webnovel

My Twins Lovers

Ice Preechaya Waismay, si gadis pengarang cerita profesional, seorang secret admirer yang ga pernah dianggap oleh Sea Grissham Aidyn, pria berkharisma yang berprestasi di sekolahnya. Sampai suatu saat Ice menerima beasiswa ke Korea dan ia bertemu dengan Aldrich Liflous Moonglade, pria dengan wajah yang sama persis dengan Sea. Dan saat saat di Korea inilah sosok secret admirer yang dulu menghilang. Ice menjalankan hari harinya bersama Aldrich. Tapi, cerita belum berakhir sampai disini. Karena, Sea dan Aldrich, satupun tak ada yang tahu jika mereka memiliki saudara kembar, eh.. kembar? Yakin kembar? Muka sama bukan berarti kembar, kan? Penasaran? Baca dulu dong, kalian yang suka romance dengan baper bapernya wajib baca. Eh, tapi kalo kalian gamau baca, its okay

Leenymk · Teen
Not enough ratings
30 Chs

20. Penyemangat Hidup

~~~

Ice terbangun saat langit masih gelap, ia mengusap usap matanya kemudian menghidupkan lampu diatas meja samping kasurnya, ia melihat hp nya, pukul 5 pagi.

Ice sudah tak mengantuk, ia memutuskan untuk bangun dan keluar dari kamar tidurnya. Ia keluar dari area dalam rumah Aldrich dan pergi ke taman Aldrich.

Dari kejauhan, kini Ice dapat melihat seorang pria yang sedang duduk menghadap membelakanginya di kursi taman, dan Ice yakin bahwa seseorang itu adalah Aldrich.

Ice berjalan menghampiri Aldrich.

"Ice? Ga bisa tidur?" Tanya Aldrich yang baru saja menyadari kedatangan Ice.

"Engga, gue kebangun, terus lo? Kok pagi banget bangun?" Tanya Ice.

"Gatau juga, gue pengen aja bangun"

"Sini duduk" lanjut Aldrich yang menggeserkan badannya sedikit memberi tempat untuk Ice duduk.

Ice pun duduk di sebelah Aldrich, mereka berdua duduk disana sambil memandang langit di pagi hari yang masih gelap dan juga air sungai yang berada dibawah jembatan di depan rumahnya.

Masih banyak bintang di langit, bulan dan juga pantulan cahaya bulan pada air. Sangat indah.

"Nama gue Aldrich Liflous Moonglade. Lo tau arti moonglade?" Tanya Aldrich dan menoleh pada Ice.

"Moonglade, pantulan cahaya bulan pada air" Ice tersenyum masih menatap cahaya bulan pada air sungai didepannya.

"Bener, sebuah pantulan cahaya bulan pada air. Pantulan cahaya bulan memang ga secerah cahaya matahari, tapi cahaya bulan juga ga kalah indahnya sama pantulan cahaya matahari." Kata Aldrich.

"Tapi itu semuanya juga berasal dari cahaya matahari, bulan memang indah, tapi juga membutuhkan matahari untuk mancarin indahnya" lanjut Ice

"Iya, bulan ga punya cahaya pada dirinya sendiri, matahari yang memancarkan cahaya pada bulan. Terkadang memang kebanyakan orang pikir matahari tuh kuat. Bulan lemah, tapi menurut gue bulan ga lemah, dia cuma ga ingin menonjolkan dirinya."

"Bener, kayak gue ga pernah nonjolin diri gue kalo gue suka sama dia, sekali nonjolin dianya langsung ninggalin gue" sambung Ice.

"Iya, itu artinya, memang bulan ga boleh bersinar. Bulan harus selalu dapetin cahaya dari matahari. Btw, kenapa lo malah nyambung kesana?" Aldrich menoleh ke Ice.

"Lagi nyesel aja, kenapa gue nyatain perasaan gue ke dia di hari itu, gue dengan bodohnya memutuskan hal itu" kata Ice.

"Lo nyesel, karena dia maalah menjauh dari lo?" Tanya Aldrich.

"Bukan. Gue nyesel nyukain dia, gue nyesel gue udah buang buang waktu bertahun tahun cuma buat nyukain orang kayak dia aja"

"Lo berniat untuk berhenti? Berhenti di titik ini. Sebelum nanti semuanya bakal tambah buruk.." Tanya Aldrich masih menatap Ice. Ice menatap lurus kedepan dan sedikit tersenyum.

Ice mengangguk dan menoleh menatap dalam mata Aldrich, Aldrich juga menatap Ice dalam. Tak mau mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Tangan kanan Aldrich bergerak mendekati tangan Ice, Aldrich kemudian berhasil menyentuh tangan Ice. Ia meletakkan tangan kanannya diatas tangan Ice dan sedikit menggenggamnya.

"Lo pasti bisa, Ice" kata Aldrich. Terulas sebuah senyuman di wajah Ice. Senyuman tipis yang tulus.

Aldrich kemudian membawa tubuh Ice bersandar pada bahunya. Mereka memang terlihat seperti sebuah pasangan yang sangat cocok.

~~~

Langit sudah cerah, matahari sudah menyapa.

"Makanan pagi lo udah siap, coba makan trus komentar gimana rasanya" kata Aldrich membawa dua piring makanan. Ibu Adrich memang pada pagi hari hanya mengonsumsi buah buahan saja.

"Okey, btw, lo yang buat?" Tanya Ice.

"Iya"

Ice mencoba sendok pertamanya.

"Hmm" Ice tersenyum dan menoleh kearah Aldrich, ia mengacungkan jempolnya kepada Aldrich.

Aldrich pun tersenyum.

"Ald, btw ya, kita belum ngerjain tugas yang dikasih bu wali kelas"

"Hm? Tugas apa? Emang ada?" Tanya Adrich balik, sepertinya ia memang tak pernah peduli dengan pelajaran.

"Ck, lo masa lupa, itu lhoh, yang disuruh nulis tentang kehidupan kita pas liburan" kata Ice.

"Ohhh iyaaa, sumpah kalo lo ga ngingetin gue pasti lupa Ice" Aldrich sedikit terkekeh.

"Terus lo kapan mau buat?" Lanjut Aldrich.

"Emm" Ice sedikit tersenyum.

"Gatau juga" Ice tersenyum lebar.

"Gue ga punya kertas, pulpen, dan lain lain.." lanjut Ice.

"Jadi ni lagi ngekode?" Tanya Aldrich.

"Nanti gue suruh pak sopir beliin kertas, pulpen udah ada disini" lanjut Aldrich tanpa menunggu jawaban dari Ice.

"Gue ga ngerti, kenapa cewek suka banget ngekode, emang apa susahnya ngomong langsung?"

"Gatau, gue sebagai cewek ya ngikutin cewek lainnya, mungkin kalo gue ngomong langsung gue bakal ngerasa ga punya harga diri" Ice mengedikkan bahunya.

"Ga punya harga diri?" Aldrich sedikit terkekeh kemudian duduk  berhadapan dengan Ice dan mulai menyuapi makanan satu per satu sendok ke dalam mulutnya.

Ice kemudian sedikit menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada Diana di sekitar sana.

"Btw Ald" kata Ice terhenti.

"Iya?"

"Lagi bentar kita uda mau balik ke asrama, lo kapan mau nanya tentang saudara lo, Sea" Tanya Ice kurang yakin.

Aldrich sedikit melamun setelah mendengar perkataan Ice, jika ia memang bersaudara dengan Sea, maka salah satu dari ortunya dan Sea adalah bukan ortu nyata baginya, ia hanya berharap agar ortunya di Korea ini adalah ortu yang sebenarnya.

"E-emm.. t-tapi kalo lo belum siap denger jawabannya juga gapapa kok" Ice tersenyum.

"Gapapa, gue ga bisa lari dari kenyataan, secepatnya gue bakal nanya sama ibu gue" lanjut Aldrich menatap kosong ice.

Ice lanjut menyuapi makanannya, ia perlahan mengunyah makanan buatan Aldrich itu, makanan itu sama sekali tak terasa enak lagi saat suasana hati Ice berubah, lidahnya bahkan seperti mati rasa. Kini Ice hanya khawatir dengan perasaan Aldrich.

~~~

Diana masuk ke dalam rumah bersama Inna, pembantunya. Aldrich yang duduk di sofa menoleh ke arah ibunya sedangkan Ice tak ada disana, ia keluar berjalan jalan di kebun rumah Aldrich.

"Ma, uda balik?" Tanya  Aldrich.

"Iya"

"E-emm ma.." Aldrich menghentikan perkataannya.

"Kenapa?"

"Aldrich mau nanya sesuatu sama mama" kata Aldrich tak yakin.

"Inna pergi dulu" kata Diana kepada pembantunya kemudian Diana duduk di sofa.

"E-emm, ma, Ald pernah punya saudara ga?" Tanya Aldrich langsung in to the topic.

Diana seketika langsung membeku, matanya membesar, ia sangat terkejut dengan perkataan Aldrich barusan. "Ka-kamu kok nanya nya gitu? Ya jelas engga lah, ngomong yang enggak enggak" lanjut ibunya berusaha menutupi. Diana tak berani menatap Aldrich langsung.

"Hehe, maaf ma, engga ada apa kok ma, Ald habis nonton film tentang saudara saudara gitu jadi tiba tiba aja pengen punya saudara" Aldrich menunjukkan fake smilenya, ia yakin, pasti ada sesuatu yang sedang ditutupi ibunya, dan ia harus segera mengetahui hal itu.

"Lain kali jangan nanya gini lagi. Kamu jelas jelas anak satu satunya mama, ga ada saudara." Selesai bicara ibunya langsung bangun dari sofa kemudian pergi dari ruang keluarga itu.

Aldrich terdiam, seperti sedang merenungkan sesuatu, ia menatap kosong tembok di depannya, ia mulai tak yakin tentang identitasnya.

"Darrrr" seseorang mengangetkan Aldrich dari belakang, Aldrich spontan menoleh saking kagetnya, ternyata itu Ice.

Ice sibuk tertawa melihat wajah kaget Aldrich "Hahahaha, ngapain sih lo Ald? Renungin apa? Mantan? Hahahaha"

Aldrich menghembuskan nafasnya kasar, Ice ada ada saja, mengagetkannya di waktu yang sangat tidak tepat.

"Gue barusan nanya tentang Sea sama ibu gue, dia ga bilang apapun, dia gamau ngasih tau gue, gye yakin pasti ada sesuatu yang ditutupin ibu gue" lanjut Aldrich serius. Ia bahkan tak ikut tertawa bersama Ice.

Ice terdiam, ia mengerti perasaan Adrich saat ini, perasaan tak yakin dengan identitas diri sendiri.

Ice kemudian menyentuh bahu Aldrich. "Semangat, bisa aja semua ga seburuk yang lo pikirin" Ice tersenyum, dan senyuman itu sangat memberi kekuatan hidup bagi Aldrich.

Aldrich menggerakkan tangannya dan memegang tangan Ice "Makasih Ice, lo satu satunya penyemangat gue, moodbooster gue" Aldrich tersenyum tipis.