webnovel

It's Not Love, Stupid!

“Selama dengan kamu, aku selalu puas. Best fucker I’ve ever had, pecinta yang hebat.” Sang pria kemudian meniru posisi duduk pasangannya sehingga mereka kini duduk berdampingan.

Senyum sang wanita melebar. Ia memiringkan kepala demi untuk bicara lebih dekat pada sang pria. “Pujian itu serius, Felix?”

Ada aroma sperma tertangkap indera penciuman Felix, nama sang pria itu, ketika Debbie menanyainya. Felix meraih bungkus rokok di meja, menyalakan dengan korek api, dan menghirup rokok sambil kembali bersandar di sandaran ranjang.

“Tentu saja aku serius. Tapi seperti tadi siang kubilang, kamu bantu aku dengan rencanaku di tempat ini. Kamu mau kan?”

“Ya,” Debbie menjawab malas. “Aku memahami hasratmu untuk meniduri wanita-wanita cantik di sini.”

“Bukan itu,” Felix mengoreksi. “Aku ingin merekrut mereka untuk mengisi bisnis sebuah rumah bordil baru yang sedang dilakukan Mami. Kalau dalam usaha itu aku menikmati tubuh mereka, itu hanya bonus.”

Jadi, itulah tujuan utama Felix rupanya mengapa ia ada di tempat kost.

“Aku takkan cemburu kalau kau meniduri mereka. Felix, aku punya pertanyaan lain.”

“Apa?”

“Kamu mencintaiku?”

Felix menghirup rokok, mengepul asap, dan menjawab dingin. “Tidak.”

Debbie nampak sedih. Ia menghirup asap rokok yang baru saja terhembus dari mulut Felix tanpa berusaha menghindar. “Tidak mencintaiku? Setelah kita berhubungan sejauh ini?”

“Tidak,” jawab Felix tandas. “C’mon, jangan berlebihan. Yang kita barusan lakukan bukanlah cinta, Debbie. It’s only sex. Dan bukan hanya aku, kamu juga membutuhkannya.”

*.

Awal Agustus adalah hari penuh kesan buat Bella. Saat itu ia berkenalan dengan seorang pemuda. Jayat namanya. Di sebuah bis kota, keduanya saling lirik, duduk di deretan bangku yang sama, saling sapa, berbicara sedikit panjang lebar, dan kemudian berlanjut dengan perkenalan. Sambil tentunya saling bertukar nomor ponsel.

“Terima kasih,” cetus Bella ketika Jayat memegangi tangannya saat keduanya turun dari bis.

“Jadi ketahuan deh,” kata Jayat malu.

“Ketahuan apa?”

“Ketahuan kan telapak tangan gue kasar. Bisa tebak aku kerja di mana?”

“Nggak tau.”

“Aku teknisi bengkel. Mangkanya tanganku kasar kaya gini.”

Bella tersenyum semanis mungkin. Ia menyibak rambut dan menanggapi dengan santai. “Emang kenapa kalo tangannya kasar? Justeru kalo cowok tangannya lembut, aku curiga itu orang gak pernah kerja apa-apa.”

“Iya juga sih.” Jayat manggut-manggut. “Terus tadi pegang tangan kamu, ya ampun lembut banget.”

“Itu karena aku kerja di salon jadi kapster. “

“Wahhh salonnya pasti rame kalo kapsternya kamu. Iya kan?”

“Sok tahu,” Bella pura-pura marah walau ia senang dengan pujian itu. “Biasa aja koq.”

“Berarti kapan-kapan boleh dong datang dan dilayani? Tapi saya maunya sama kamu aja, bukan sama yang lain.”

“Kenapa?”

“Saya ingin dilayani sama yang cantik dan sexy kayak kamu. Boleh kan?”

Bella terkikik geli. Ia tersanjung atas pujian itu yang telah memerahkan wajah cantiknya.

“Kalo aku lagi ngelayani yang lain gimana?”

“Aku tungguin.”

Mereka terus melanjutkan obrolan yang makin lama makin mengasyikkan itu. Tak banyak yang Bella ketahui tentang Jayat selain bahwa ia seorang pekerja teknisi biasa di sebuah perusahaan dealer truk dan kadang-kadang bekerja enam hari seminggu, termasuk di hari Sabtu. Kesamaan dirinya dengan pria itu adalah bahwa keduanya sama-sama menjalani hidup sebagai anak kost dan sama-sama perantau. Gadis yang sekilas sangat mirip Nia Ramadhani itu dari Sulawesi Utara, sedangkan Jayat dari Lampung. Tentu Bella juga sedikit membuka data diri dengan menyatakan bahwa ia seorang kapster salon, bekerja enam hari seminggu juga, dan… masih lajang.

Hal terakhir itu membuat Jayat membulatkan tekad saat menyatakan isi hati dan meminta dirinya untuk menjadi kekasihnya. Nanti, tidak lama lagi. Tidak sekarang, karena itu terlalu terburu-buru dan malah bisa membuat respek Bella terhadapnya jadi hilang.

*