1 Rumah Warisan Sang Kakek

"Huff... huff... huff..."

Suara seorang laki-laki yang terengah-engah terdengar jelas diiringi suara roda kecil berputar dari koper besar yang ditariknya.

Laki-laki tersebut dengan lutut yang mulai memanas, memaksakan langkah demi langkah menaiki jalanan terjal yang sedang dilalui.

Dalam benaknya, laki-laki tersebut memaki-maki jalanan yang sepi tanpa ada transportasi yang lewat. Dirinya tidak mengetahui kalau lokasi yang ditujunya itu merupakan suatu tempat yang cukup terisolasi dari pemukiman.

Meskipun tempatnya ini berada di sisi kota, namun tempat ini tetap termasuk sisi kota yang ramai dan maju dibandingkan yang lain.

Hal ini dikarenakan tempat tersebut merupakan lokasi suatu universitas besar nasional berada. Sehingga banyak mahasiswa dan akademisi tinggal di daerah ini.

Hanya saja, lokasi yang dituju si laki-laki itu tidak disangka termasuk lokasi yang jauh dari keramaian.

Laki-laki itu melihat ke belakangnya, melihat jalan landai yang mana di bawah sana tadi, dia masih merasakan keramaian daerah yang dipenuhi manusia.

Hanya sekitar lima belas menit berlalu. Kini laki-laki tersebut sudah tidak bisa melihat lagi tanda-tanda kehidupan manusia. Atas dan bawah, dunia bagai berubah drastis. Laki-laki itu bertanya-tanya apakah dirinya benar-benar ada di sisi kota?

Jalan tanjakan tersebut hanya dihiasi tebing dan hutan bambu di kedua sisinya. Tidak ada rumah pemukiman warga sama sekali.

Suara kendaraan bermotor terdengar samar dari bawah sana. Kalau laki-laki itu tidak berkonsentrasi, ada kemungkinan dia tidak dapat mendengarnya.

Daripada suara samar kendaraan. Suara tangisan berbagai jenis serangga dan nyanyian burung yang saling bersahutan lebih terdengar di telinganya. Diberikan melodi oleh suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin lembut. Membuat harmoni alam mendamaikan hatinya yang penuh murka pada jalanan terjal yang dilalui.

Naik, naik, dan naik. Langkah kaki lelaki itu seperti kehilangan tenaga setiap kali melaju satu langkah. Hingga sekitar lima menit kemudian, akhirnya dia bisa melihat sebuah gerbang besi yang karatan ada di depan pandangan sana.

"..."

Laki-laki itu menatap kosong pada gerbang tersebut. Dengan menyemangati diri dalam hatinya, dia percepat langkah kakinya. Tiba di depan gerbang tersebut dengan kilat.

Laki-laki itu lalu mengeluarkan ponsel. Membuka aplikasi chatting, membuka salah satu kontak melihat sebuah alamat dari obrolan di dalamnya.

Membandingkan alamat yang tertera di layar dengan plang yang tergantung di samping gerbang. Laki-laki tersebut mengkonfirmasi kalau rumah besar di depannya memanglah tempat tujuannya.

Hanya saja...

"Rumah ini... terlihat angker..."

Gumam laki-laki tersebut yang mulai ragu dengan keputusannya untuk tinggal di rumah di depan sana.

Rumah besar dua lantai yang masih terlihat kokoh walau cat di dinding telah pudar dan terkelupas. Berganti lumut dan akar-akar tanaman yang merambat menghiasi dinding rumah tersebut.

Gerbang besi berkarat yang ketika dibuka terdengar suara bising reyot termakan waktu. Halaman yang dipenuhi oleh rumput-rumput liar setinggi pinggang.

Bau tanah lembab menyerbak setiap kali kakinya melangkah membelah lautan rumput liar.

Ketika tiba di teras, daun-daun kering dan tanah hitam telah menutupi ubin-ubin yang seharusnya memperlihatkan kemurnian warna putih.

Laki-laki itu lalu menoleh ke samping kanan rumah. Di sana terdapat sebuah pohon mangga yang menjulang tinggi melebihi atap rumah. Tingginya mungkin setara dengan bangunan tiga atau empat lantai.

Lelaki itu bertanya-tanya dalam hatinya akan usia dari pohon mangga tersebut.

Rumah tersebut memang terlihat terbengkalai dan memberikan suasana horor. Namun, rasa takut pada lelaki itu hanya hadir sebentar. Saat ini daripada takut, dia lebih mengkhawatirkan hal lain.

"Apa aku harus membersihkan semua ini? Ugh, ini bencana..."

Wajah laki-laki tersebut mengerut, membayangkan kerja keras yang harus dilakukannya. Belum lagi, berapa lama hingga semuanya bisa bersih? Lelaki tersebut seketika murung.

Sekitar dua bulan yang lalu.

Kakek dari keluarga ibu lelaki tersebut meninggal dunia. Dua minggu setelah meninggalnya sang kakek, ibunya mendapatkan beberapa warisan. Salah satunya adalah rumah terbengkalai yang akan ditempati oleh lelaki tersebut.

"Bim, daripada mahal ngekos. Pakai saja rumah ini."

Titah sang ibu kepada lelaki tersebut yang bernama Abimanyu Danasura. Sang Ibu memperlihatkan beberapa lembar kertas dari dokumen warisan yang diberikan pengacara.

Salah satu lembaran kertas itu menunjukkan sebuah rumah besar yang berada di sekitar universitas yang akan dimasukinya.

Abimanyu yang biasa dipanggil Bima, akan menempuh pendidikan master atau S2 dalam bidang Kajian Budaya. Dia baru lulus dalam studi sarjana tahun lalu, kini setelah setahun menganggur dan traveling ke beberapa kota di negaranya. Bima memutuskan untuk melanjutkan studi.

Tepat sebelum masa perkuliahan dimulai. Bima yang tadinya berniat menyewa kamar di dormitory kampus, kini malah mendapatkan suatu rumah dari warisan kakeknya.

Dari foto pada dokumen yang diambil sepuluh tahun lalu, rumah tersebut terlihat cantik dan tentram. Sayangnya, jauh dari ekspektasi. Rumah yang didapat Bima ternyata lebih terlihat angker daripada wahana rumah hantu.

Riiinggggg!

Suara ponsel di sakunya seketika berbunyi. Bima ambil kemudian melihat kalau ibunya menelpon.

"Halo, Bu."

[Ah, gimana, Bim? Sudah sampai ke rumah?]

"Hm. Baru saja sampai. Ini baru mau buka pintu depan."

[Oh, baguslah kalau begitu. Gimana rumahnya, masih layak?]

Mendengar pertanyaan tersebut, Bima melihat sekelilingnya. Dia tidak tahu apakah keadaan ini layak atau tidak.

"Belum melihat isinya. Jadi belum tahu. Tapi dari keadaan di halaman depan... gimana yang ngomongnya, kayak rumah hantu. Jelas sekali kalau rumah ini sudah ditinggal lama. Apa gak ada yang jaga?"

[Aish, jangankan ada yang jaga. Kita keluarganya saja gak ada yang tahu kalau kakekmu punya ini rumah.]

"Ehhh, terus apa kakek pernah tinggal di sini?"

[Entahlah. Ibu tidak ingat kalau kakekmu pernah pergi ke Waringin.]

"Hmm, terus buat apa kakek beli rumah ini?" Tanya Bima yang kemudian mengingat sekitarnya yang sepi dari keramaian manusia, "Masa sih... apa jangan-jangan rumah ini buat wanita simpanannya?"

Gumam Bima yang terdengar oleh ibunya.

[Hush! Ngomong apa kamu ini?! Jangan mikir yang aneh-aneh sama kakekmu, nanti kualat!]

"Hahaha..."

[Ya sudah, nanti ibu sama ayah mampir setelah pulang dari ibukota. Mungkin lima atau seminggu lagi. Jaga diri baik-baik. Ah, jangan mentang-mentang ada rumah bagus, kamu boleh bawa cewek sembarangan. Ibu potong anumu kalau kau berani macam-macam!]

"Bu... ancaman itu Bima rasa akan memusnahkan keturunan keluarga kita."

[Hmph. Kau pikir Ibu mau punya cucu haram? Sudahlah. Bye!]

"Sigh..."

Bima mendesah panjang. Melihat layar ponsel setelah panggilan tertutup, lalu menguncinya. Bima kemudian merogoh saku, mengambil kunci pintu depan rumah.

Membukanya lalu melihat isi dalamnya yang telah lengkap dipenuhi oleh furnitur-furnitur terselimuti plastik.

Tata ruang terlihat rapi. Hanya terdapat debu dan beberapa sarang laba-laba, yang memberikan kesan telah ditinggal lama oleh pemiliknya.

Namun selain dari itu, pemandangan dalam rumah jauh lebih baik daripada yang terlihat di halaman luar.

"Hmm... ini mungkin tidak terlalu buruk."

Gumam Bima yang mengira-ngira kalau dirinya mungkin hanya perlu mengelap, menyapu dan mengepel lantai saja.

Waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Waktu yang cukup untuk membersihkan kamar yang akan dipakai, serta ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Sisanya akan dikerjakan besok hari.

"Yosh, mau tak mau, mari bekerja!"

Bima menyemangati dirinya lalu langsung berjalan ke kamar utama. Hal yang harus diprioritaskan adalah membersihkan tempat untuk tidurnya nanti malam.

Dengan teliti laki-laki itu membersihkan seluruh sudut kamar yang cukup luas tersebut. Di dalamnya selain ada tempat tidur dengan ukuran untuk dua orang.

Di sana pun terdapat suatu lemari antik yang terbuat dari jati. Lalu terdapat dua rak buku, satu meja belajar, dua buah nakas yang di atasnya terdapat lampu hias, dan terakhir terdapat satu buah sofa di depan tempat tidur yang menghadap ke sebuah kabinet kayu yang memanjang horizontal dengan laci yang digeser ke depan.

Dari posisinya, Bima membayangkan kalau di atas kabinet tersebut mungkin awalnya terdapat sebuah televisi.

Waktu berlalu, Bima hampir selesai membersihkan kamarnya. Mengelap semua perabotan di kamar, sekaligus melihat sekilas isi rak dan lemari.

Pada rak buku, Bima hanya mendapati buku-buku lama tentang sejarah dan buku ensiklopedia ilmu pengetahuan umum. Melihat buku-buku tersebut, Bima cukup tertarik untuk membacanya.

Pada kabinet kayu, Bima menemukan beberapa peralatan kecil seperti obeng, gunting, kunci dan lain sebagainya, yang malas untuk diperhatikan oleh Bima saat ini. Dia memutuskan untuk membongkar semuanya nanti.

Sedangkan ketika Bima membuka lemari pakaian. Di dalamnya hanya terdapat sebuah kotak kayu sebesar kotak sepatu dan cermin bulat sebesar bola basket. Tidak ada pakaian atau hal lain di dalamnya.

Bima ambil kotak kayu tersebut. Membukanya dan mendapati sebuah kacamata serta gelang yang terbuat dari butiran kayu.

Dia ambil kacamata dengan lensa bulat itu. Menyadari kalau lensanya ternyata hanya lensa biasa, tidak cekung maupun cembung.

"Hee~"

Bima pakai kacamata tersebut. Merasakan frame kacamata yang pas dan nyaman di wajahnya.

Setelah itu, Bima sekalian ambil juga gelang kayu dalam kotak. Memakainya di tangan kanan. Pada saat memakainya, Bima dapat menghirup wangi kayu bagai semerbak bunga.

"Hmm, lumayan."

Gumamnya, lalu menoleh ke cermin, ingin melihat penampilan dirinya yang memakai kacamata.

Tapi ketika Bima baru saja melirik ke cermin. Dia seketika melihat sosok perempuan dengan rambut yang menutupi wajah telah berdiri di belakang pundaknya.

"!!!"

Bulu kuduk Bima seketika berdiri. Dia langsung berbalik, menoleh ke sosok wanita tersebut. Biasanya pada film horor, bila ada sosok menyeramkan ada di balik punggung, ketika orang berbalik maka sosok itu akan menghilang.

Tapi...

Hal ini tidak terjadi pada Bima. Ketika dia berbalik, sosok wanita itu tepat berada di depan wajahnya.

Karena panik, secara refleks Bima tinju sosok tersebut di wajah dengan tangan kanannya. Berpikir kalau tinjunya hanya akan menembus tubuh yang astral, Bima seraya pasrah.

Tapi...

Buk!

"Kyaaaa!"

Tinjunya tepat mengenai wajah, mendorong sosok tersebut menjauh dan membuatnya tersungkur lalu membentur tempat tidur.

Bak!

"Eh... kyaaa?"

avataravatar
Next chapter