webnovel

Sesak Nafas x Kiss

"Tolong dorong aku dari atap ini. Rasanya aku ingin mati," pinta Sean menatap Asya serius.

Asya terbelalak. Mulut gadis itu sedikit terbuka. Asya tak menyangka dengan apa yang diminta Sean. Mendorongnya dari atap?

Plak!

Asya tanpa pikir panjang melayangkan tamparan keras pada Sean, membuat wajah lelaki itu berpaling ke samping. Sean langsung mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan gadis itu. Asya menamparnya? Seorang anak pelayan rendahan seperti Asya bisa bisanya menampar Sean? Bahkan tanpa rasa berdosa sedikit pun!

Sean menatap Asya marah. "Kamu menamparku?! Sialan kau! Aku ini majikanmu!" Sean tak terima.

"Sadarlah, Sean!" pekik Asya emosi. "Kamu ini lembek sekali! Hanya dengan patah hati kamu ingin mengakhiri hidupmu?!" Asya mendengus sembari tersenyum meremehkan. "Mentalmu tempe sekali! Pantas saja Lathia enggan memilihmu. Rupanya kamu kekanak-kanakan sekali!" cibir Asya, gadis itu kesal sekaligus muak melihat orang yang terlalu berlebihan seperti Sean.

"Kekanak-kanakan? Aku? Kekanakan?" Sean menuntut.

"Iya! Kalau mau mati, mati saja sana! Jangan menyuruhku! Aku tak ingin mendapatkan akibat apapun dari ulah bodohmu itu! Ah tidak! Hal yang lucu tentunya! Ingin mati karena sakit hati, hhhh. Itu hanya terjadi untuk orang yang bermental lemah!" desis Asya menantang.

"Itu karena kamu tak tau apa yang aku rasakan! Makanya kamu meremehkan kesedihanku!" balas Sean balik menantang. Benaknya yang terasa sangat sakit, Asya tak mungkin bisa memahaminya.

"Kesedihanku jauh lebih parah dari yang kamu rasakan. Jadi, Sean, terimalah takdirmu. Lupakan Lathia dan berhenti berharap padanya. Kesenangan itu ada pada hatimu sendiri, jangan terpaku pada hal yang berpotensi membuatmu sakit hati. Paham? Aku sudah baik menjelaskan ini padamu. Aku peduli padamu!" tekan Asya panjang, melampiaskan seluruh kesalnya hingga nafas gadis itu cukup terengah.

"Aku—"

"Asya!"

Ucapan Sean terhenti saat Alma memanggil Asya dari sudut ruangan, tepatnya diujung tangga. Membuat Asya gelapan saat itu. Begitu pula dengan Sean yang membatu, ia menatap Asya yang kalang kabut.

"I-iya, Ma?!" jawab Asya tanpa beranjak dari tempatnya, sedangkan Sean hanya terdiam melihat kepanikan Asya.

"Sedang apa kamu di sana? Mama dengar kamu berteriak! Apa terjadi sesuatu?" tanya Alma berteriak tanpa beranjak mendekati Asya.

"Tidak, Ma! Aku nonton live streaming sepak bola, Mama tau sendiri 'kan aku suka bola! Jadi wajar bila aku berteriak saking serunya!" jawab Asya mengarang. Gadis itu pandai sekali mencari alasan. Sean tersenyum miring. Rupanya Asya menyukai sepak bola. Hal itu membuat Sean ingin tertawa.

"Oh, begitu. Ya sudah. Cepatlah turun ke bawah. Ini sudah malam. Mama tidur duluan, ya!"

"Iya, Ma!" final Asya. Beberapa detik kemudian, tak terdengar lagi suara dari Alma. Ibunya itu pasti sudah turun dan menuju kamarnya untuk berlayar di alam mimpi.

Sedangkan Asya menghela nafas lega, untung saja Alma tak mencurigainya lebih dalam. Ini salah Sean karena lelaki itu menyebalkan, jadinya Asya tak bisa menahan amarahnya lagi. Ia mengusap area jantungnya pelan.

"Huft, untung saja. Ini semua gara-garamu, kalau saja—" Asya menghentikan ucapannya saat Sean terlihat mengeryit kesakitan. Asya terdiam, tak bisa mencerna apa yang terjadi dengan lelaki itu. "Kamu kenapa?" tanya Asya tanpa sadar.

Sean tak menjawab apapun, lelaki itu memegang dadanya. Dengan geraman tertahan, tubuh lelaki itu tiba-tiba terhuyung ke depan, membuat Asya menahan tubuh Sean yang roboh ke arahnya. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya dan Sean merosot, duduk di atas dinginnya lantai.

"Sean! Kamu kenapa?!" Asya bertanya untuk ke dua kalinya, dengan panik. Asya mengguncang bahu Sean, namun lelaki itu tak kunjung memberi jawaban. Sean hanya menggeram sembari terus memegang dadanya. Terlihat seperti sesak nafas.

Asya ragu, tapi ia tak memiliki waktu untuk memikirkan keraguannya. "Apa kamu ... asma? Kesulitan bernafas?!" tebak Asya menatap Sean serius. Sean beralih menarik lengan Asya, mencengkeram tangan gadis itu kuat.

Sean menatap Asya, ia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namut sangat sulit untuk diutarakan. Dadanya sesak sekali, seperti tertimpa beban yang sangat berat. Paru parunya menyempit karena Sean tak bisa bernafas dengan normal.

Asya semakin panik melihatnya. Ia bingung harus bagaimana. Sesak nafas? Asma? Apa Asya harus melakukan CPR?

"Sean! Bertahanlah! Jika kamu asma, apa kamu bawa inhaler? Obat untuk meredakan asma?! Kamu punya?!" tanya Asya rusuh.

Sean tak menjawab apapun, hanya menatap Asya sembari terus merasakan sesak. Gawat! Jika terus dibiarkan Sean bisa kehabisan oksigen dan akhirnya jantungnya bisa berhenti berdetak!

"Sebentar! Bertahanlah, Sean!" Asya memutar otak untuk mencari cara agar sesak Sean segera hilang. Yang ada di pikirannya hanya CPR, Asya menatap Sean bimbang. Nafas buatan? Itu artinya, Asya harus ... Ah! Asya mengacak rambutnya saat itu, frustasi dengan dirinya sendiri.

Jika Asya tak segera melakukan CPR, Sean akan kehabisan oksigen dan akhirnya Sean akan berhenti bernafas. Namun, jika Asya melakukan CPR, itu berarti Asya harus menyentuh bibir Sean agar lelaki itu bisa selamat.

Asya memejam mata erat, bimbang. Tubuh Sean mulai kejang, dengan tangan yang bergetar. Asya mengepalkan tangannya. Ia menatap Sean, Asya pikir ia harus menyingkirkan keraguannya. Nyawa seseorang adalah prioritas. Benar, jika Asya ragu, suatu hari Asya akan menyesali keputusannya. Asya tak boleh membiarkan orang lain menderita, itu adalah salah satu prinsipnya.

Asya lalu mendekat ke arah Sean, mengepalkan tangannya renggang, hingga memiliki ruang yang cukup untuk udara masuk. Asya menempelkan kepalan tangannya pada mulut Sean, meniupnya kuat. Gadis itu lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya dan meniupkan nya kembali. Asya melakukannya berulang kali, berharap nafas Sean kembali normal.

Sean tak bisa bertahan lama. Semakin nafasnya habis, semakin melemah juga tenaganya. Saat menerima udara dari Asya, Sean merasa paru-parunya mulai terisi udara. Namun, Sean tak cukup kuat, pasokan udara yang Asya beri terlalu sedikit. Sean tanpa pikir panjang menepis kepalan tangan Asya di mulutnya, lalu beralih menarik wajah gadis itu dan dengan cepat, Sean meraup bibir Asya.

Asya terbelalak. Gadis itu terdiam saat merasakan bibir Sean menyentuh bibirnya. Apa Asya mimpi sekarang? Ataukah ini hanya ilusi? Namun, bibir Sean yang meraup udara dari mulutnya membuat Asya sadar bahwa ini adalah kenyataan. Sadar akan perlakuan Sean, Asya memejam mata, menarik udara dari hidung dan memhempaskannya pada mulut Sean, memberi lelaki itu pasokan udara, sebisa Asya.

Gadis itu memejam mata dengan erat sekali, benaknya terus berdesir hebat. Darahnya mendidih, jantungnya berpacu sangat cepat. Asya hanya bisa melakukan hal itu, memberi Sean oksigen untuk meredakan sesak nafasnya.

Sean beralih menarik tengkuk Asya, memperdalam raupannya, dan mendesak gadis itu ke dinding. Hingga beberapa detik kemudian, Sean melepaskan bibirnya dan menarik nafas sebanyak-banyaknya.

"Hahhhhhhhh ... hahhhhhhhh ... hahhhhhh." Sean terengah, nafasnya ia tarik panjang dan segera menghempaskannya, Sean melakukannya berulang kali hingga sesaknya perlahan berangsur-angsur hilang.

***

~Bersambung~