webnovel

Alasan

Beberapa hari kemudian Tasya baru bangkit dari keterpurukan. Setelah dua hari meratapi kenyataan akan status dirinya yang telah dimadu. Bahkan Yoga membawa wanita barunya ke mansion mereka. Membiarkan duri dalam daging itu tinggal satu atap dengan istri pertamanya. Tasya mengunci diri, mengabaikan suami beserta istri ke-duanya dan keluar kamar saat tengah malam hanya untuk melepas lapar. Yoga sempat menggedor kamar hendak masuk tapi Tasya menolaknya. Wanita itu ingin melunturkan semua rasa sakit hingga tidak bersisa. Tasya sudah tidak perduli mau di mana Yoga tidur nanti. Mungkin di dalam dekapan istri barunya. 

 

Hatinya nyeri, begitu mudah Yoga membagi hati. Tidakkah dia menganggap Tasya ada selama ini? 

 

"Apa baginya aku hanya alat penguat perusahaannya saja?" monolog Tasya di sela rintihan malam di balik bantal. 

 

Alasan apapun tidak akan Tasya terima atas penghiatan Yoga padanya. Hingga wanita itu memutuskan untuk melupakannya dan menjaga jarak dengan sang Suami mulai hari ini. Meski sekelebat bayangan ketika mereka kecil terus berputar bak bianglala di pasar malam. Mereka yang sangat dekat kala itu. Tasya selalu ada untuk Yoga, begitu pun sebaliknya. Hingga satu kata yang semakin memantapkan Tasya untuk menghabiskan waktu hingga akhir hayat bersama Yoga, suaminya.

 

"Aku menyukaimu Tasya, aku tidak sabar untuk menikahimu saat dewasa nanti!" manik hitam itu berbinar. Kini manik itu memberikan luka pedih di relung Tasya.

 

Tasya tersenyum miris memandangi wajah dengan kantung mata layak panda. Mengusap kasar sisa air mata yang masih membasahi pipinya. 

 

"Baiklah, anggap saja aku mengabdi sebagai karyawanmu Yoga. Entah seperti apa hari-hariku selanjutnya, aku hanya akan mengemban janjiku sebagai Nyonya Alvarendra kepada mendiang orang tuamu," monolognya. 

 

Tasya memasuki kamar mandi, merendam tubuh pada bathtube berharap semua akan baik-baik saja. Setidaknya keluarga Tasya masih lengkap, tidak seperti Yoga yang sebatang kara. Andai pria itu berfikir ke arah sana, bersama siapa ia akan tua nanti? Tapi kenyataannya Yoga memilih mengambil seseorang yang tidak jelas asal usulnya untuk mendampinginya. 

 

Tasya memejamkan mata menikmati air hangat yang menyelimuti tubuh telanjangnya. Pikiran wanita itu sempat melanglang buana entah kemana sampai suara Melati menyadarkannya.    

 

"Nyonya, pakaian anda dan Tuan sudah siap."

 

Manik itu terbuka dengan tatapan lurus ke depan, mereka berdua selalu memakai baju couple selama ini. 8 tahun terlewati dengan sia-sia. Demi terlihat harmonis di depan publik Tasya harus tetap melakukan hal konyol yang membuatnya tidak tahan. 

 

"Terima kasih, Melati."  

 

Tasya mengangguk lalu beranjak dari bathtube. Melati dengan sigap mengenakan handuk kimono pada majikannya. 

 

"Nyonya, apa anda baik-baik saja?" Melati tampak mengkhawatirkan Tasya yang sudah beberapa hari menutup diri. 

 

"Sangat baik, ini adalah hari baru untukku sebagai Nyonya Alvarendra."

 

"Benarkah? Saya senang mendengarnya," Melati menepis rasa khawatirnya. 

 

Tasya tersenyum menawan membuat Melati tidak berkedip. "Kau tidak perlu banyak berfikir," jelas Tasya.

 

Tasya pun telah selesai mengenakan setelan jas wanita berwarna putih tulang. Rambutnya di sanggul agar terlihat lebih elegan. Sepasang liontin perak menjuntai menghiasi telinga. Wanita itu akan menghadiri rapat dewan hari ini dan beberapa pertemuan bersama Yoga. Membayangkannya saja membuat wanita itu muak. 

 

"Anda begitu sempurna, Nyonya." Melati berdecak kagum.

 

"Nyatanya tidak, rumah tanggaku berantakan," sahut Tasya membuat Melati menunduk. Tasya pun mengusap bahu pelayannya. "Semua manusia punya kelemahan, karena itu... syukurilah segala nikmat yang kau miliki saat ini."  

 

Melati tercekat, dia tidak menyangka Nyonyanya begitu tegar. 

 

"Aku akan menghadapi semuanya, itu yang selalu Ayahku ajarkan. Sepahit apapun itu, pertahankan apa yang memang hakmu!" seru Tasya mantap.

 

Melati mengangguk setuju dengan sudut matanya yang basah. 

 

Saat suasana mengharu biru, sebuah ketukan pintu terdengar. Tasya membuka pintu dan mendapati pelayan di sana. 

 

"Ada apa?" tanya Tasya.

 

"Tuan, memanggil Nyonya," jawab sang pelayan.

 

'Sialan, untuk apa lagi dia memanggilku?' umpat Tasya dalam hati. 

 

"Baik, terima kasih. Dimana Tuan sekarang?" Tasya berusaha menekan diri yang ingin menolak. 

 

"Tuan berada kamar dekat ruangan kerjanya, Nyonya." Jelas pelayan itu. 

 

Tasya menoleh ke arah ruangan yang dimaksud. 'Ah... di situ ternyata kau menempatkan wanita itu. Bagus, jauh-jauhlah dariku.' 

 

Setelah siap, Tasya pun berjalan menuju kamar tempat Yoga berada, wanita itu mengetuk 3 kali hingga sahutan mengijinkan masuk dengar. 

 

Tasya melangkah anggun seperti biasanya, ini adalah hal dasar kepribadian yang sudah dia miliki dari kecil. Tasya tidak menyangka jika di dalam kamar itu ada istri ke-dua Yoga. Tasya melihat wanita itu sedang memegang sehelai dasi di tangannya. Yoga tersenyum melihat istri pertamanya. Tasya ingin menonjok wajah suaminya itu.

 

"Ada apa kau memanggilku?" tanya Tasya mengabaikan istri ke-dua Yoga.

 

"Renata, bisa kau tinggalkan aku dengan Tasya?" pinta Yoga.

 

Kini Tasya tahu nama wanita itu. Renata, lembut seperti wajahnya. Entah hatinya? Tasya meragukan itu. Renata tampak enggan untuk pergi meski akhirnya memilih mematuhi kata Yoga setelah memberikan dasi pada pria itu. 

 

Pintu telah tertutup. Yoga mendekati Tasya dengan dasi di tangannya. 

 

"Renata tidak bisa memasang dasi, bisakah kau memakaikannya padaku?" pinta Yoga.

 

Tanpa kata Tasya mengambil dasi itu, memasangnya dengan tatapan terkunci pada dasi. Tasya menyadari pandangan Yoga padanya, namun dengan sengaja dia mengindahkannya. 

 

"Done!" ucapTasya sambil menepuk dada Yoga. 

 

Tasya hendak menjauhi Yoga namun tangan pria itu mendekap pinggul istrinya. Yoga mendekatkan wajahnya pada telinga Tasya.  

 

"Maafkan aku, aku terpaksa menikahinya. Karena sesuatu hal, mengharuskan aku menikahinya," pria itu berbisik dengan pembelaan. Membenarkan tindakannya. 

 

"Banyak jalan menuju roma, banyak cara untukmu tanpa harus menghianatiku." Tasya melepaskan diri. "Hanya pengecut yang menyalahkan keadaan atas keputusannya," sarkas Tasya untuk kesekian kalinya.

 

"Tasya! Jaga ucapanmu, semua ini tidak akan terjadi jika kau bisa memberikan aku keturunan!" hardik Yoga yang terpancing emosi.

 

Wanita itu membulatkan mata mendengar apa yang suaminya katakan. Akhirnya hal itu menjadi penguat semua ini. Yoga tidak tahu jika Tasya berusaha menutupi semuanya agar dirinya tidak merasa gagal sebagai suami. Kini Yoga menyalahkan Tasya, tanpa mau tau seperti apa keadaan dirinya sendiri. Rasa amarah memuncak hingga ke ubun-ubun Tasya. 

 

"Kau menyalahkan aku? Kau tidak merasa jika mempunyai kekurangan? Pernahkah kau berusaha mengintrospeksi diri sendiri?" Tasya bertanya-tanya. 

 

"Seharusnya kau memeriksakan diri sejak dini, sebelum kita menikah!" 

 

"Apa kau bilang?"

 

"Buktinya, kita belum punya anak sampai hari ini!"

 

Tasya berdecih miris. "Kau selalu mencari kambing hitam. Dan itu tabiatmu yang paling kubenci,"

 

"Apa maksudmu? Jelas-jelas jika rahimmu bermasalah, aku mendengar semuanya dari Andi tentang hasil lab waktu itu. Kau sengaja menyembunyikannya, kau takut mengakui kekuranganmu?" Yoga bersikukuh.

 

"Rahimku bermasalah? Kau tidak melihat sendiri hasil lab mu? Kau yang mandul Yoga! Aku menutupinya selama ini agar kau tidak memikirkannya. Aku begitu peduli padamu, aku tidak ingin kau terpuruk tapi, kau malah menghujatku!"

 

"Aku tidak mungkin mandul, Renata sedang mengandung anakku!" 

 

Bagai petir di siang bolong Tasya mendengar kabar tersebut, wanita itu... hamil anak Yoga. Jika begitu, Yoga sudah bermain gila di belakangnya sejak lama. Tasya terkekeh dengan mata yang hampir berkabut. Yoga yang berkata dengan lantang barusan segera mengatupkan bibirnya rapat, terdapat penyesalan di raut wajahnya.  

 

"Cukup aku tahu akan busuknya dirimu... sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," ucap Tasya getir. Wanita itu memalingkan muka kemudian meninggalkan Yoga yang menjambak rambutnya prustasi. 

 

"AAAARRGGG!" 

 

"PRANK!!"

 

Langkah Tasya tidak terhenti meski tendengar teriakan dan suara barang pecah di dalam sana. Yoga  menuduhnya, bahkan menghianati Tasya sejak lama. Kaki Tasya tertahan saat netranya menangkap sosok Renata yang berdiri tidak jauh dari kamar itu. 

 

"Kak Tasya, aku sangat menyukaimu. Aku harap kita bisa dekat nanti," ungkap wanita itu sambil memasang mata polos memikat. 

 

'Ini kah yang Yoga inginkan selama ini?' tanya Tasya dalam hati. 

 

Tasya menanggapi panggilan Renata dengan jijik, wanita itu dengan berani memanggilnya kakak. 

 

"Jaga bicaramu, aku bukan kakakmu. Jangan mendekatiku karena aku tidak menyukaimu," ucap Tasya jujur.  

 

"Tuan sangat menyukai aku, asal Nyonya tau!" Renata berkata lantang. 

 

Tasya menoleh dan mengibaskan tangan. "Aku tau, ambillah... aku tidak membutuhkannya." 

 

Wanita itu mengangkat kepala menginggalkan Renata dengan pandangan anehnya. Mungkin dia heran karena Tasya tidak terpengaruh dengan provokasinya. 

Tasya bertekad tidak akan pernah menangisi Yoga yang begitu jahat dengan prasangkanya serta dengan pengkhianatan yang dengan sengaja dilakukannya.