"Bella! Apa yang kamu lakuakan!
Pulang!"
"R ... Radit?"
Pelukan mereka seketika terlepas. Suara bariton dari pria tua itu, sangat menggelegar. Beberapa pasang mata bahkan manyorot pada Radit yang sudah mulai murka.
Bella meneguk salivanya susah. Menundukkan kepala lebih dalam saat Radit benar-benar ada di hadapannya.
Memilin jari yang sedari tadi memegangi ujung kemejanya. Tatapan Radit yang sama sekali tak bisa dirinya tangkap. Edo yang sedari hanya terdiam menikmati respon Radit. Bella sungguh takut mereka saling baku hantam di sini.
"Radit ... kamu kok ada di sini? Tempat seperti ini enggak cocok sama kamu. Kita pulang aja, ya?"
"Aku ke sini pun juga mauku! Kamu juga jangan buat kesempatan!"
"Enggak usah bentak kayak gitu, bisa?" sahut Edo dingin sambil terus memandang Radit dengan datar.
Bella semakin tak enak di sini. Radit yang menunjukkan amarahnya dengan bentakan dan makian, dipadukan dengan Edo dengan amarah yang terlihat dingin. Tapi Bella juga bisa yakin kalau keduanya memiliki resiko baku hantam.
Dirinya sudah dibuat bingung. Edo tahu masalahnya, sementara Radit melihat dirinya tadi di waktu yang tidak tepat. Oh Tuhan ... Bella harap Edo lebih bisa mengerti situasi di sini.
"Apa urusan kamu dengan saya? Terserah saya mau berlaku apa pada siapa pun!"
"Aku tidak masalah atas tidakanmu Radit. Aku cuma ingin kamu menghormati orang-orang yang sedang makan di sini."
Oh ... syukurlah.
Edo tak melakukan hal lebih sejauh ini. Tak mengungkapkan hal-hal yang bisa mempermalukannya dengan Radit. Untung saja ... Edo lebih bijaksana.
Radit yang sempat mengedarkan pandangannya. Memeriksa keadaan sekitar yang masih menyorot dirinya sedari tadi. Tanpa basa-basi, Radit pun langsung menarik pergelangan tangan Bella dengan paksa.
Membawa dirinya menuju mobil Radit yang sudah terpakir di tepi jalan. Memasuki mobil dengan kasar. Kebungkaman Radit yang sedari tadi tak menimbulkan apa pun, Bella hanya bisa berserah diri.
"Ma ... maaf, Dit. Aku bisa jelasin semuanya ke kamu.
Edo itu ... dia adalah teman sekaligus kakakku sendiri. Dia teman dari kecil yang selalu menemani aku di saat aku kesepian di rumah.
Aku—"
"Aku enggak peduli itu. Apa pun hubunganmu dengan pria itu, terserah. Aku cuma enggak mau, kalau kamu mempermalukanku di luar sana karena kemesraanmu.
Dari pada kamu mendapat gunjingan dari orang lain karena kamu calon istriku. Aku harus lebih dahulu memperngatimu." Dingin, datar, dan tanpa ada energi tersendiri yang bisa Bella tangkap.
Sangat berbeda dengan radit yang tadi dirinya lihat. Radit yang tadi terlihat marah, penuh dengki dan penuh kedendaman. Radit di sini terlihat sangat aneh.
Masih dalam posisi Radit yang menyetir kendaraan. Bella yang beberapa kali mengecek ponselnya hanya untuk mengurangi kejenuhan. Sungguh ... Bella merasa canggung jika seperti ini.
"Radit ... kamu enggak marah sama aku?" tanya Bella sangat berhati-hati. Takut Radit menjawab tak sesuai ekspetasinya. Bella tak mengalihkan pandangannya pada Radit sekarang.
"Enggak. Aku biasa aja. Cuma aku lebih mentingin nama baik aku aja di luar. Jadi, tetaplah berhati-hati jika ingin bertemu sahabatmu."
"I ... iya."
Karena Bella sudah tak ingin lagi mengusik ketenangan Radit, dirinya pun lebih memilih diam saja. Tak ingin menyinggung permasalahan ini. Lebih baik tenang saja.
Memang Bella menyadari bahwa ada perubahan yang aneh terhadap dirinya. Bella yang orang dekatnya kenal sebagai pribadi yang tangguh dan tak pernah terima jika ada yang menindasnya, tapi beda dengan dirinya sekarang.
Jika bersama Radit, dirinya kembali seperti Bella yang ada di rumah. Yang selalu memikirkan hal yang terbaik saja, tanpa memikirkan kembali beberapa opini yang ada di pikirannya.
Biarkan saja jika di sini dirinya yang lebih mengalah, mungkin jika Radit sudah mulai jatuh hati padanya, Bella bisa lebih melakukan tindakan.
Tak kerasa dalam lamunannya, Bella dan Radit sudah sampai di kediaman. Rumah Radit lebih tepatnya. Rumah yang sangat megah ini, Bella sempat tercengang.
"Ayo masuk," ajak Radit sambil keluar dari mobil.
Membukakan pintu mobilnya untuk pertama kali. Mengulurkan tangan untuk membantu Bella turun. Diirnya sedikit terkejut dengan perlakuan Radit barusan.
"Ini rumah kamu, Dit?"
"Bukan, ini bukan rumah aku. Yang tepat, ini adalah rumah orang tua aku."
Meraih tangan Bella dengan lembut. Menggandengnya berjalan menuju pintu utama di hadapannya. Beberapa pengawal bahkan sudah siap siaga di sepanjang jalan.
Kedua mata Bella yang masih mengedarkan pandangannya. Menyamakan langkah kaki calon suaminya ini meski sedikit tersenggal. Bella masih memahami semuanya.
"Kalau ini rumah orang tua kamu, berarti kamu punya rumah sendiri, dong. Rumah kamu sendiri, dimana?"
"Ada ... tapi bukan sekarang nunjukinnya. Nanti, kalau kita udah nikah baru aku ajak ke sana," jelas Radit lebih menurunkan suaranya.
Entah ada getaran apa yang sekarang sedang Bella rasakan. Suara Radit yang lebih lembut dari biasanya. Pandangan Radit tadi yang tepat menatap dirinya. Bahkan tautan tangan mereka pun juga belum terlepas sedari tadi.
Bella merasakan ada yang aneh dari dalam dirinya. Antara senang dan bingung. Semua bercampur menjadi satu. Sikap Radit yang terkadang masih labil, tapi Bella merasa jika Radit adalah pria baik.
"Selamat datang, kalian. Selamat datang di keluarga kami. Bella," suara kecil namun melengking memenuhi rumah mega Radit seketika.
Seorang wanita paruh baya yang berada di lantai dua. Tampak jelas dari tempat berdirinya di lantai satu. Wanita itu mulai menuruni tangga yang Bella duga bahwa itu pasti calon mertuanya.
Pria paruh baya juga menyusul dari arah belakang dirinya. Mendekati keberadaan Bella dan Radit yang memang mungkin ini tujuan Radit mengajaknya ke sana. Meski ini pertama kalinya Bella bertemu, dirinya harus menunjukkan sikap baiknya.
"Selamat siang, tante ... om ..."
Meraih tangan keduanya spontan dan mengecup punggung tangan orang tua Radit. Pastinya dirinya harus menunjukkan sisi baik di sini.
Mengikuti mereka yang sama-sama duduk di sofa ruang tamu, Bella masih bersikap ramah sedari tadi.
"Apa kabar, Tante? Baik, kan?" tanya Bella yang sangat ramah.
"Baik. Enggak usah terlalu ramah juga, kita baru kenal," sahut Mita ketus.
Bella sempat tersentak mendengar jawaban dari calon mertuanya. Terdengar sangat tak bersahabat dan meragukan. Sama seperti dirinya yang pertama kali bertemu dengan Radit. Dingin tak tersentuh.
Hanya menyengir tak berdosa. Berusaha bersikap sebagaimana selayaknya dan tak terlihat terlalu ramah. Oke ... Bella harus lebih mencoba.
Hidup dengan keluarga yang kastanya jauh lebih tinggi di atasnya memang tak mudah. Di mana dirinya dipaksa untuk mengikuti gaya kehidupan mereka. Yang memang terlihat sangat tak bersahabat.
"Maaf, Tante," jawab Bella mendahului.
"Sudah-sudah. Enggak perlu terlalu mempermasalahkan hal kecil ini.
Bella, ini Mama aku. Perkenalkan dia adalah calon mertuamu."
Bella mengangguk, meluncurkan senyumnya yang tipis. Tak mungkin juga dirinya hanya diam tanpa merespon apapun. Yang ada dirinya akan kembali disalahkan kembali.
"Dan ini, Papaku. Kenalin.
Pernikahan kita lusa, dan setidaknya sebelum kamu ke sini untuk acara selanjutnya. Kamu sudah mengenal orang tua ku."
"Iya."
*Bersambung ...