membentuk jaring laba-laba yang akan menjerat target.
Segel bunga yang ditembakkan A memiliki jangkauan yang cukup luas, temponya juga cepat, Naara harus ekstra hati-hati dalam bergerak, sekali terjerat, sesuatu yang buruk akan terjadi.
Dari kejauhan Niin, Binggo dan si gadis berambut hitam memperhatikan.
A melakukan tembakan, Naara melompat menghindarinya dan A langsung tersenyum. Ia dengan cepat membentangkan segel bunga di bawah, tepatnya di titik Naara akan mendarat.
Melihat hal itu, ketiga penonton terhentak kaget.
A sudah percaya diri akan menangkap Naara, sayangnya ia masih pemula. Naara berayun di dahan pohon lalu melesat dan menghantamkan kakinya di wajah A.
A jatuh terduduk namun ia segera bangkit akan tetapi sebelum ia benar-benar berdiri, perutnya menerima sebuah hantaman keras yang membuatnya terlempar sampai ke sebuah pohon dan pingsan.
"Percuma memiliki benda bagus kalau kau tidak bisa menggunakannya dengan baik." Yang Naara maksud benda bagus adalah segel bunga milik A dan juga ... Seimon miliknya.
"Tuan Naara."
Binggo, Niin dan si gadis berambut hitam menghampirinya.
"Guru kau baik-baik saja?"
"Tuan kau hebat sekali." Tanpa rasa takut sedikit pun, gadis berambut hitam menyelonong mendekati Naara. Ia bahkan menatap Naara dengan tatapan yang entah kenapa membuat Niin jengkel.
"Siapa kau dan siapa mereka?" Bukannya menjawab pertanyaan Niin, Naara langsung menanyakan hal yang mengganjal di pikirannya.
"Aku Hana dan mereka anak buah Gubernur Dio," jawab si gadis bernama Hana itu. Sedetik kemudian mata birunya tertunduk layu, dengan wajah sedih ia mulai menceritakan tentang hal yang menimpanya.
Hari ini ia genap berusia tujuh belas tahun yang artinya hari ini Noktah Madu berlaku padanya. Si A dan teman-temannya adalah suruhan Gubernur Dio yang ditugaskan membawa gadis-gadis Noktah Madu. "... saat ingin membawaku ke gubernur aku melarikan diri."
Niin dan Binggo turut sedih mendengarnya melangkah lebih dekat dan memegang pundak Hana. "Jangan khawatir kami di sini untuk membantu." Kekesalan yang tadi ia rasakan pada Hana sudah hilang.
"Kalian?" Hana mengangkat pandangan melihat Niin.
"Um." Niin tersenyum.
Bintang-bintang masih berkelap-kelip, sesekali suara kepakkan sayap burung terdengar. Hana menceritakan segalanya tentang Noktah Madu. Informasi tambahan diperoleh bahwa Gubernur Dio memberi kesempatan pada keluarga atau siapapun yang memiliki hubungan dengan gadis Noktah Madu untuk melakukan pembebasan dengan cara, mereka harus bertarung dan memenangkan seluruh pertarungan melawan para petarung milik Gubernur Dio.
Jika mereka kalah mereka harus menjadi petarung gubernur jika mereka menolak maka gadis yang ingin mereka bebaskan akan dibunuh. Mereka yang ingin menyelamatkan putrinya, saudara perempuannya, kekasihnya, dibuat saling bertarung dan membunuh.
"Apa?! Keterlaluan sekali. Lalu ... setelah mereka kalah atau terbunuh apa yang terjadi pada gadis yang ingin mereka selamatkan?" Niin bertanya.
Dengan nada sedih Hana melanjutkan ceritanya. Gubernur Dio membuat kesepakatan pada petarung bahwa dia akan membebaskan gadis yang petarung itu inginkan asal mereka berhasil membunuh sepuluh orang lawannya, selama angka itu belum tercapai maka gadis yang bersangkutan tidak akan disentuh namun akan ditahan sebagai gadis yang tergadai dan jika petarung itu mati sebelum mencapai angka yang disepakati maka gadis yang bersangkutan akan menjalani Noktah Madu.
Mendengar cerita tersebut, keinginan untuk membantu di dalam hati Niin semakin besar dan ia punya rencana bagus untuk itu.
*
Woah.
Ia terpukau melihat kemegahan dan keindahan mansion sang gubernur. Terasa seperti sedang berada dalam kastil negeri dongeng yang sering diimpikan para gadis, di mana di sana ada pangeran tampan berkuda putih, sayang seribu sayang di mansion super indah yang baru saja ia masuki tidak ada pangeran tampan berkuda putih yang ada hanya gubernur berhidung belang.
Ngomong-ngomong saat ini ia sedang menyamar menjadi Hana. Mengenakan gaun biru dan sepatu elegan yang diberikan A kepada Hana sebelumnya, ia berjalan anggun mengikuti seorang ajudan melewati setiap penjaga tanpa hambatan apapun.
"Nona, tunggulah di dalam, gubernur akan segera datang," kata si ajudan sesaat setelah mereka tiba di depan sebuah pintu besar.
Setelah ajudan pergi, ia membuka pintu dan lagi-lagi ia dibuat terpukau. Ruangan dibalik pintu itu benar-benar indah, bunga, lilin aroma, tempat tidur yang super besar, euh ... tiba-tiba saja keindahan itu membuatnya menenggak ludah sendiri.
Kamar itu benar-benar sudah didesain seperti kamar pengantin. Apapun yang terjadi ia harus bisa menemukan tempat dimana gubernur menahan gadis-gadis yang tergadai tanpa membiarkan dirinya dilecehkan.
Ia melangkah masuk dan melihat setiap sudut. Aroma di ruangan itu sungguh terasa manis dan itu malah membuatnya menghayal kalau dia adalah seorang tuan putri yang sedang berdansa dengan seorang pangeran tampan lalu ....
"Maaf membuatmu menunggu lama sayangku."
Suara seseorang membuyarkan khayalan indahnya. Ia menoleh dan sedikit terkejut mendapati sesosok pria pendek, berkumis, beralis dan berbibir tebal sedang berdiri di depannya.
Sesaat ia bertanya-tanya apakah pria di depannya adalah si gubernur kampret? Sangat diluar ekspektasinya. Ia membayangkan kalau sosok gubernur adalah sosok pria besar berperut buncit tapi ternyata ... pria itu hanya setinggi ketiaknya.
'Tinggi badannya nanggung sekali,' batinnya menutup mulut, menahan tawa.
*
Di luar mansion, terlihat Naara yang menyamar sedang berdiri menebar aura mistis. Supaya tidak heboh ia mengganti jubah merah jambunya dengan jubah hitam lengkap dengan tudung yang menutupi kepala dan menyembunyikan separuh wajahnya. Sudah persis dengan penampilan penyihir kegelapan.
Beberapa penjaga mansion menghampirinya. "Siapa kau?" tanya seorang dari mereka.
"Aku? Ajal kalian."
"Hey, siapa kau?" Penjaga tersebut bertanya lagi. Sayang sekali telinganya tidak mampu mendengar ucapan lirih Naara sebelumnya.
"Aku ke sini untuk membebaskan gadis itu?"
"Siapa?"
"Ni ... Hana."
"Oh jadi kau datang untuk membebaskan gadis Noktah Madu. Memangnya dia siapamu?"
"Siapa?" Naara tersenyum jahat di bawah tudugnya. "Dia peliharaanku."
Untuk sesaat semua terbengong, kurang yakin dengan pendengaran mereka sendiri.
"Apa kau sangat menyayanginya?"
Napas Naara sedikit terhentak mendengar pertanyaan tersebut. Sayang? Apa itu.
"Huh. Aku hanya tidak suka kalau ada yang mengambil milikku," jelas Naara. Entah sadar atau tidak tapi dia baru saja mengklaim kalau Niin adalah miliknya.
Mendadak saja penjaga-penjaga pintu gerbang merasakan hawa dingin. Mereka semua menatap Naara dengan seksama, pria itu membawa aura mencekam.
Seorang dari mereka menyuruh temannya untuk memberi tahu gubernur kalau seseorang datang untuk membebaskan Nona Hana setelah itu ia meminta Naara untuk mengikutinya.
hi terima kasih sudah membaca. jika suka silahkan vote, agar penulis lebih semangat.