webnovel

My Bittersweet Marriage

Aarhus. Tempat yang asing di telinga Hessa. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mengunjungi tempat itu. Namun, pernikahannya dengan Afnan membawa Hessa untuk hidup di sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang dicintainya di Indonesia. Seolah pernikahan belum cukup mengubah hidupnya, Hessa juga harus berdamai dengan lingkungan barunya. Tubuhnya tidak bisa beradaptasi. Bahkan dia didiagnosis terkena Seasonal Affective Disorder. Keinginannya untuk punya anak terpaksa ditunda. Di tempat baru itu, Hessa benar-benar menggantungkan hidupnya pada Afnan. Afnan yang tampak tak peduli dengan kondisi Hessa. Afnan yang hanya mau tinggal dan bekerja di Denmark, meneruskan hidupnya yang sempurna di sana. Kata orang, cinta harus berkorban. Tapi, mengapa hanya Hessa yang melakukannya? Apakah semua pengorbanannya sepadan dengan kebahagiaan yang pernah dijanjikan Afnan?

IkaVihara · Urban
Not enough ratings
10 Chs

SATU

"Kamu kenalan sama anaknya teman Mama, ya?"

Hessa menghentikan kunyahan rotinya, mendesah dalam hati. "Oh, God, Please! "

"Mama, jangan promoin Hessa terus. Hessa nggak suka." Hessa merasa terganggu dengan acara jualan dirinya ini.

"Promo bagaimana?"

"Ya begitu. Mama jualin Hessa ke teman-teman Mama. Cariin jodoh. Nanti juga Hessa jodohnya ada sendiri." Kini Hessa mengunyah rotinya dengan tidak berselera.

"Jodoh? Mama nggak cari jodoh buat kamu. Kan cuma kenalan. Tante Kana teman baik Mama, dulu tetangga sejak kecil. Kamu berteman dengan anaknya, meneruskan silaturahmi."

"Apa namanya kalau bukan jodohin, semua aja laki-laki Mama kenalin ke Hessa."

"Karena semua teman Mama anaknya laki-laki." Mamanya menjawab dengan sangat santai.

Hessa memutar bola matanya, dia tidak bodoh.

"Lagi pula, ya Hessa, apa salahnya kamu coba? Kamu sudah dua puluh tujun tahun kan, perlu waktu kalau mau cari pacar, belum juga kalau putus, mau bagaimana coba?"

"Aku berangkat ya, Ma." Hessa memutuskan berangkat ke kantor sekarang. Sepagi ini percakapan di rumahnya sudah sampai membahas umur. Ya ya ya, dia sudah dua puluh tujuh dan tiga tahun lagi adalah bencana. Thirty is coming, yang artinya akan tertempel label di jidatnya: kemampuan menghasilkan bayi berkurang sekian persen. Yang angka persennya akan bertambah seiring bertambah tua usianya.

Alasan orangtuanya menjodoh-jodohkan Hessa adalah murni karena Hessa tidak punya pacar sampai sekarang. Tidak ada laki-laki yang bisa menjanjikan hubungan padanya, yang berpotensi mengarah ke pernikahan. Bukan karena kerja sama bisnis, ayahnya bukan pengusaha tapi bekerja sebagai wartawan senior di salah satu TV swasta dan kontributor jaringan berita internasional. Ibunya sudah tidak bekerja setelah Hessa lulus kuliah. Bukan juga karena orangtuanya punya musuh dan ingin berdamai dengannya melalui kesepakatan pernikahan. Ini terjadi di dunia nyata, King Abdul Aziz, the founder of modern Saudi Arabia, yang namanya dipakai nama bandara itu, menikahi anak perempuan musuhnya, jadi dengan begitu tidak ada lagi orang yang akan menggulingkan kekuasaannya.

Keluarga Hessa jauh dari drama semacam itu. Ini membuat Hessa merasa semakin tidak berguna, dia tidak bisa menemukan sendiri orang yang bersedia menikahinya. Mamanya mendidiknya dengan baik, menjadi wanita yang baik dan banyak kualitas lain dengan harapan itu menjadi bekal untuknya di masa depan, saat menjadi istri. Istri siapa? Who it will be? Will it even happen?

***

"Kenapa bengong melulu, Hes?" Andini menyenggol lengan Hessa, yang sedang menatap hampa layar HP-nya.

"Din..."

"Ye?"

"Menurutmu cowok ini gimana?" Hessa meletakkan HP-nya di meja.

"Ganteng. Bule, ya? Ya ampun, kenalin dong!" Andini mengamati dengan saksama.

"Inget suami, Din." Hessa tertawa melihat tingkah sahabatnya itu.

"Ya kalau dia mau sama aku, aku tinggalin suamiku." Andini ikut tertawa.

See? Andini yang sudah menikah saja rela meninggalkan suaminya demi laki-laki ini. Apa alasan laki-laki ini minta dijodohkan? Kepala Hessa langsung dipenuhi hal-hal buruk, mulai dari dia mungkin orang yang membosankan sampai mungkin juga impoten.

"Siapa sih ini, Hes?" Andini bertanya.

"Anaknya temen mamaku." Hessa tidak semangat menjawab.

"Mau dikenalin sama kamu?"

"He eh."

"Mau aja. Ganteng ini." Andini malah lebih antusias daripada Hessa.

"Dia seharusnya bisa nyari istri tau, seperti kamu bilang, dia ganteng. Kenapa coba mau dijodohin? Mencurigakan." Hessa mengeluarkan keheranannya.

"Iya juga, sih. Pacaran sama artis aja mungkin dia bisa, ya? Jangan-jangan dia itu anti sosial? Atau nggak pede."

Hessa merasa buruk dan menyesal sekali berpikiran negatif seperti. Belum kenal kok sudah menghakimi. Mungkin ada alasan lain, sex orientation mungkin. Tetapi zaman sekarang sudah serba terbuka, orang sudah berpikiran luas, tidak perlu menyembunyikan itu.

Hessa mengamati halaman browser-nya. Afnan Møller, tiga puluh tahun. Pekerjaannya terdengar keren. Hessa membuka profil profesionalnya di LinkedIn. Daftar penelitian dan paper-nya panjang, juga ada banyak penghargaan. Lulusan Aarhus University. Jenis orang yang sekolah terus dari lahir sampai tua. Warga negara Denmark.

Hessa mengirim pesan kepada mamanya.

Udah habis stok lokalnya, Ma?

Tanpa menunggu balasan, Hessa memasukkan lagi HP-nya saat supervisornya datang.

Supervisornya menjelaskan tentang sepatu-sepatu yang paling banyak laku dan ingin mendesain model yang mendekati itu. Dengan sangat membosankan. Hessa tidak terlalu memerhatikan, sibuk membaca pesan yang baru masuk dari mamanya.

Dia orang sini, ayahnya orang Denmark dan dia ikut kewarganegaraan ayahnya.

"Dasar nggak nasionalis." Hessa mencela dalam hati.

"Ah, suamiku ngeselin, deh." Andini mengeluh saat berjalan meninggalkan ruang meeting.

"Langsung makan aja kita." Hessa melihat jam di HP-nya. Sudah hampir jam dua belas.

"Kita nggak jadi pergi ya, Hes, sore ini? Orang merepotkan ini bilang mau pulang cepet. Waktu aku pulang cepet aja dia lembur. Sekarang aku pengen jalan, dia pulang sore." Andini masih menggerutu.

"Ya kapan-kapan aja," jawab Hessa pelan.

Kadang-kadang Hessa tidak suka berkumpul dengan teman yang suka sekali mengeluh tentang suami, calon suami atau tunangannya. Hessa ingin sekali teriak di depan mereka, "Oh, please. I am worried, because I am not sure if I will ever have any husband!"

"Kamu nikmati waktumu, Hess. Mumpung belum terjebak pernikahan." Andini tidak peduli dengan perubahan raut wajah Hessa dan terus saja bicara.

Tidak ada waktu untuk dinikmati karena Hessa sudah pasti akan berada dalam kondisi pilih-memilih calon suami dari ibunya. Hessa ingin mengenal seorang laki-laki, setidaknya, selama tiga tahun sebelum menentukan apakah dia orang yang tepat atau bukan. Tapi tiga tahun dari sekarang adalah saat umurnya tiga puluh tahun. Kalau gagal di tengah jalan, ulang lagi dari awal. Gagal lagi, ulang lagi. Mungkin makan waktu sampai dia menopause. Damn you, biological clock! Could we women just be fertile for the entire life?

"Din, kenapa kamu mau menikah sama suamimu itu?" Hessa bertanya ketika mereka melangkah keluar lift, jalan makan siang.

"Cinta." Andini menjawab singkat. "Kenapa, Hes? Kamu kok kelihatan galau hari ini?"

"Aku nggak enak sama mamaku. Mamaku pengen aku menikah. Adekku udah dua puluh lima tahun kan sekarang, dia nggak mau menikah kalau aku belum." Hessa menghela napas.

"Emang lagi nggak ada cowok yang kamu suka?"

"Kalau aku suka juga dia belum tentu suka sama aku." Hessa menggelengkan kepalanya.

"Yang suka kamu?"

"Ada. Tapi aku nggak sreg, dia merokoknya gila bener, deh. Bau." Hessa bergidik.

"Kalau ada yang suka sama kamu, pertimbangkan saja, Hes. Nanti lama-lama kan kamu bisa suka. Daripada kamu yang ngejar-ngejar, kan capek."

"Kamu kalau ada temen kenalin dong, Din." Hessa duduk di depan Andini.

"Iya. Pasti. Kemarin juga udah kukenalin, tapi ternyata dia brengsek. Sialan. Aku juga susah nyarinya, nggak yakin kalau temen-temenku baik semua. Tapi siapa tahu, di antara mereka yang baik, ada jodoh kamu."

The one who loves you and whom you love back. Idealnya menikah memang dengan orang yang seperti itu. Selalu ada sisi baik dan buruk dalam diri setiap orang, cinta yang membuat kita bisa menerima itu semua. Menurut pemikiran Hessa, perjodohan atau dijodohkan hanya melihat sisi-sisi baik. Tampangnya, uangnya, rumahnya, pekerjaannya, sifat-sifat baiknya, dan hal-hal baik lainnya. Tidak ketahuan sifat buruknya, apa dia egois, apa dia pelit, apa dia pemarah, dan seterusnya dan seterusnya.