Miller sudah menuju rumah sakit mencari ruang di mana Soully dirawat. Dengan cemas ia berlari seperti orang gila. Ia bahkan meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai walaupun sudah menjelang petang. Tak dihiraukannya lagi siapapun yang menghalangi jalannya. Yang dia fikirkan saat ini, ingin segera menemui sosok yang dirindukannya seharian ini.
Ia mengatur nafasnya dan merapikan dirinya ketika sudah berada di depan pintu yang bertuliskan VVIP itu.
Tanpa mengetuk pintu lagi ia membuka handle pintu lalu mendapati sosok perempuan yang begitu dicemaskannya.
Soully bersandar pada kepala tempat tidurnya. Dengan pandangan kosong ia menatap ke luar kaca jendela yang terlihat jelas pemandangan langit di luarnya. Sampai-sampai ia tak mendengar suara langkah kaki serta sapaan dari Miller. Soully terkejut ketika Miller memeluknya dari samping.
"Sayang, kau mengaget...kan-ku..." ucap Soully melemah bercampur kaget karena mengira yang memeluknya adalah Yafizan.
Miller begitu senang karena panggilan 'sayang' itu membuat hatinya terasa sangat bahagia. Soully meronta agar Miller cepat melepaskan pelukannya. Apalagi ia tak ingin Yafizan salah paham ketika melihatnya nanti.
Bila bertanya Yafizan ke mana?
Tentu saja ia suami siaga dan baik hati mau membelikan apa yang Soully mau.
Tadi, setelah ia mengantar Mrs.Nichole sampai depan pintu kamarnya lalu sejenak merebahkan diri bersama istrinya dengan saling berpelukan. Namun, tak lama kemudian dirinya disibukkan ketika mendapati Soully yang tiba-tiba bangun dan bersusah payah turun dari tempat tidurnya dengan mengambil botol infusan dari tiang penyangganya.
"Mau ke mana?" tanya Yafizan yang diabaikan oleh Soully.
Yafizan memapah Soully menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar perawatannya.
"Su-dah sampai si-ni sa-ja," ucap Soully dengan susah payah saat Yafizan hendak ikut masuk ke dalam kamar mandi.
"Kenapa..." Soully menutup pintu. Lalu hanya terdengar suara seseorang muntah dari dalam. "Sayang, buka pintunya!" Yafizan menggedor pintu dengan keras, dia merasa cemas. "Sayang, kau seharusnya tak menanggung semua itu sendirian! Cepat buka pintunya!" Yafizan terus menggedor pintu. Tak lama setelah bunyi air mengalir dari closet, suara kunci pintu pun terbuka.
Soully hanya melongokkan kepalanya saja. "Sayang, bisakah kau membantuku meminta
atau mengambilkan celana bersih lainnya? Tadi aku...tak sengaja..." Soully tak meneruskan ucapannya karena baginya itu sungguh memalukan.
Yafizan mengerti. "Tunggu, aku akan mengambilkannya untukmu, kurasa di dalam lemari itu ada baju ganti."
Yafizan berjalan cepat ke arah lemari lalu menemukan baju pasien bersih lainnya yang dengan sengaja disiapkan oleh pihak rumah sakit untuk pasien ruang VVIP-nya. Ia pun sudah menyiapkan pakaian dalam untuk Soully. Bergegas ia pun mendorong pintu kamar mandi tanpa mempedulikan Soully yang sebelumnya menahan agar Yafizan tak masuk.
"Kau mau aku dobrak secara paksa dan menyakitimu?"
Akhirnya Soully menyerah. Sebenarnya ia merasa malu karena saat ini tubuh bagian bawahnya tak tertutup apapun.
"Aku malu...kenapa kau begitu memaksa?" Soully merajuk sambil berusaha menutup-nutupi bagian bawahnya dengan menarik-narik bajunya, sedang tangan satunya lagi sibuk memegang botol infusannya.
Yafizan tersenyum geli karena saat ini sungguh menggemaskan baginya.
"Hei...kau malu pada siapa? Memang bagian tubuhmu yang mana yang belum pernah aku lihat dan aku sentuh, hah?" ucapan Yafizan membuat pipi Soully merona.
Owhh, lihatlah dia semakin cantik bahkan saat sedang sakit pun.
"Kemarilah," perintah Yafizan.
"Aku bisa sendiri," tolak Soully namun mendapat tatapan tajam dari Yafizan.
Di saat-saat seperti itu, panggilan alamnya tak bisa di ajak kompromi lagi. Soully sudah memberi isyarat agar Yafizan segera pergi saja. Namun pria yang menjadi suaminya itu tak bergeming. Soully sudah tak mempedulikan bagian bawah tubuhnya lagi. Segera ia duduk di atas closet karena sudah tak tahan, akhirnya Soully mengeluarkan semua isi perutnya lagi. Yafizan menghampiri lalu membantu memegang botol infusannya.
"Maaf," ucap Soully dengan wajah menahan kesakitannya.
"Tak apa, Sayang." Yafizan mengelus punggung Soully.
"Apa kau tidak merasa jijik? Ini bahkan bukan sesuatu yang harus kau hidu aromanya. Tolong maafkan aku, ya..."
"Tenanglah, Sayang. Kenapa kau terus menerus meminta maaf? Kenapa pula aku harus merasa jijik? Kau istriku!"
Soully merasa terharu kembali perutnya merasa mulas. Dengan sabar Yafizan menunggu dan menemaninya di dalam kamar mandi. Soully sungguh tak percaya jika pria yang menjadi suaminya itu tak bergeming sedikit pun bahkan dalam suasana yang sebenarnya bukan karakternya. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dan menyesap aroma yang menyelimuti seluruh kamar mandi saat ini?
Bahkan dengan telaten dan tenang dia tetap berada menemaninya sampai beres. Ia pun justru turut membantu memijat tengkuk leher istrinya ketika ia muntah. Justru raut kekhawatiran terlihat jelas padanya.
"Apa perutmu masih sakit? Kenapa sekarang malah ditambah muntah?" cemasnya sambil memijat lembut tengkuk leher Soully saat memuntahkan semua isi perutnya yang hanya berupa cairan saja.
Yafizan menggendong Soully yang sudah lemas. Sebelumnya ia sudah membantu Soully memakaikan celana dalam dan celana panjang baju pasiennya. Siapa saja yang melihatnya, tindakan Yafizan sungguh membuat para istri menginginkan suaminya seperti itu.
"Aku akan memanggil dokter untuk meredakan sakit perutmu. Kini kau juga muntah. Apa cake coklat itu beracun?" Yafizan berfikir keras dan mengira yang lain-lain. Soully hanya tersenyum melihat tingkahnya.
"Terima kasih." Soully menggenggam tangan Yafizan.
"Terima kasih untuk apa? Kau istriku. Jangan pernah mengucapkan itu lagi. Karena bagaimanapun juga aku ini suamimu, sampai kapanpun juga," tegasnya lalu mengecup jemari Soully yang sedang memegangnya erat.
***
Dokter sudah kembali setelah memberikan obat pereda sakit perut dan mual muntahnya.
"Kau dengar kan, Sayang? Dokter bilang kau harus menjaga pola makanmu dulu saat ini. Pencernaanmu belum bisa menerima makanan seenaknya kau makan. Bahkan saat ini kau terkena asam lambung yang membuatmu mual dan muntah," celoteh Yafizan yang hanya direspon senyum oleh Soully karena kondisinya sudah sangat lemas dan pucat. "Aku kira kau mual karena..." cicitnya pelan ia berharap ada anggota baru yang hadir di hidupnya.
"Maafkan aku..."
"Sudahlah, hari ini entah berapa banyak kata maaf dan terima kasih yang kau ucapkan. Aku sungguh membenci kau seperti ini," tukasnya. "Aku akan membelikanmu bubur enak agar perutmu terisi kembali. Ingat, kau jangan makan sembarangan di saat aku tidak ada. Jangan menyentuhkan tanganmu untuk menyentuh kue itu dulu, sekalipun kau sangat menginginkannya saat ini!" tegasnya dengan ekspresi yang sangat mengintimidasi bagi Soully.
"Kau dengarkan, Sayang?" tanyanya lagi memastikan dan Soully hanya mengangguk.
Yafizan mengecup keningnya sekilas lalu pamit pergi meninggalkannya sendiri. Langkahnya terhenti di luar saat ia hendak menutup pintu.
"Bagaimana dia bisa tahu kalau aku saat ini sangat menginginkan cake coklat itu? Tapi dia benar, aku tak boleh egois hanya karena aku menginginkannya," gumam Soully dalam hati. Ia tak tahu jika Yafizan masih ada di depan pintu ruang perawatannya.
"Tentu saja aku tahu, kau berteriak dengan keras menginginkannya. Terima kasih karena sudah bersikap bijak," ucap Yafizan dalam hati saat menimpali perkataan tanpa menoleh ke arah Soully dari dalam.
"Tapi aku sangat menginginkannya...Oh, dasar menyebalkan!" rengek Soully pelan, ia menenggelamkan wajahnya pada bantal yang sedang ia peluk sambil memukul-mukul sebal.
"Aku mencintaimu, Sayang," lirih Yafizan pelan, ia tersenyum simpul lalu menutup rapat pintunya.
Soully mengangkat wajahnya saat ia mendengar suara pintu yang ditutup rapat. Lalu ia membalikkan badannya untuk melihat ke arah pintu tersebut. "Apa tadi ada seseorang?" fikirnya.
Setelah memastikan bahwa tidak ada siapapun, Soully menaruh bantal yang tadi dipeluknya pada bagian perut, karena menurutnya itu salah satu cara yang lumayan efektif meringankan rasa mulas serta menghangatkan perutnya yang masih terasa sakit.
***
"Sayang, kau tahu. Kau membuatku sangat mengkhawatirkanmu sepanjang hari ini. Maaf, aku baru bisa datang, proyek itu sungguh menyita waktuku." Miller berucap yang sebenarnya membuat Soully menjadi tak nyaman. Soully menarik tangannya ketika Miller meremas jemari lentik dan dinginnya.
"Apa masih sakit? Kau pucat sekali." Wajahnya memang menunjukkan kecemasan yang tak ditutupi.
Tangannya mengusap lembut pipi Soully.
Soully menjauhkan wajahnya dari sentuhan tak nyaman itu, "Sudah lumayan."
Kau bahkan menghindariku sekarang, apa dulu rasanya sesakit ini ketika aku selalu menghindarimu?
"Oh ya, apa kau sudah makan? Aku membawakan buah kesukaanmu." Miller membuka bungkusan plastik yang tadi dibawanya. Ia mengeluarkan wadah berbahan plastik berbentuk kotak yang di dalamnya terdapat buah berwarna orange yang sudah dipotong berbentuk dadu kecil-kecil. Ia membuka tutup wadah kotak itu lalu menusuk buahnya dengan garpu dan memajukannya ke depan mulut Soully dengan maksud untuk menyuapinya.
Soully terdiam, mana mungkin ia memakan buah yang jelas-jelas ia tidak begitu menyukainya. Bagaimana ia bilang pada Miller sedang kemarin ia memakan habis dengan lahap buah itu di depannya.
Haruskah ia bersikap egois kali ini tanpa mempedulikan perasaan Miller yang sudah berbaik hati membawakan buah itu?
"Tidak, Tuan. Aku masih kenyang. Aku akan memakannya nanti," tolak Soully dengan halus.
"Ayolah ini baik untuk pencernaanmu. Buah ini dapat mendinginkan perutmu. Bukankah kau sangat menyukainya? Kemarin kau melahap habis buahnya," bujuk Miller sedikit memaksa.
Miller masih mengira Soully menyukai buah pepaya itu karena dulu, Malika, gadis yang di jodohkannya juga menyukai buah itu.
.
.
Sekilas bayangan masa lalunya ketika Malika memakan habis buah pepaya itu ketika menemaninya melukis pemandangan dekat danau di alamnya. Ia ingat bagaimana dengan setianya Malika menemani dirinya dari pagi hingga petang tanpa beranjak sedikit pun menjauh darinya. Padahal dulu ia sangat tidak menyukai jika Malika berdekatan dengannya. Kehadirannya hanya gangguan baginya.
.
.
"Ayolah buka mulutmu," bujuk Miller lagi dan Soully hanya meggelengkan kepalanya. "Kenapa? Ayolah, Sayang aku khusus bawakan ini untukmu."
"Tuan, tolong jangan memanggilku seperti itu."
"Kenapa? Kau takut suamimu mendengarnya? Aku tak masalah..."
"Oh Tuhan, bagaimana aku menjelaskannya kalau aku tidak menyukai buah itu. Aku tak ingin menderita dengan mengeluarkan seluruh isi perutku lagi, apalagi sekarang perutku sedang kosong begini," gumam Soully dalam hati.
"Tuan, aku akan memakan buahnya nanti. Sekarang aku lemas sekali," tolak Soully pelan. Namun Miller bersikukuh agar Soully memakan buahnya. Hingga akhirnya Soully mengalah, dengan terpaksa dan ragu ia membuka mulutnya pelan lalu memakan potongan buah pepaya yang disuapi Miller.
Lupakan soal egois itu!
Miller senang, tidak untuk Soully yang sekarang baginya itu derita yang akan ia tanggung selanjutnya. Sepotong demi sepotong buah itu masuk ke dalam mulutnya, tak terasa Soully memakan hampir setengah isinya. Sekuat tenaga Soully menahan rasa mualnya sehingga rasa itu tak bisa ditahannya lagi. Soully menutup mulutnya dengan tangannya.
"Kenapa? Ada apa?" Miller sudah memasang wajah panik ketika melihat Soully susah payah turun dari tempat tidurnya dan hendak membawa tiang penyangga botol infusnya.
Rasa mual itu sudah hampir di tenggorokan hingga dengan cepat pilihan Soully adalah mencabut jarum infus yang menempel pada punggung tangannya. Dengan cepat ia berlari dan masuk ke dalam kamar mandi.
Salah tingkah, Miller hanya bisa mondar mandir di depan pintu kamar mandi, menunggu Soully dengan cemas.
***
Bersambung...