Lin Tian mengangkat kepala dan mendengar suara Gongsun Mei.
"Ti-ak a-a a-a, ha-ya ya-ar, u," jawab Lin Tian tidak jelas.
Melihat kelakuan anaknya, Gongsun Mei menggelengkan kepala sambil tersenyum dan berkata,"Setidaknya, telan dulu makanan di mulutmu sebelum berbicara."
Lin Tian mengangguk sambil menelan makanan di mulutnya, setelah itu dia bertanya, "Apakah semuanya sudah selesai, Bu?"
"Yah, hanya tinggal menunggu tiga hari kemudian. Tian'er, apakah kamu yakin tidak ingin bergabung dengan sekte?" Gongsun Mei menjawab dilanjutkan dengan bertanya. Terlihat matanya yang penuh harap saat bertanya.
Lin Tian meletakan sumpit dan menggelengkan kepalanya, selanjutnya dia berdiri sambil berkata,"Bergabung dengan sebuah kekuatan hanya akan terikat sebab-akibat dengan kekuatan itu. Jadi, lebih baik saya berlatih sendiri."
Setelah itu, Lin Tian mulai membereskan kekacauan yang ia ciptakan.
Gongsun Mei menghela napas lega dan memperhatikan Lin Tian sambil bergumam,"Sepertinya putraku telah dewasa."
"Baiklah Tian'er, kalau kamu butuh sesuatu tanyakan pada Ibu," kata Gongsun Mei sambil berjalan ke arah Lin Tian. Selanjutnya, dia mencium kening Lin Tian sambil mengelus rambutnya.
Setelah itu, Gongsun Mei berjalan keluar dapur meninggalkan Lin Tian yang tertegun.
Sekali lagi, Lin Tian merasakan sebuah keintiman seorang ibu yang asing menurutnya. Dia menyentuh dahinya dan bergumam,"Sungguh? Apakah memiliki ibu harus dicium dahinya?"
***
Keesokan harinya, Lin Tian telah berada di atas bukit belakang klan. Dia duduk bersila dengan mata terpejam sambil tangannya membuat mudra.
Terlihat energi spiritual seperti udara di sekitar bukit berputar dengan Lin Tian sebagai pusat. Putaran nya semakin cepat mengikuti gerakan mudra Lin Tian yang juga semakin cepat.
Dari tubuh Lin Tian, cairan hitam kental dengan bau menyengat mulai keluar. Cairan itu terus keluar hingga menjadi genangan di bawah tempat Lin Tian duduk.
Tubuhnya smakin merah saat cairan hitam mulai berhenti keluar. Hingga, saat sudah tidak ada cairan hitam yang keluar, tubuhnya sudah berwarna merah padam seperti udang rebus.
Lin Tian terus membimbing masuk energi spiritual ke dalam tubuhnya sambil mengatupkan gigi. Sambil menahan rasa tidak nyaman seperti terbakar, tangannya terus membuat mudra yang terlihat semakin cepat.
Dengung..
Lin Tian menghentikan gerakan mudra nya saat sebuah dengungan bergema dari tubuhnya. Setelah itu, dia membuka mata dan mengernyitkan hidung sambil mengutuk,"Oh sial! Sungguh kotoran!"
Tidak tahan dengan bau cairan hitam di bawahnya, Lin Tian langsung melompat dari tempat ia duduk dan berlari menuruni bukit kembali ke klan.
Di perjalanan saat melewati pelayan yang lewat, banyak yang mengeluh bau. Lin Tian yang mendengar keluhan pelayan semakin mempercepat larinya ke arah halaman.
Sampai halaman, dia dengan cepat melepas jubahnya dan masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa saat, dia keluar dari kamar mandi, namun ia masih mencium bau busuk jadi kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah membersihkan diri beberapa kali, Lin Tian akhirnya bisa bernapas lega. Sungguh, dia tidak tahan dengan bau busuk itu.
Setelah mengenakan jubah baru berwana hitam dengan sabuk giok putih di pinggangnya, Lin Tian berjalan keluar dari halaman pribadinya menuju gudang senjata.
Lin Tian bermaksud untuk pergi berlatih di hutan, jadi dia membutuhkan sebuah senjata. Sampai di depan gudang, ia melihat pria tua yang merupakan penatua ke 2 duduk di depan gudang dengan kepala menunduk. Yah, setiap barang penting seperti perbendaharaan atau gudang senjata pasti ada yang menjaganya.
"Halo paman ke dua," sapa Lin Tian.
Penatua ke 2 mengangkat kepala melihat ke arah Lin Tian dan berkata, "Hmm, Tian'er. Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Itu paman, saya membutuhkan sebuah senjata," jawab Lin Tian sambil menggaruk kepala, dia masih sedikit canggung dengan adanya keluarga.
"Baiklah. Ingat, kamu hanya boleh mengambil satu senjata." Penatua ke dua berdiri dan membukakan pintu gudang.
Lin Tian mengangguk dan berjalan masuk. Di dalam, dia melihat sekeliling senjata-senjata yang disusun rapi mulai dari tombak, pedang, saber, hingga panah. Bahkan dia melihat ada beberapa cambuk juga.
Sambil berjalan, Lin Tian menyentuh senjata satu persatu. Dia mengerutkan dahi sambil bergumam, "Apa ini? semuannya sampah!"
Sebagai mantan kaisar dewa, tentu saja pengelihatan dan pengamatannya tinggi. Lagi pula, senjata seperti apa yang belum ia lihat dulu.
Karena tidak ada yang bagus, Lin Tian hanya mengambil tombak dengan berat sekitar seribu jin berwarna secara acak. Lalu, dia berjalan keluar dan berbincang sebentar dengan penatua ke dua.
Lin Tian berjalan keluar dari klan menuju kota dengan tombak hitam di punggungnya.
Karena jarak ke hutan cukup jauh, Lin Tian memutuskan untuk membeli sebuah kuda di peternakan kuda terbesar di kota Pedang.
Setelah sampai peternakan, dia melihat seorang pria paruh baya dengan pakaian sederhana.
"Paman, apakah ada kuda untuk perjalanan jauh!?" Teriak Lin Tian bertanya.
Pria itu menoleh dan berlari ke arah Lin Tian sambil mengusap kedua tangan dengan penuh semangat.
"Oh anak muda, kuda seperti apa yang ingin kau kendarai? Di sinj semua tersedia dari kuda poni biasa hingga kuda naga?" Pria itu mulai menunjukan teknik menjualnya dengan penuh semangat.
"Terserah, yang pasti bisa bertahan dengan perjalanan jauh." Lin Tian melambaikan tangan, dia tidak ingin membuang waktu.
"Oh oke sebentar," ucap pria itu dan dengan cepat berlari mengambil kuda saat melihat wajah tidak sabar Lin Tian.
Singkatnya, Lin Tian mengambil kuda naga sebagai tunggangan. Sekarang, dia telah berada di jalan di luar kota.
Kuda naga memang terkenal dengan daya tahan dan kecepatannya, tidak lama hingga sampai di depan pintu masuk hutan awan hitam.
Lin Tian turun dari kudanya dan berlari masuk ke dalam hutan meninggalkan kuda itu, lagi pula dia tidak terlalu peduli dengan kuda. Walau dia membawanya masuk hutan pasti hanya akan menjadi beban.
Saat berlari melewati pepohonan dengan semak lebat, tiba-tiba seekor babi hutan melompat keluar di depannya.
Babi hutan dengan badan sebesar kuda nil berwarna merah dan taring putih melengkung itu memandang Lin Tian sambil mendengus.
Lin Tian tidak panik, dia mengambil tombak di punggungnya dan mengambil sikap kuda-kuda sambil mengunci pandangannya dengan babi itu.
Tanpa aba-aba, babi itu berlari menyerang Lin Tian. Dengan tubuhnya yang besar menyebabkan tanah di sekitar bergetar saat dia lari.
Lin Tian yang sudah bersiap dengan cepat mendorong ujung tombak ke depan, pas dengan kepala babi itu.
Karena terlalu cepat, babi itu tidak bisa berhenti tepat waktu dan hanya bisa bertabrakan dengan ujung tombak. Namun, kepalanya terlalu keras, tombak tidak melukainya sama sekali dan hanya tubuhnya terpental.
Lin Tian juga terdorong ke belakang, dia masih belum cukup kuat dengan kondisi tubuhnya yang belum memulai kultivasi.
Namun, berdasarkan pengalamannya sewaktu menjadi kaisar dewa, Lin Tian dengan cepat mengambil kesempatan menyerang.
Dia menstabilkan tubuhnya dan melemparkan tombak ke arah babi hutan yang sedang bersiap menyerang lagi.
Tombak terbang dan dengan akurat mengenai mata kanan babi itu, menyebabkannya berguling sambil meringik kesakitan.
Kesempatan yang begitu bagus, Lin Tian dengan cepat mendatangi babi itu dan mendorong tombak lebih dalam ke matanya.
Babi itu ingin memberontak, namun Lin Tian mendorong tombaknya sekuat tenaga tanpa memberi babi itu kesempatan.
Hingga beberapa saat, babi itu sudah lemas tak bergerak di bawah tusukan Lin Tian.
Lin Tian mencabut tombak dari mata babi dan menusukkan nya lagi ke leher untuk membunuhnya. Setelah itu, tanpa membuang waktu Lin Tian melanjutkan perjalanannya ke dalam hutan.
Saat berjalan, Lin Tian mendengar suara aliran air. Dia dengan cepat menuju suara itu dan melihat sebuah sungai kecil dengan air yang jernih.
Dengan cepat Lin Tian berlari ke pinggir sungai, dia ingin mencuci muka dan minum untuk menghilangkan sedikit dahaga.
Setelah selesai, Lin Tian berjalan menelusuri hulu sungai sampai di sebuah air terjun.
Melihat air terjun itu, Lin Tian dengan cepat menanggalkan pakaian dan hanya menyisakan sedikit kain untuk menutupi area kemaluan. Setelah itu, dia pergi ke bawah air terjun.
Lin Tian berencana menggunakan air terjun sebagai sarana menempa tubuhnya. Dia duduk bersila di bawah air terjun dan menahan air yang jatuh ke tubuhnya sambil membuat mudra.
Seketika tubuh Lin Tian memerah seperti udang, terlihat energi spiritual di sekitar mulai menjadi seperti uap yang berkumpul menuju tubuhnya.
Tidak butuh lama banyak meridian yang tersumbat di tubuhnya mulai terbuka, sungguh cara yang efektif.
Lin Tian terus bermeditasi tanpa mempedulikan meridian yang terbuka, karena dia berencana membuka semuanya sekaligus.
Hari berganti dari siang menjadi malam, namun Lin Tian masih belum juga menyelesaikan latihannya.
Terlihat tubuhnya yang sudah pucat pasi dengan aliran air berwarna merah dengan darah yang keluar dari tubuhnya.
Hingga siang hari berikutnya, Lin Tian membuka mata dan melompat ke darat.
"Huh! Akhirnya semua meridian terbuka," gumam Lin Tian sambil melihat tubuhnya sendiri. Setelah itu, dia memakai jubahnya dan pergi lebih dalam ke dalam hutan.
Dia ingin berburu monster beast untuk di jadikan makanan, sebelum berangkat dia tidak sempat membawa bekal. Lagi pula di hutan banyak makanan, itulah yang ia pikirkan.
Sambil mengawasi sekitar, Lin Tian terus bergerak lebih dalam. Saat tiba-tiba seekor sapi hitam besar sedang istirahat di bawah pohon terlihat di matanya.
Lin Tian diam-diam mendekati mendekati sapi hitam itu dengan tombak yang sudah siap di tangannya.
Setelah cukup dekat, Lin Tian dengan tiba-tiba menusukkan tombaknya ke leher sapi. Namun, serangannya tidak berhasil saat tiba-tiba sapi hitam itu bangun hingga tombaknya terkena tanduk sapi itu dan meleset menusuk udara.
Dengan mata besar berwarna merah, sapi itu menatap Lin Tian. Terlihat bahwa sapi itu sangatlah marah istirahatnya di ganggu.
Sapi itu berdiri dengan tubuh besarnya yang sebesar gajah, dia mendengus mengeluarkan asap dari hidungnya saat melihat manusia membawa tombak di depannya.