"Kau baik-baik saja?" Soully memperhatikan sikap Yafizan yang masih mendiamkannya. "Maafkan aku..." Soully memeluk Yafizan. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya, berharap Yafizan akan luluh jika Soully bersikap seperti itu.
Dan...perkiraannya tepat! Yafizan mulai salah tingkah namun ia masih berpura-pura marah.
"Kenapa kau seperti itu tadi? Ucapanmu tadi seolah kau benar-benar memperhatikannya. Dan dia pasti berfikir kau masih menyukainya dan mengira dirimu memang tunangannya sebelum bertemu denganku. Menyebalkan sekali." Yafizan merajuk, tak suka. Soully hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang seperti anak kecil itu.
"Apa kau cemburu?"
"Tidak. Tentu saja aku cemburu, kenapa kau malah bertanya seperti itu?"
"Mmuach." Soully mengecup bibir Yafizan yang sudah seperti bebek itu. Yafizan terdiam. "Terima kasih, karena sudah cemburu padaku."
Tanpa berbasa basi lagi, Yafizan merengkuh tubuh Soully, menjatuhkannya hingga berbaring. Kini Yafizan berada di atasnya. "Kau, menggodaku, Sayang. Jangan salahkan aku jika aku tak bisa berhenti setelah ini," bisik Yafizan di atas wajah Soully. Dia mendekatkan wajahnya, mencium kening, mata, hidung, pipi lalu melumat lembut bibir Soully yang masih sedikit pucat.
Soully tak peduli lagi akan kondisi tubuhnya pasca pulang dari rumah sakit. Yang ia fikirkan adalah suaminya. Ia harus membuat suaminya bahagia.
Malam itu, mereka menghabiskan permainan dan gairah cinta hingga berkali-kali. Hanya suara desahan yang menghiasai kamar mereka.
***
Yafizan masih mengatur nafasnya yang masih terengah-engah setelah ia mencapai klimaksnya, mengeluarkan cairan kenikmatan di rahim istrinya yang kesekian kalinya. Menaburi benih yang berharap Yafizan kecil segera hadir di dalam perut rata istrinya.
Ia mengusap perut istrinya, membuat harapan yang nyata. Soully menggelinjang geli saat telapak tangan suaminya mengusap-usap perutnya, namun terasa hangat.
Mereka kini berbaring dan hanya selimut yang menutupi tubuh polos keduanya. Soully memejamkan matanya dalam dekapan hangat Yafizan karena ia pun merasa kelelahan setelah melayani gairah suaminya yang tak ada habisnya itu.
"Sayang, apa perutmu sudah enakan? Mulasmu, serta mualnya, apa masih terasa? Maafkan aku, seharusnya aku bisa menahan hasratku karena kau baru sembuh."
"Tidak..." Soully menjawab malas, rasanya sudah tak bertenaga lagi karena tubuhnya benar-benar terasa lemas.
"Kau tahu, aku fikir kau mual karena kau hamil," celetuk Yafizan membuat mata Soully terbuka lebar, hilang sudah rasa kantuk dan lelahnya saat ini.
"Oh ya, kita kan sudah hampir tiga bulan ini menikah, aku bahkan menabur benih-benih berkualitas dalam rahimmu, tapi kenapa kau belum juga hamil? Apa jangan-jangan mualmu itu beneran tanda-tanda kehamilanmu? Kita besok periksa kandunganmu ya, Sayang. Semoga Yafizan junior memang sudah hadir dalam perutmu ini. Bisa saja kemarin dokter salah mendiagnosa," celoteh Yafizan yang membuat Soully salah tingkah. Dia terus mengelus perut istrinya.
Soully terdiam. Dirinya merasa bingung, apa yang harus ia katakan jika dia mengkomsumsi pil kontrasepsi setelah kejadian pemaksaan kehendak secara paksa waktu itu. Walaupun oleh suaminya sendiri. Namun, sudah cukup lama ia tak mengkomsumsi pil kontrasepsi tersebut.
Soully takut jika Yafizan tidak benar-benar mencintainya dan akan segera meninggalkannya setelah Tamara kembali.
Entah kenapa dia hanya merasa takut.
Takut kehilangan...
Takut ditinggalkannya...
Ia semakin merasa bersalah ketika suami yang dulu sempat dibencinya kini benar-benar mencintainya melebihi cintanya sekarang. Soully menatap wajah Yafizan yang penuh harap akan hadirnya buah cinta di antara mereka.
Tak henti-hentinya ia berceloteh ria membayangkan dan berandai-andai jika anak mereka lahir. Dan Soully, hanya diam seribu bahasa. Bibirnya bergetar, ia menggigit bibir bawahnya, menahannya agar tak bersuara.
Sebulir kristal bening menetes dari sudut matanya. Soully tak bisa menahan rasa panas yang menjalar di permukaan matanya yang sudah ia tahan dari tadi. Air matanya tak bisa diajak kompromi lagi. Maka, ketika ia berkedip, buliran air matanya mengalir begitu saja.
Air matanya menetes hingga membasahi dada bidang suaminya yang sedang mendekap erat dirinya sambil terus bicara.
"Hei, Sayang...kau menangis? Ada apa? Apa ada yang sakit?" cemas Yafizan seketika. "Maafkan aku. Apa aku terlalu kasar tadi sehingga membuatmu menangis? Apa aku menyakitimu? Sungguh maafkan aku, tidak seharusnya aku menyalurkan hasratku di saat kau baru sembuh..." sesalnya.
Soully hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lidahnya kelu, setiap ia ingin bicara, air matanya semakin mengalir deras mendahuluinya. Yafizan tak mengerti, ia hanya semakin mendekap erat istrinya yang sedang menangis.
Kenapa aku cengeng sekali...Maafkan aku... aku sungguh tak kuasa jika bilang yang sebenarnya padamu di saat kau begitu mengharapkan Yafizan kecil hadir dalam rahimku. Maafkan aku...
Setelah ini aku takkan mengkomsumsi pil itu lagi, karena aku percaya kau memang mencintaiku. Maafkan aku...
***
Pagi ini Soully sudah bersiap diri untuk beraktivitas kembali. Setelah semalam terjadi drama menangis, matanya terlihat sembab, namun tetap tak mengurangi kecantikannya.
"Apa kau sudah benar-benar sehat, Soully? Padahal baru kemarin kau keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kau beristirahat saja dulu," tutur Rona.
"Aku sudah merasa lebih baik."
"Kau saja mencemaskannya, apalagi diriku. Kau lihat bagaimana keras kepalanya istriku ini, bukan?" Yafizan sibuk mengoles selai rotinya lalu diberikan kepada Soully.
"Thanks." Soully tersenyum menerima roti isi yang dibuatkan suaminya. "Aku harus bersikap profesional. Ini karena Mr.Govind yang terlalu baik padaku." Soully memakan rotinya.
"Kenapa kau tak keluar saja dari pekerjaanmu. Kau fikir aku tak bisa menafkahimu apa?"
"Aku percaya hartamu ini takkan ada habisnya. Bahkan jika aku memintamu membelikan showroom mobil pun kau mampu." Soully mengunyah rotinya.
"Untuk apa membeli showroom mobil?" tanya Rona.
"Mau aku jual kembali mobil-mobilnya. Atau aku buka taksi online saja kalau mobilku banyak," celetuk Soully membual.
"Aku setuju. Jadikan aku managernya. Jika ada penumpang yang cantik, kau bisa menjadikanku sopirnya." Rona tertawa.
"Kalau begitu kita beli pabrik mobilnya saja sekalian," ujar Yafizan serius.
Uhuk uhukk
Soully tersedak tak percaya jika bualannya bersama Rona akan ditanggapi dengan serius oleh Yafizan.
"Hati-hati." Yafizan menepuk pundak Soully lalu memberikan segelas susu.
"Oh, aku sungguh bercanda, Sayang. Kenapa kau menganggapnya begitu serius?" pekik Soully gemas seraya menaruh gelas susu yang tinggal setengah lagi isinya.
"Tadi kau bilang ingin punya banyak mobil. Aku mendukungmu jika itu membuatmu berhenti bekerja," tutur Yafizan datar.
Oh, ya ampun!
"Lagi pula, bukannya kau yang dulu mengajakku untuk menerima tawaran dari Mr.Govind," tutur Soully lembut.
"Iya, dulu karena kufikir kita akan selalu bersama. Ternyata kau bekerja bersama orang yang gila." Yafizan berdecak sebal. Soully hanya tersenyum.
"Kau lebih gila, Sayang," kekeh Soully. Yafizan merasa jengah.
"Aku hanya bercanda, Sayang. Nanti, ketika saatnya tiba, jika aku ingin berhenti bekerja, maka belikan semua yang aku mau, oke?!"
"Oke. Tapi kau berjanji?"
"Janji."
"Aku percaya apapun yang kau lakukan, itu yang terbaik, Soully," dukung Rona. Soully mengacungkan jempolnya setuju.
"Cih, kalian sama saja."
Mereka tertawa. Pagi yang menyenangkan.
***
Setibanya di kantor, Soully turun terlebih dahulu sebelum mobil suaminya memasuki kawasan perusahaannya itu. Soully pamit pada Rona, tak lupa ia mengecup pipi suaminya terlebih dahulu yang dibalas lumatan ringan di bibirnya.
"Nanti aku jemput kau, ontime. Tak ada bantahan! Jika bos gilamu itu terus membiarkan dirimu bekerja, maka aku takkan segan menarikmu untuk pulang. Whatever apa kata orang, dengan begitu aku tak peduli lagi, karena kau, ISTRIKU!" tegas Yafizan serius.
"Oke oke. Cerewet sekali. Ya sudah aku turun sekarang, nanti orang-orang bisa salah paham jika aku keluar dari mobilmu yang mewah ini. Love you." Sambil memberikan lambang hati dijarinya.
"Love you too, so much, Honey." Yafizan mengecup bibirnya lagi dengan gemas.
"Oh, ayolah. Jika seperti ini, takkan selesai memamerkan kemesraan kalian." Rona memutar bola matanya jengah.
"Makanya cepat menikah, Kak." Soully menyahut lalu kabur sebelum mendapat umpatan dari pengawal suaminya itu.
"Aihhh, dasar macan kecil," umpat Rona.
"Apa kau bilang? Kau mengatai istriku macan kecil?" Yafizan geram.
"Hehehe sorry, Bos. Tapi istrimu itu memang menyebalkan. Dia lebih mirip macan betina dari pada seekor kucing," gerutu Rona melajukan mobilnya kembali.
"Tapi dia sungguh imut." Yafizan dengan wajah kasmarannya, membuat Rona merinding geli.
***
Soully berjalan kaki menuju gedung kantornya. Langkah kakinya terhenti ketika ia melihat sosok Miller sudah berdiri di depan pintu lobby menunggunya dari tadi dengan tersenyum cerah, sebaik suasana hatinya saat ini.
Tadi, ia sengaja memasang alarm lebih pagi dari biasanya hanya untuk cepat sampai di kantornya. Tak sabar ingin segera bertemu wanita pujaannya. Setelah semalam Soully menyuruhnya beristirahat, pagi ini ia benar-benar merasakan jika tubuhnya begitu bersemangat.
"Pagi, Sayang," sapanya tersenyum manis. Tampan.
Tidak tidak, Soully kau sudah bersuami. Dan suamimu jauh lebih tampan!
"Pagi..." balas sapa Soully tersenyum canggung.
Yafizan memandang tak suka saat adegan itu terpampang nyata di depannya. Dia masih di dalam mobilnya saat melihat adegan itu berlangsung.
"Apa kau ingin terus di dalam sini? Kalau begitu aku keluar duluan," sahut Rona yang tahu jika tuannya sedang merasa kesal.
"Sialan!" Yafizan mendengus kesal. Segera ia pun keluar dari mobilnya. Rona hanya terkekeh. Ia memberikan kunci mobilnya kepada Vallet untuk di parkirkan di basement privatnya.
Orang-orang menunduk hormat ketika bos besar itu masuk ke dalam perusahaan. Sungguh aura luar biasa yang dikagumi Soully dari suaminya. Sangat Tampan.
"Ehm." Yafizan berdehem membuyarkan lamunan Soully mengagumi dirinya. Wajah Soully memerah. Miller memandang tak suka melihat tatapan penuh cinta Soully untuk suaminya.
Harusnya tatapan cinta itu untukku! Hanya untukku!
Kru dan para staf sudah sibuk mempersiapkan acara reality show yang rencananya besok segera ditayangkan. Soully sudah mulai aktiv kembali, membantu dan memberi pengarahan. Pasca dari kondisi sakitnya kemarin tidak membuat Soully melupakan tugas dan tanggung jawabnya, serta tak mengurangi hasil pembelajarannya yang selama ini ia pelajari.
Miller hanya tersenyum ketika melihat Soully yang begitu sibuk memperhatikan segala detailnya. Sesekali ia pun turun tangan ikut membantu.
"Apa kau lelah?" tanya Miller. Entah sejak kapan ia sudah berada di samping Soully.
"Lumayan, tapi ini menyenangkan," jawab Soully tetap fokus pada data yang ada di tangannya.
"Apa kau mau makan siang denganku nanti?"
"Aku sudah ada janji makan siang bersama suamiku."
"Kau mengecewakanku."
"Maaf."
Miller tersenyum getir karena tingkah Soully yang menurutnya, menggemaskan.
Soully tetap melanjutkan aktivitasnya. Dan pergi menjauh dari Miller, berusaha mencari kesibukan sendiri agar Miller tidak terlalu berharap padanya.
Drrtt drrtt
1 pesan masuk di ponselnya.
My ❤
Nanti siang aku tunggu di cafe dekat kantor. Kita makan siang bersama. Tak ada bantahan!
Soully tersenyum saat melihat pesan masuk di ponselnya. Suami protektifnya itu sungguh menyebalkan tapi selalu membuat rindu.
Me
Oke.
Suara ketukan sepatu high heels terdengar nyaring di saat semua kru sedang sibuk mempersiapkan acara besok. Wangi parfum mahalnya yang semerbak itu tercium seolah menjadi polusi yang menyegarkan di seluruh ruangan itu.
"Hai, everybody," sapanya nyaring membuat orang-orang menoleh padanya. "Aku bawakan makan siang untuk kalian," seru Tamara sambil mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan kantong plastik makanan.
Orang-orang berhamburan menghampirinya. Salah satu kru laki-laki segera mengambil 2 kantong plastik besar itu dengan segera. Lalu membagikan isi dari kantong plastik besar tersebut.
Soully hanya menoleh sekilas tak suka. Entah kenapa tiba-tiba bawaannya sungguh menjengkelkan. Ia teringat kembali, Tamara merupakan bagian dari tim.
Kenapa harus dia yang jadi host-nya?
Tamara berjalan menghampiri Soully yang sedang fokus pada kerjaannya. Ia membawa sekotak makanan di tangannya. Gerakannya yang cepat, tak sempat membuat Soully segera menghindarinya.
"Ambillah," perintah Tamara. Soully menatap Tamara tanpa ekspresi. "Lunch." Sambil menyodorkan kotak makanan itu untuk segera diterima Soully.
"Tak perlu," tolak Soully datar.
"Ayolah, kau sungguh menyebalkan." Tamara mendelik sebal. Lalu ia mendudukan diri di samping Soully. "Well, aku lupa siapa suamimu. Kau pasti tak mau menerima makanan kelas menengah seperti ini," cibirnya pelan. "Tapi...itu hanya sementara. Karena posisimu pasti kembali padaku," bisiknya.
Soully tak bergeming. Rasanya malas untuk berdebat. Dengan sangat terpaksa ia menerima kotak makanan itu. Bukan karena ucapan Tamara yang menyebalkan, tapi karena aroma parfum yang Tamara kenakan sungguh membuatnya pusing dan ingin segera pergi meninggalkannya.
Apa dia mandi parfum hari ini?
"Aku pergi dulu. Thank's, makan siangnya." Soully beranjak pergi namun tangan Tamara menahannya agar Soully tetap duduk di sampingnya.
"Diam dan jangan pergi ke manapun juga. Kau harus dengar apapun yang akan aku katakan." Tamara mengintimidasi. Ia ingin Soully merasa tertekan. Soully memutar bola matanya jengah. Rasanya ingin segera kabur. Bau parfumnya semakin lama semakin membuat ia merasa mual.
Miller melihat raut wajah Soully yang sudah memucat. Kakinya melangkah menuju dua perempuan yang sedang terduduk itu.
"Soully, kau..."
"Kakak!"
Miller diam mematung.
***
Bersambung...