Setelah selesai mandi, Kensky kembali ke kamar atas untuk melihat kondisi ayahnya. Dengan tubuh yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jins biru pendek, gadis itu sedikit berlari dengan rambut yang digulung sedikit acak.
"Sky?" panggil Rebecca dari lantai bawah. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di anak tangga pertama lantai dua. "Ayo makan dulu. Makan malamnya sudah siap."
Di saat yang bersamaan Soraya menuruni tangga dari lantai tiga.
"Soraya," panggil Rebecca, "Ayo makan. Kalian makan malam saja dulu, biar mama yang akan menjaga ayah."
Soraya memasang wajah sedih. "Ayah baru saja tidur, Ma. Jadi sebaiknya Mama jangan mengganggu ayah dulu."
Kensky bernapas lega mendengar itu. Tapi ia tak mengeluarkan suara atau merespon perkataan Soraya. Ia pun melangkah menuruni tangga, menuju ruang makan.
"Ma, memangnya ayah sakit apa?" tanya Soraya untuk memecahkan keheningan di meja makan.
Pikiran Kensky begitu larut oleh kondisi sang ayah sampai-sampai ia sendiri tak mendengar pertanyaan yang dilontarkan saudara tirinya itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, "Jatuh pingsan? Tidak bisa bergerak dan tak bersuara, penyakit jenis apa itu?" katanya dalam hati.
"Sky!" panggil Rebecca, tapi gadis itu tak merespon.
Soraya yang duduk di hadapannya segera menyentuh kaki Kensky dengan kakinya. Saat gadis itu terkejut, Soraya segera mengodekan kepala ke arah ibunya.
Kensky menatap Rebecca. "Ada apa?" tanyanya dengan nada pelan.
"Apa yang kau pikirkan, Sky? Kenapa dari tadi kau tidak makan?"
"Iya, kami bahkan sudah hampir selesai. Tuh, punyamu sepertinya belum disentuh sama sekali," timpa Soraya, "Apa kau kurang sehat?"
"Makanlah, Sky. Nanti kau akan sakit," kata Rebecca.
Kensky menatap Rebecca dan Soraya secara bergantian. Ia merasa aneh kenapa sikap dua orang itu bisa berubah menjadi perhatian. Normalnya mereka akan selalu berkata kasar meski di depan ayahnya. "Apa mereka melakukan ini karena Daddy sakit?" katanya dalam hati.
Rebecca menatap Kensky yang kini sedang melamun. Ia bisa membaca pikiran anak tirinya dan yakin kalau gadis itu sedang memikirkan perubahan sikap yang terjadi di antara mereka. Tak ingin gadis itu berpikir macam-macam, ia pun segera berkata, "Sky, mungkin kau merasa sikap mama padamu hanya berpura-pura. Iya, kan? Tapi mama bersumpah, sikap mama padamu ini karena bentuk kepedulian. Mama tahu kau dan ayahmu tidak pernah akur setelah kehadiran kami di rumah ini, tapi tidak mungkin juga bagi kami kalau memusuhimu selamanya. Sebagai orangtua dan saudaramu, mama dan Soraya minta maaf kalau kami punya salah. Kami ingin kita berdamai dan hidup aman selamanya bersamamu, Sky. Maukah kau memaafkan Kami?"
Hati Kensky tersentuh. Ia berdiri lalu mendekati Rebecca. "Ma, aku juga minta maaf kalau selama ini aku sering berkata kasar."
Rebecca melepaskan sendok dan garpu lalu balas memeluk Kensky. "Mama yang minta maaf, Sayang. Maafkan mama, ya?" Rebecca menangis.
"Iya, Ma. Aku maafkan Mama, kok," balas Kensky.
"Terima kasih, Sky. Terima kasih."
Soraya hanya diam tanpa merespon. Gadis itu hanya terus mengunyah tanpa ada perasaan terharu saat melihat Ibu kandungnya yang sedang bersedih bersama saudara tirinya.
Setelah sesi makan malam selesai, Kensky pamit lebih dulu untuk membesuk Eduardus. "Ma, aku duluan, ya? Aku ingin melihat Daddy sebentar sebelum tidur."
"Iya, Sayang."
"Kalau kau lelah istirahat saja, Ayah biar aku yang jaga," timpa Soraya.
"Tidak apa-apa, terima kasih. Aku hanya sebentar, kok." Sky mendorong kursinya lalu meneguk segelas air. Sementara Rebecca dan Soraya yang masih duduk di ruang makan hanya bisa menatap tubuh Kensky yang berjalan meninggalkan mereka di ruangan itu.
"Mama sudah gila?! Untuk apa Mama minta maaf padanya?" ketus Soraya tiba-tiba hingga membuat ibunya terkejut.
Rebecca menatap tajam ke arah pintu. "Kau pikir mama sungguh-sungguh, hah?"
Soraya balas terkejut. "Tapi kenapa Mama pakai acara menangis?"
"Mama hanya pura-pura." Ia menatap Soraya. "Kita harus berpura-pura di depannya selama Eduardus sakit."
"Untuk apa?" tanya Soraya lagi.
"Memangnya kau mau diusir, hah? Kita harus bersikap baik agar kita berdua tidak diusir dari rumah ini."
"Diusir? Siapa yang akan mengusir kita?"
"Kensky! Dia pasti akan mengusir kita setelah ayahnya meninggal. Ini kan rumahnya. Jadi kita harus bersikap baik padanya sampai kau menikah nanti dengan Dean dan pindah dari rumah ini."
Soraya tersenyum meremehkan. "Kenapa harus pakai acara berpura-pura segala? Kan Mama bisa meminta Dean untuk menikahiku secepatnya. Setelah menikah, kita keluar dari sini dan biarkan gadis bodoh itu sendirian."
"Tidak segampang itu, Soraya. Mama punya perjanjian dengan Dean. Dan selama Eduardus masih hidup, kita tidak bisa keluar dari sini sebelum tugas mama selesai."
"Perjanjian? Tugas?" Alis Soraya mengerut. "Tugas apa, Ma?"
Pandangan tajam Rebecca menuju ke arah pintu masuk dapur ruang makan. "Dean menjanjikan uang satu juta dolar pada mama kalau berhasil melakukan tugas ini dengan baik. Tugas di mana mama harus membuat ayahnya Kensky menderita."
"Mama sudah gila, ya? Kenapa Mama___" Rebecca menatapnya dan hal itu membuat reaksi Soraya yang tadi emosi kini terdiam seperti patung.
"Kau tidak mau hidup miskin, bukan?" tanya Rebecca dan Soraya menggeleng, "Itu sebabnya Mama rela melakukan ini." Rebecca berdiri dan mulai membereskan meja. Sambil mengumpulkan piring kotor ia berkata, "Dean benar, jika nanti Eduardus meninggal, kita tidak akan dapat apa-apa darinya. Semua warisan baik rumah maupun perusahan adalah milik Kensky. Jadi saat Dean menawarkan kerjasama yang bisa menjamin hidup kita di masa depan, mama tak berpikir lagi dan langsung menyetujuinya." Ia membawa semua piring kotor itu ke dalam bak cuci piring.
"Meninggal? Memangnya Mama ingin ayah cepat meninggal? Dasar istri durhaka."
"Diam kau! Kau tidak tahu apa-apa, Soraya, jadi sebaiknya kau diam saja dan turuti perkataan mama. Kita akan hidup susah kalau laki-laki itu meninggal, karena semua harta ini adalah milik Kensky."
"Tapi kalau aku menikah sebelum ayah meninggal, itu berarti aku bisa mendapatkan perusahan itu, bukan? Kan kata ayah, siapa yang lebih dulu menikah, dialah yang pantas mendapatkan Kepleng Group."
Rebecca berbalik. "Kau pilih mana, perusahan yang nantinya akan membuatmu repot atau menjadi istri Dean yang hanya tinggal makan, tidur dan bersenang-senang ke mana pun kau mau?"
"Tapi kan aku akan tetap menikah dengan Dean Ma."
Rebecca mendekati meja makan. "Dean tidak akan menikahimu kalau tugas mama belum selesai, Soraya. Mama harus membuat Eduardus menderita lalu meninggal."
"Kalau begitu, kenapa tidak dari sekarang saja kita bunuh ayah?"
Rebecca melirik ke arah pintu. "Mama harus membuatnya menderita dulu baru membunuhnya. Itu pun mama harus menunggu perintah dari Dean jika sudah tiba waktunya pria tua itu meninggal."
Alis Soraya mengerut. "Tapi kenapa dia ingin membunuh ayah, Ma? Apa dia punya dendam pada ayah?"
Rebecca kembali duduk. "Mungkin sudah waktunya kau tahu. Dean itu sebenarnya adalah anak tirinya Eduardus."
"Anak tiri?!" Soraya terkejut, "Berarti Dean dan Kensky adalah kakak beradik, dong? Sama seperti aku dan dia. Begitu?"
Rebecca menggeleng. "Tidak, mereka tidak punya hubungan apa-apa. Kata Dean sebelum Eduardus menikah lagi dengan ibunya Kensky, laki-laki itu pernah menikah dengan ibunya. Dan saat Dean berumur tujuh tahun, Eduardus mengusir mereka ke jalanan. Jauh setelah Eduardus meninggalkan mereka, pria itu kemudian menikah dengan ibunya Kensky. Jadi mereka tidak punya ikatan apa-apa."
"Aku mengerti sekarang. Bisa jadi Eduardus selingkuh dengan ibunya Kensky saat status mereka masih suami istri. Begitu, kan?"
"Mu-mungkin. Mama tidak tahu kejelasannya seperti apa. Tapi setiap kali amarah Dean terhadap Eduardus muncul, dia pasti akan berkata, 'Aku akan membuatnya menderita dulu sebelum mati. Aku akan membuat dia merasakan seperti yang dia lakukan padaku dan ibu dulu.' Begitu yang selalu mama dengar." Rebecca menarik napas lalu berpikir. "Sepertinya pemahamanmu benar, Soraya. Kemungkinan Dean dendam pada Eduardus, karena lelaki itu memilih ibu Kensky dan mengusir mereka."
"Ya, kalau dengar penjelasan dari Mama, mungkin karena itu alasannya kenapa Dean ingin balas dendam."
"Mama rasa juga begitu. Tapi sampai saat ini Dean tidak pernah menjelaskan tentang alasan yang sebenarnya. Intinya, dia ingin balas dendam karena sakit hati pada Eduardus."
Soraya menyeringai licik. "Aku tahu sekarang alasannya kenapa Dean menerima Kensky bekerja di kantornya. Aku rasa Bernar juga akan balas dendam padanya."
"Itu sudah pasti. Dean bahkan melarang mama untuk melukainya."
"Melarang, kenapa?" Alis Soraya mencuat menyiratkan minat.
"Mama rasa dia sendiri yang akan melakukannya, apalagi dia tahu Kensky adalah anak kandungnya Eduardus. Dia pasti sudah menyusun rencana untuk gadis itu. Dan kita tidak boleh menyentuhnya demi kebaikan kita sendiri. Biarkan Dean yang akan menyakitinya."
Rebecca menyajikan sup yang masih mengepulkan uap ke dalam mangkuk sedang. Diambilnya botol kaca kecil berwarna gelap dari dari saku roknya.
"Apa itu, Ma?" tanya Soraya saat melihat Rebecca membuka tutup botol itu.
"Ini obat untuk ayahmu." Rebecca membuka kertas yang tadi diambilnya dari dalam botol. Kertas itu berisi obat yang sudah dihaluskan lalu dimasukkan ke dalam sup.
"Kenapa Mama menaruhnya di dalam sup ayah?"
"Ya, karena kalau Mama menaruhnya di gelas air ini, bisa-bisa kita akan ketahuan." Ia meletakkan mangkuk itu ke dalam nampan bersama segelas air putih. "Sekarang bawa ini ke kamar ayah dan suapi dia."
"Tapi .... "
"Pergi sekarang dan jangan membantah."
Soraya pun menurut. Ia sekarang tahu apa alasan kenapa ibunya sampai menaruh obat itu ke dalam sup. Sambil menyeringai puas, ia kemudian berjalan sambil membawa nampan berisi makan malam untuk Eduardus.
***
Pukul dua belas malam ponsel Kensky bergetar di bawah bantal. Ia sengaja memasang mode getar kalau berada di kamar, tapi selebihnya ia hanya memakai mode diam agar tidak ada yang tahu tentang benda itu.
Saat berada di kantor Kensky tidak pernah memperlihatkan kepada siapapun handphone yang merupakan hadiah dari sosol lelaki bernama CEO yang menurutnya misterius. Bagaimana tidak, masa orang itu bisa memasang foto ibunya di layar handphone? Hal itulah yang membuat Kensky sampai sekarang masih penasaran. Ia ingin mencari tahu siapa sebenarnya si sosok CEO yang ada di dalam kontaknya.
Gertaran dari bawah bantal membuat Kensky terbangun dari tidurnya. Perlahan ia meraba-raba di bawah bantal dengan mata terpejam. Merasakan itu bukan getaran notifikasi, Kensky membuka mata perlahan. Begitu melihat nama si pemanggil, matanya terbuka lebar. Ia terkejut melihat layar di mana terpampang nama CEO sebagai penelepon.
"Dia meneleponku?" Matanya melotot dan dengan cepat Kensky menghubungkan panggilannya. Inilah saat bagi Kensky untuk mencari tahu siapa sosok CEO di balik ponsel itu. "Halo?"
Continued___