Dalam perjalanan Kensky terus memikirkan Dean. Perlakuan pria itu terhadapnya sangat membuatnya penasaran. "Jika dia benar-benar menginginkanku, kenapa dia tidak melakukannya seperti di film-film; sengaja membuatku mabuk, kemudian meniduriku?" pikirnya, "Padahal kan aku juga ingin melakukannya."
"Nona Oxley, kita sudah tiba." Suara Matt mengejutkan Kensky.
"Oh, iya! Maaf." Ia melihat pria itu keluar dari pintu kemudi, kemudian mengintari mobil untuk membukakan pintu untuknya. "Oh iya, nama kamu siapa?" tanyanya pelan sambil keluar dari mobil.
"Namaku Matthew. Anda bisa memanggilku Matt."
"Oke, Matt, terima kasih banyak, ya."
Pria itu menunduk hormat. "Anda akan dijemput jam berapa, Nona?"
Kensky terkejut. "Dijemput?"
"Iya, tadi bos menyuruhku untuk menjemput Anda kembali setelah urusan Anda selesai."
Kensky nyaris lupa. "Terima kasih, tapi biar aku saja yang pergi ke sana sendirian. Kau tidak perlu menjemputku. Lagi pula aku belum tahu urusannya selesai jam berapa."
Pria berjas hitam itu mengambil sesuatu dari saku jas-nya kemudian memberikan pada Kensky. "Ini kartu nama saya, jika Anda perlu sesuatu, silahkan hubungi saya."
Kensky menerimanya lalu tersenyum menatapnya. "Terima kasih banyak, Matt."
"Sama-sama, Nona. Kalau begitu saya permisi." Pria itu menunduk lagi kemudian pergi.
Kensky masih berdiri. Ia terus menatap mobil sedan hitam itu hingga menghilang di ujung jalan. Ingatannya kembali saat pertama kali mereka bertemu, waktu mobil itu melindas air hingga mengenai tubuhnya. Ia tersenyum lebar lalu berkata, "Tak kusangka, ternyata pemilik mobil yang membuatku basah dan kotor tempo hari, kini begitu perhatian padaku. Sepertinya aku jatuh cinta padanya." Dengan cepat Kensky menepiskan pikirannya tentang Dean, kemudian melangkah untuk memasuki rumah.
Dibukanya pintu lalu mengedarkan pandangan. Alisnya berkerut begitu melihat suasana rumah tampak sepi.
"Ma?" panggilnya sambil melangkah menaiki tangga lantai tiga. Ia ingin menengok ayahnya. "Ma? Soraya? Kalian di mana?"
Clek!
Bunyi handle pintu dari lantai tiga mengagetkan Kensky. "Ma!"
"Sky, kenapa kau baru pulang? Dari mana saja kau?" Suara Rebecca terdengar khawatir. Sementara ia berdiri tepat di depan pintu kamar yang ditempatinya bersama Eduardus.
Kensky merasa bersalah. Dalam hati ia berpikir apakah harus jujur atau tidak, tapi karena merasa sikap Rebecca sudah benar-benar baik padanya, ia pun mempercayai wanita itu dan berkata jujur, "Maaf, Ma, semalam aku mabuk," katanya sambil menunduk, "Aku diberikan anggur oleh bosku dan aku tidak enak menolaknya."
"Mabuk? Dean membuatnya mabuk?" pikir Rebecca. Ia berdiri di depan dan memborong tubuh Kensky dengan pandangan menyipit, "Mabuk? Bosmu membuatmu mabuk? Lalu apa yang dilakukannya padamu?" Ia pura-pura khawatir sambil memeriksa tubuh Kensky untuk menemukan bukti apabila Dean telah melakukan sesuatu padanya, "Apa dia memukulmu?" Matanya terbelalak. "Atau jangan-jangan dia .... "
Kensky tersenyum menatapnya. "Tidak, Ma, bosku itu tidak kurangajar. Dia tidak melakukan apapun padaku."
Rebecca terdiam. Ia tampak berpikir dengan apa yang baru saja dikatakan Kensky. "Kau yakin dia tidak melakukan apa-apa padamu?"
Kensky memegang kedua lengan Rebecca seakan menenangkan. "Benar, Ma. Beliau tidak melakukan hal yang seperti Mama pikirkan," katanya pelan.
"Mama tidak percaya. Bukannya kondisimu dalam keadaan mabuk?"
Kali ini Kensky terdiam sambil menatap Rebecca. Hal yang tidak mungkin jika ia berkata jujur tentang apa yang ia lakukan bersama Dean. Setelah memikirkan jawabannya yang masuk akal, ia pun memilih untuk berbohong. "Tidak, Ma. Pak Dean menempatkanku di kamar tamu. Dan saat bangun tadi, beliau menyuruh supirnya untuk mengantarku."
Alis Rebecca kembali berkerut. "Aneh, kok Dean memperlakukannya seperti itu, ya?"
Ting! Tong!
Bunyi bel pintu membuat Kensky dan Rebecca terkejut dan sama-sama menoleh ke bawah. "Biar mama yang buka," kata Rebecca, "Kau istirahat saja, Sayang. Kepalamu pasti pusing kan?"
Kensky menggeleng. "Tidak, Ma. Aku tidak apa-apa. Aku ingin menjenguk Daddy."
Ting! Tong!
"Baiklah, kalau begitu mama lihat dulu siapa yang datang."
Kensky mengangguk lalu melihat Rebecca menuruni tangga. Dengan tubuh yang masih dibalutkan gaun putih yang dikenakan saat pesta kantor, ia membuka handle pintu kamar untuk membesuk ayahnya.
Clek!
Kensky mendorong pintu kamar itu. Karena Eduardus sedang terlelap, ia pun melepaskan sepatu tingginya agar tidak menimbulkan suara. Senyum di bibirnya tampak saat melihat wajah Eduardus tertidur begitu damainya. "Dad, cepat sembuh, ya?" katanya saat menunduk mendekati wajah sang ayah sambil mengusap pipinya.
Clek!
Pintu kamar terbuka. Kensky menoleh dan segera berdiri begitu melihat Rebecca masuk bersama satu pria berjas lengkap dengan tas bembeng di tangannya. Alisnya berkerut-kerut menatap mereka.
"Sky," kata Rebecca seraya menatap Kensky dengan ekspresi pasrah, "Beliau ini katanya adalah pengacara Daddy."
Kensky segera mendekat untuk berjaba tangan dengan pria yang umurnya kira-kira setua ayahnya. Selama ini ia memang tidak pernah tahu soal pengacara, tangan kanan, bahkan apapun yang bersangkutan dengan ayahnya. Ketidakakraban dirinya dan Eduardus membuat Kensky tak peduli dengan segala urusan ayahnya. Dan mungkin kalau pria itu tidak sakit seperti sekarang, Kensky tidak akan pernah mau menemuinya. Namun naluri seorang anak tidaklah seperti penjahat. Meski Eduardus sudah bersikap kasar pun Kensky tetap menyayangi ayahnya.
"Jadi begini, Nona," kata pria itu. Ia hendak melanjutkan kata-katanya, tapi Kensky segera melontarkan perkataan yang membuatnya menelan kembali kata-kata itu.
"Sebaiknya kita bicara di luar saja. Aku tidak ingin pembicaraan ini mengganggu istirahat Daddy."
Pria itu menggangguk dan lebih dulu keluar, sementara Rebecca mengekor tepat di belakang Kensky, kemudian melirik Eduardus sebelum menutup kembali pintu kamar.
"Sebaiknya kita bicara di ruang tamu saja," usulnya. Ia pun lebih dulu menuruni tangga. "Sky, mama buatkan minuman dulu, ya? Kau mau minum apa?"
"Tidak usah, Ma, terima kasih."
"Saya juga tidak usah, Nyonya," kata pria itu.
"Kalau begitu kita langsung saja ke ruang tamu," kata Rebecca. Ia menggandeng lengan Kensky saat menuruni tangga. Sambil melirik pria yang ada di hadapannya, ia berbisik pada Kensky, "Kira-kira apa ya tujuannya datang ke sini?"
Kensky pun menatapnya lalu mendekikan bahu karena tidak tahu. Setelah mereka semuanya tiba di ruang tamu, Rebecca mengambil posisi duduk di samping Kensky, sementara pria itu duduk tepat di hadapan mereka.
Kensky melirik Rebecca sebelum akhirnya menatap pria yang duduk di hadapannya. Lelaki itu terlihat sedang mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya. Map itu berisi beberapa lembar kertas putih yang isinya seperti berkas-berkas penting.
"Jadi begini, Nona Oxley," katanya sambil menatap Kensky, "Oh iya, perkenalkan, namaku Ronny Lamber." Ia mencondongkan badan untuk berkenalan dengan Kensky dan Rebecca. Setelah kedua wanita itu membalas jabat tangannya, ia melanjutkan kembali perkataannya, "Jadi begini, Nona Oxley. Saya adalah pengacara Bapak Eduardus Oxley. Saja datang ke sini karena ada hal penting yang saya ingin sampaikan mengenai perusahan orangtua Anda." Ia menarik napas. "Menurut saya, karena Anda adalah orang yang akan mewarisi perusahan itu, jadi Anda harus tahu masalah apa yang menimpa perusahan tersebut."
Kensky terkejut. Ia melirik Rebecca lagi sebelum wajahnya kembali menatap pria itu. "Maksud Anda Kapleng Group?" Wajahnya tampak khawatir.
Lelaki yang terlihat lebih tua dari Rebecca itu menautkan kesepuluh jarinya lalu menatap Rebecca dan kensky secara bergatian. "Sebelumnya aku tahu kondisi klien dari seorang relasi. Beliau mengabarkan bahwa klien saya sedang sakit. Jadi begitu mendengar kabar, saya pun langsung menyiapkan semuanya dan datang ke sini."
Kensky semakin panik. "Ada apa? Apa yang terjadi dengan perusahan kami?"
Pria itu mulai membuka map itu dan mengambil selembar kertas putih yang sudah terdapat kata-kata yang disusun secara paragraf. Ia membaca lagi lembaran itu sebentar untuk memastikan bahwa kertas itulah yang akan diperlihatkannya pada Kensky. "Ini adalah bentuk pernyataan yang dibuat oleh klienku Bapak Eduardus Oxley sebelum beliau jatuh sakit. Beliau sempat memberikan ini pada saya satu bulan sebelumnya." Ia memperlihatkan bentuk depan kertas itu pada Kensky. "Sebaiknya Anda menyimak baik-baik isi pernyataan ini sebelum ditandatangangi."
Kensky menatap bingung. Ia melirik kertas yang ada di tangan Mr. Lamber, kemudian menatap Rebecca. "Apa itu, Ma?" bisiknya hampir tak terdengar.
Rebecca menggerakkan bahunya. "Mama tidak tahu, Sayang."
Kedua wanita itu pun kini menghadap untuk menyimak isi pernyataan itu. Sebelum memulai, pria itu berdeham kemudian membaca tulisan-tulisan dari hasil ketikan huruf komputer yang ada di kertas itu. "Kensky, Sayang, putriku yang paling kusayangi. Maafkan Daddy, Nak. Daddy terpaksa menjual perusahan kita karena Daddy terlilit hutang. Maafkan Daddy juga karena tidak memberitahukannya pada kalian. Sebenarnya Daddy punya perjanjian dengan pembeli perusahan itu. Namun bila mana sebelum Daddy meninggal kau dan Soraya sudah menikah, Daddy ingin kalian yang membayarkan hutang itu kepadanya. Tapi jika seandainya Daddy meninggal di saat kalian belum menikah, Daddy terpaksa memberikan perusahan kita pada orang itu untuk menebus semua hutang-hutang Daddy. Sebagai anak kandung, Daddy harap kau bisa mengerti dan menyetujui keputusan ini, Sky. Dari lubuk hati yang paling dalam, Daddy sangat minta maaf karena tidak pernah membuatmu bahagia. Tapi percayalah, dalam hati kecil Daddy selalu tersisip cinta yang tulus untukmu, Sky. Bertanda tangan di bawah ini. Eduardus Oxley."
Pria itu menyodorkan kertas itu pada Kensky. Gadis itu hanya diam mematung karena syok. "Sebaiknya Anda baca sendiri sebelum menandatanganinya, Nona."
Kensky tersadar. Ia segera meraih lembaran itu dan menatap isinya. Sekan perkataan Mr. Lamber tidaklah benar, ia membaca lagi satu persatu kalimat yang tertera di atas kertas itu untuk memastikannya.
Seandainya hanya ukiran tinta komputer yang terpampang di kertas itu, Kensky tidak akan mempercayainya, tapi karena melihat tanda tangan beserta nama yang tercantum di bawahnya, Kensky mau tidak mau harus percaya. Air matanya bahkan menetes saat melihat nama Eduardus Oxley sebagai pihak penjual. "Rasanya ini tidak mungkin," bisiknya lemah, "Daddy .... " Air matanya merebak.
Rebecca mengambil alih dan langsung merampas kertas itu. "Anda jangan membohongi kami, Pak! Suami saya tidak mungkin menjual perusahannya. Dia sudah mewariskan perusahan itu pada kedua anaknya."
"Maaf, Nyonya. Tapi itu sesuai dengan pernyataan yang sudah ditanda tangani oleh beliau, jadi mau tidak mau Anda harus mempercayainya."
Rebecca tersentak menatap Kensky. "Sky, kau harus melakukan sesuatu, Nak! Kau harus melakukan sesuatu." Ia berubah histeris, "Mama tidak mau hidup susah, Sky. Mama tidak mau hidup di jalanan. Lakukan sesuatu, Sky. Lakukan sesuatu agar perusahan ini tidak jatuh ke tangan orang itu."
Continued___