webnovel

My Slave, My Servant, My Daughter

kisah tentang Pak Sumi, seorang intel kepolisian yang berhasil membuka kedok rumah Bordil dan menemukan hal yang lebih buruk daripada PSK (Pekerja Seks Komersial) yaitu menemukan seseorang yang akan merubah hidupnya untuk selamanya. kisah tentang keluarga, masa lalu, dan ambisi seorang anak. Kisah tentang suatu keluarga kecil yang berperan besar dalam beberapa kasus skala nasional, masa lalu yang penuh dengan intrik, persahabatan, juga kengerian dan kekejian, serta ambisi seorang anak untuk mendapatkan kepercayaan, cinta dan kasih sayang... ah dan juga tubuh. Cerita akan berkutat pada Marie dan Pak Sumi, lalu orang-orang yang terdekat seperti Bu Rati (Istri Pak Sumi), Tiga anggota daun Semanggi (Clover), dan tokoh antagonis. Apakah Marie bisa mendapatkan apa yang diinginkannya? berakhir bahagia atau tidak, itu semua pilihan anda, pembaca. *Penulis sangat tidak menyarankan untuk dibaca oleh anak-anak tanpa pengawasan Orang tua. Isi konten dan konflik cerita sangat mungkin TIDAK SESUAI untuk anak-anak (atau mungkin sebagian remaja baru). dimohon kedewasaan pembaca. **pict source: https://www.trekearth.com/gallery/Africa/photo1403560.htm

Cloud_Rain_0396 · Horror
Not enough ratings
102 Chs

Pesta Pernikahan Bawahanku

Sial Aku lupa! Pantas saja dari pagi tidak ada Quora ataupun Warno. Kenapa juga Aku harus masuk kantor di pagi hari? Ah iya Aku harus menyelesaikan laporan tahun baruku. Tapi kenapa juga harus macet di jam-jam genting seperti ini! Woy polisi, rekayasa lalu lintasnya mana? itu tugasnya Pak Sugik (Kepala Direktorat Lalu Lintas). Aku telat menjemput Riyati di rumah sakit. Bisa kubayangkan kalau dia akan marah padaku. Daripada masalah makin runyam, mending Aku iyakan saja apa mau Rati nanti.

Sampai di rumah sakit, Riyati langsung masuk ke mobil. Aku langsung tancap gas menuju rumah. Di Perjalanan, Rati berkata,

"Pak, tolong sampai rumah ambil cucian ya."

"Huh? Aku yang ngambil?" Ujarku.

Tapi kemudian Aku ingat apa yang Aku sepakati dengan otakku barusan. Tidak jadi membantahnya, Aku diam dan mengiyakan apa mau Istriku. Sampai di rumah, Aku baru ingat kalau hadiah pernikahan belum selesai dibungkus. Rencananya memang akan kulakukan jika sudah pulang ke rumah, itu pun rencana jika jam 11 siang sudah sampai. Tapi ini? ah sial jam 12 siang dan Kami masih di jalan. Jalan sedang macet karena sekarang adalah jam keluar kantor para pegawai yang sedang istirahat.

Sampai di rumah Aku tak berani melihat wajah Riyati yang diselimuti oleh kepulan awan hitam. Riyati langsung bergegas ke kamar Marie – karena itu adalah tempat dimana meja riasnya berada – untuk berdandan. Sedangkan Aku tidak punya cukup waktu untuk mengemas hadiah, mengambil cucian dan berdandan.

Namun, entah bagaimana semua telah siap setelah Kami salat duhur jamaah di rumah. Melihat Marie mengenakan mukena dan ikut salat – dalam posisi duduk di kursi roda – dengan kami, membuatku bangga dengan anak itu.

Kemudian Kami berangkat. Kami tidak mengenakan pakaian melainkan hanya pakaian yang bagus. Riyati dengan riasannya masih membuatku canggung meskipun telah beberapa tahun kami menikah. Sedangkan Marie, sesekali Aku melihatnya yang ada di pangkuan Riyati di sampingku.

Sekilas Aku teringat saat pertama kali aku bertemu dengannya, sangat kontras. Dulu, anak itu bertubuh kering kerontang, bau yang tak sedap, baju kumal yang tidak lagi menutupi kulit, mirip seperti dengan mayat hidup, kini bertubuh genap dengan pakaian yang cantik. Memang dia tidak gemuk, tapi sehat. Memang dia tidak normal – tidak mungkin dikatakan normal jika seorang anak punya dua belah otak yang disambung dan tangan kaki robot – tapi jauh lebih normal daripada pertama kali Aku temukan. Memikirkan ini saja Aku sudah bersyukur dapat bertemu dengan anak ini.

Akhirnya Kami sampai. Kami mendapati jika pesta baru saja dimulai. Ah untung saja Kami hidup di Indonesia dengan 'jam karet'nya. Kenapa jam karet? Ya karena molor. Marie kuserahkan sepenuhnya ke Rati, ketika Aku sibuk berbincang dengan Raymond dan Warno.

"Ngga diatas?" Kata Raymond menyuruh Warno berlagak layaknya seorang bapak yang anaknya sedang melangsungkan prosesi pernikahan.

"Ahaha, sudah cukup dari pagi aku diatas." Jawab Warno.

"Ngomong-ngomong, ray, kok bisa datang? Bukannya biasanya sibuk?" Kataku.

"Demi masa kecil kita, hahaha. Tapi ya, Aku hanya punya waktu satu jam. Setelah itu harus cabut. Ngomong-ngomong bagaimana kondisi Marie?" kata Raymond.

"Marie?" Kataku.

Aku melihat ke arah Marie.

"Alhamdulillah Dia baik-baik saja. Ini juga berkatmu Mond. Makasih ya operasinya." Kataku.

"Apa yang kamu pikirkan, kan kalian yang membayar biayanya. Kebetulan kenalanku sedang luang waktu itu." Kata Raymond.

"Ahahaha masih saja kamu seperti itu." Kataku

"Huh?" Tanya Raymond padaku.

"Rati sudah bilang semuanya. Hahaha." Jawabku.

"Ah! Rati ya, ya apa boleh buat kalau begitu. Jadi hutang budiku sudah lunas kalau begitu." jawab Raymond

"Lah, ente punya hutang apa sama Sumi?" Kata Warno.

"Biji salak?" Jawab Raymond.

"Biji? Ah, astagfirullah." Kata Warno

Kami tertawa.

"Hei Kalian tahu, Aku bisa saja mati tersedak loh saat itu, untungnya kalian menyelamatkanku." Kata Raymond.

"Mond, Kamu sudah banyak membantu kami, bagaimana caranya kami membalasmu?" kata Warno.

"Ah tidak. Yang diataskan harus membantu yang dibawah." Kata Raymond.

"Aku ini pimpinan polisi loh." Kata Warno.

"Kalau begitu kita saling bantu saja kalau ada masalah." Kata Raymond.

"Ya bisa juga kalau begitu." Kataku.

"Ah tidak, aku hanya bercanda. Sudahlah yang lalu biarlah berlalu." Kata Raymond.

Tak lama kemudian Ia undur diri. Memang orang seperti Raymond jarang ada di dunia nyata. Raymond adalah cerminan dari orang yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri maupun orang yang menyambung tali silaturahmi dengan teman-temannya. Ya kami sudah berteman sejak usia sekolah dasar hingga sekarang. Tak kalah kagum juga Aku dengan Warno. Dia bisa memisahkan antara 'Aku' sebagai temannya dengan Aku sebagai bawahannya. Dia kerap membantuku.

"Sum, kenapa tidak bayi tabung saja?" Tanya Warno tiba-tiba.

"Lalu Aku minta tolong lagi sama Raymond? Ayolah War, Kamu tahu Aku bukan orang yang seperti itu." Jawabku.

"Ya kalau begitu jangan minta tolong padanyalah." Kata Warno.

"Memang orang itu mau membiarkanku melakukannya sendiri jika itu menyangkut adiknya?" Tanyaku.

Warno diam.

"Selain itu juga, Baik Aku maupun Rati ingin kehamilan normal. Selain itu, Bagi Kami, Marie saja sudah cukup." Kataku sembari tersenyum pada Warno.

"Marie ya." Kata Warno.

Lalu Aku lihat lagi wajah Marie. Aku hanya berpikir jika Marie tidak mungkin ada disini tanpa bantuan mereka yang ada di sekitarku. Terutama Rati. Riyati telah banyak membantuku selama ini. Dia tetap disini bersamaku hingga saat ini. Aku tahu kalau dia sulit punya anak, tapi seperti kataku padanya waktu dulu, satu tahun setelah kami memutuskan untuk berumah tangga,

"Ayo kita periksa. Kalau Aku yang mandul, Kamu boleh memilih untuk meninggalkanku, Aku akan mengabulkan permintaan talakmu. Tapi, kalau Kamu yang mandul, Aku tidak akan melepasmu."

Sekarang Tuhan telah memberikan Kami Marie, anak unik yang tak akan Kamu temukan dimana-mana dengan kebutuhan yang luar biasa. Hm, mungkin sebagai langkah pertama, Aku harus segera menyekolahkan Marie.

Anganku buyar saat Rati memanggilku. Kupikir ada apa sampai dia memanggilku, ternyata Marie dari tadi melihat penjaja es krim yang ada disini. Warni yang melihat tingkah Marie tertawa dan menawarkan untuk mengambil beberapa (red: Sangat Banyak) es krim untuk kami bawa pulang.

Selain itu tentu Aku juga melihat Quora. Hari ini Dia adalah bintangnya, entah bagaimana caranya Dia berhasil meyakinkan Warno untuk menikahkannya dengan anaknya. Pasalnya mayoritas orang Jawa menginginkan menantu dari Suku Jawa pula. Namun ini, orang Minang berhasil merebut garis keturunan Jawa dari Warno. Namun, hal yang paling kuingat adalah cara Dia melihat, ah tidak, memandang Marie. Ada apa dengan pandangannya itu. Aku acuhkan hal ini hingga Kami akan pulang.

Setelah Marie mulai mengantuk, Kami memutuskan untuk pulang. Kami bersalaman lagi dengan mempelai pria dan wanita. Kebetulan saat ini tamu yang berkunjung juga sudah banyak yang pulang.

"Hei." Kataku padanya.

"Iya pak?" Kata Quora.

"Kenapa dengan pandanganmu pada Marie." Kataku dengan nada sedikit bergurau.

Pertanyaanku mungkin aneh atau kasar, tapi Aku hanya ingin tahu apa yang sedang dipikirkan Quora. Rati juga, Dia sedikit kaget saat pertanyaan itu muncul dari mulutku. Sedangkan Marie tertidur pulas di gendongan istriku.

"Ah maaf, apa maksudnya ya?" Tanya Quora.

"Hei Kamu tidak bisa menyembunyikannya dari mata atasanmu, kau tahu ahaha." Kataku sambil tertawa untuk mencairkan suasana.

"Aku tidak tahu, Aku hanya berpikir jika Aku mungkin saja mengenal Marie, waktu masih kecil ahaha, aneh jika Aku katakan hal ini saat ini. Tapi itu tidak mungkinkan, jika dilihat dari usia Marie." Kata Quora.

"Iya, Kamu benar." Lalu kami pergi.

Quora hanya membual, mana mungkin Quora bertemu Marie. Hei Marie bukan penjelajah waktu, begitu pikirku. Namun kenyataannya Aku mulai memercayai hal itu beberapa hari kemudian.