Pagi itu, rintik hujan seakan ikut menemani gelisah Lea, Bi yang sedari pagi muntah muntah membuatnya semakin cemas.
Selain Bi yang tampak melemah Bu Septi tak henti- hentinya menghujani nya dengan kata kasar seakan apa yang terjadi pada Bi saat ini adalah kesalahan Lea.
Bi yang sakit tetap dengan keras kepalanya ingin tetap di desa walaupun penyakitnya terlihat semakin memburuk.
"Apa ini kesalahan ku? Seakan aku yang membuat Bi sakit dan tidak perduli akan kesembuhannya" Lea memandang lurus ke arah luar dimana terdapat pepohonan yang sedang di basahi sang gerimis.
Bayangannya pergi ke masa saat dia dan Bi masih muda, saat mereka bolos sekolah dan pergi ke pantai.
Saat indah saat seragam sekolah mereka kotor akibat bermain di pantai itu. Bahagia sekali saat semua hanya tawa tidak ada rasa sakit takit akan kehilangan.
Bisstssss bisttsss..
Dering telepon mengejutkan Lea.
"Hallo mi"
"Sayang apa kabar kamu dan Bi?" Bu rena bertanya dengan nada kawatir.
"Begitulah mi, Lea masih kawatir mi jika hal buruk terjadi saat Lea jauh dari kota"
"Bagaimana Bi apa dia baik-baik saja?"
"Bi baru saja tidur mi, sejak pagi dia hanya muntah- muntah, Lea udah bujuk dia untuk pulang tapi dia tetap mau tinggal di sini sampai minggu ini berakhir"
"Yahh...ikuti saja sayang, mami tau Bi pasti jenuh di kota yang ribut ini"
"Lea kawatir mi, misalnya saat malam sakit Bi semakin parah, Lea gak tau harus kemana"
"Bi pasti sehat sampai minggu depan, kamu jangan kawatir gitu. Bu septi apa kabar sayang?"
"Mama sama papa baik mi, cuma Lea merasa gak enak sama mama, sekarang mama lebih diam ke Lea. Kata mama Lea salah membawa Bi ke sini dari pada tetap tinggal di kota" Lea menjelaskan sedih.
"Itulah sayang saat kamu melakukan hal baik tidak semua orang menyukainya"
"Lea gak enak mi, setiap hari tatapan mama ke Lea itu gak enak, Lea gak mau lama-lama di sini"
"Yaudah kamu sabar ya sayang, nanti kalau udah waktunya mami suruh supir jemput kamu dan Bi dari sana" Bu rena hanya bisa berkata sabar saat putri satu-satunya itu di persalahkan untuk sebuah niat baik.
Pembicaraan itu berakhir, Lea kembali duduk dan merenung di kamar itu.
Bi yang tampak tertidur karna efek obat yang di minumnya membuatnya lupa sebentar rasa sakit yang di alaminya.
"Dea, hari ini fio masuk kerja??" Mira yang tersenyum memandang Dea penuh tanya.
"Aaaa...Fio??"
"Ia kamu lihat dia?"
"Aku belum melihatnya hari ini, mungkin dia di kantornya" dea sedikit curiga.
"Ohb bisa jadi" Mira melangkah membawa kotak bekal berwarna coklat.
"Ehh tunggu dulu, apa itu??" Dea menghentikan langkah mira ke arah lift.
"Ini roti buatan ku untuk Fio" Mira tersenyum ke Dea yang mengerutkan dahi tanda dia sedikit curiga.
"Wahh..cuma buat Fio aja??" Dea tertawa lalu memberi isyarat pergi pada Mira.
Hari itu Fio tidak di kantor nya, saat Criss menjelaskan jika Fio pergi untuk bertemu model, perasaan Mira sedikit gusar.
Bekal di dalam kotak coklat itu di tinggalkan di atas meja, di tulis untuk Fio.
"Waduh perhatian banget ke Fio" Criss meledek Mira yang tampak malu dan berjalan cepat.
Suasana kantor itu sangat sibuk, Criss tampak berkutat dengan beberapa costum yang sudah di pilih untuk para model hari itu.
Sedangkan Fio sibuk dengan model yang harus difotonya.
"Istirahat 30 menit" Fio memberi arahan.
"Oke" para pekerja itu berteriak bahagia.
"Ehhh..udah lihat kotak makanan di meja tadi?" Criss bertanya pada Fio yang masih memegang cameranya.
"Oh udah"
"Gimana enak gak??" Criss bertanya penasaran.
"Tanya sama orang keamanan deh, soalnya aku kasih ke mereka kasihan belum pada sarapan katanya"
"Raja tega ni anak" Criss menggelengkam kepala nya.
"Kok gitu?"
"Ia itu di buat Mira untuk mu, sengaja juga di antar ke atas. Malah di kasih orang keamanan. Parah" Criss tampak tidak setuju.
"Mana aku tau itu dari siapa, aku buka makanan aku udah sarapan yah aku kasih ke bapak itu" Fio tampak santai menghadapi Criss yang terheran-heran.
"Aduh kalau si Mira tau bisa nangis tu anak"
"Mira kamu keberatan kotak makan tadi aku kasih bapak keamanan??" Fio bertanya ke Mira yang saat itu lewat tidak jauh dari mereka.
" ahh.. gak apa-apa" raut wajah Mira tampak berubah.
"Tuhh dia juga gak marah" Fio berkata pada Criss dengan santai nya.
"Aduh ni anak gak peka banget, lihat tu mukanya kecut" Criss berbisik ke Fio.
"Emang muka dia kecutkan" Fio tertawa melihat Criss yang tampak kesal.
"Ahh sudah lah, gimana mau dapat pacar kalau kelakuan mu begitu" Criss berjalan menjauhi Fio yang masih tersenyum.
"Kayak kamu punya aja" Fio berteriak.
Criss berbalik dan memandang sinis wajah Fio yang masih tertawa.
Dalam hati Fio masih ada Lea bagaimana dia bisa menerima perhatian dari orang lain saat hatinya tidak untuk orang itu.
Dia masih sibuk menyembuhkan lukanya tidak untuk menerima perhatian dari orang.
**
Lea sibuk memasak bubur untuk Bi agar lebih mudah dicerna.
Saat sedang mengaduk bubur Lea mengingat bagaimana dulu dia hidup penuh semangat, dengan motor kesayangan nya sudah lama tidak di gunakan.
"Haa..apa pernikahan itu tidak baik untuk ku, bagaimana mungkin hanya hitungan bulan pernikahan ku, suami ku sakit dan aku di benci oleh mertua ku. Andai aku memilih untuk sendiri mungkin tidak ada yang sakit hati saat ini." Lea berpikir keras dan menyalahkan dirinya atas masalah saat itu.
"Masak yang benar, ngelamun aja" suara Bu septi membuyarkan pikiran Lea.
"Ahh ia ma" Lea menjawab singkat.
"Apasih yang kamu bisa, ngurus suami juga gak benar, masak juga gak bisa, masak bubur aja lama" Bu septi menghitung-hitung kesalahan Lea saat itu.
"Lea bisa masak kok ma walaupun gak ahli kayak mama" Lea sedikit menjawab ucapan Bu septi itu.
"Huu...dasar anak manja, kenapa anak ku harus memilih kamu dengan banyaknya wanita hebat di luar sana. Setelah dengan mu anak ku jadi sakit-sakitan" Bu septi mengeluarkan rasa tidak senangnya kepada Lea.
"Bi sakit bukan karna Lea ma, Lea gak pernah buat Bi sakit" Lea menahan rasa marahnya.
"Jadi kenapa setelah menikah dengan mu anak ku sakit, dan lihat sekarang dia jalan pun sudah tidak bisa"
"Jadi mama maksud aku lah yang membuat Bi sakit?" Lea bertanya penuh rasa marah.
"Ia..kamu yang buat Bi sakit dan kamu gak tau ngurus suami" Bu septi semakin menjadi-jadi.
"Cukup ma..Lea udah coba diam beberapa hari ini, mama pasang muka marah aku terima, mama nyalahin aku karna lebih memilih membawa Bi ke sini aku terima. Tapi kalau mama nyalahin aku atas penyakit Bi aku tidak bisa terima." Lea mulai marah dengan suara bergetar.
"Jadi kamu mau nyalahin saya??" Bu septi kembali menyerang dengan suara nya yang kuat.
"Harusnya Lea lah yang kasihan di sini, karna waktu anak mama datang ke Lea dia sudah sakit, dan sekarang Lea harus mengurus orang sakit, tapi apa?? mama nyalahin Lea karna Bi sakit. Bi udah sakit dari tahun lalu tapi mama yang gak becus mengurus anak."
"Apa kamu bilang??" Bu septi seakan tak terima dengan ucapan Lea itu.
"Ia Bi selalu nahan rasa sakit nya sejak tahun lalu, minum obat nyeri yah.. begitulah sampai beberapa bulan ini dia baru tahu kalau kanker di tubuhnya sudah masuk stadium akhir" Lea meninggikan suara ya.
"Gak mungkin, Bi pasti cerita kalau sakit"
"Nahh mama lah yang salah karna gak becus jadi ibu" Lea mematikan kompor dan meninggalkan Bu septi yang menangis mendengar ucapan Lea.
Lea berjalan keluar rumah, menahan amarah di dadanya.
Air matanya selalu berjatuhan membasahi pipi, Lea yang dulu hampir tidak pernah menangis kini harus meneteskan air mata setiap harinya. Entah karna Bi yang membuatnya sedih atau kata-kata kasar Bu septi padanya.
Lama Lea duduk di kursi itu. Membuang rasa marahnya, ingin sekali rasa nya dia pulang dan bercerita kepada maminya soal ucapan kasar Bu septi padanya. Tapi bagaimana Bi dia pasti akan sedih.