webnovel

ITU NAMANYA KARMA

Kepala Sherin masih sangat pusing. Dia pun tidak mau berdebat lebih panjang dengan Ed. Solusi dari Ed sudah yang paling baik untuk mereka berdua.

"Istirahatlah! Aku akan memesakan makan untuk kita."

Ed turun dari ranjang. Dia harus membersihkan diri dan berpakaian sebelum pengantar makanan datang. Tidak bisa dipungkiri. Dia sangat menikmati permainan tadi malam. Bayangan tubuh Sherin yang penuh dengan peluh masih memenuhi pikirannya.

***

Pesanan makanan sudah datang, sementara Sherin masih terlelap. Ed tidak tega jika harus membangunkan calon istrinya itu. Entah seperti apa hubungan pernikahan mereka nanti. Ed dan Sherin hanya tidak ingin mengecewakan Lynch. Membuat malu orang tua itu adalah kegagalan untuk mereka.

Ed masuk ke kamar. Sherin sudah bersandar di headboard, namun masih membungkus tubuh polosnya dengan selimut.

"Hiks…hiks…hiks…" Lagi-lagi Ed harus mengernyitkan dahi. Bingung saat melihat kesedihan di wajah wanita cantik itu.

Ed berusaha sabar. Lagi-lagi dia merutuki kebodohannya tadi malam. Ed mendekat dan duduk di tepi ranjang. Mengusap wajah Sherin yang basah karena air mata.

"Ada apa lagi, hem?" tanya Ed lembut.

"Ituku sakit sekali," ucap Sherin. Kata itu semakin membuat Ed bingung.

"Itu apa? yang mana yang sakit?" ditanya seperti itu membuat Sherin semakin malu.

"Kamu jahat. Ini semua kesalahan kamu. Aku seperti ini karena kamu. Pokoknya, kamu manusia yang paling aku benci."

"Tuhan, tolong berikan aku indera khusus mendengar suara hati. Mahluk satu ini benar-benar membuatku bingung," pinta Ed dalam hati. Tidak berani bersuara. Takut membangkitkan amarah singa betina yang ada di depannya.

"Iya-iya. Kamu bpleh membenciku sesuka hati kamu. Sekarang katakana! Apa yang sakit?" Ed kembali menanyakan penyebab menangisnya Sherin. Gadis kecil yang dulu sering dia jaga saat bermain bersama.

"Dasar tidak peka! Bagian bawahku yang sakit. Kamu membuatnya terluka." Bercampur kesal dan malu, Sherin akhirnya memberitahu bagian mana yang sakit.

Jika boleh, Ed ingin tertawa saat itu juga. Apa lagi wajah Sherin sudah merah bak kepiting rebus.

"Aku akan memandikanku," ujar Ed membuat Sherin memukul keras tangannya. "Kenapa dipukul?" protes Ed.

"Kenapa kamu mau memandikanku? Kita bukan pasangan kekasih. Jangan cari kesempatan kedua!"

"Kita bukan sepasang kekasih, tetapi akan menjadi pasangan suami istri. Tenang saja! Aku tidak akan menyentuhmu lagi."

"Janji?" Sherin tidak mau percaya begitu saja. Tadi malam tubuhnya sudah menjadi santapan lezat untuk saudara angkatnya itu. Tidak pernah terpikirakan olehnya jika malam pertama akan berakhir dengan laki-laki yang selalu dia hindari.

Dalam balutan selimut, Ed menggendong tubuh Sherin. Beruntung wanita itu memiliki berat badan ideal. Tidak susah untuk Ed memindahkannya ke kamar mandi.

"Aku bisa mandi sendiri." Sherin tidak mau tubuhnya diumbar begitu saja. Meski sudah melakukan penyatuan, tetap saja malu. Kejadian tadi malam tidak disengaja.

"Kamu yakin?"

"Sangat yakin." Sherin akan tetap mandi tanpa Ed. Tidak apa-apa merasakan perih. Yang paling penting bagian intinya tidak menjadi sasaran empuk dari laki-laki itu.

Ed pun menurut. Keluar dari kamar, pergi ke meja makan. Tidak teg ajika Sherin harus berjalan ke sanga, Edzhar pun berinisiatif membawa makanan ke dalam kamar. Dalam hati dia berjanji. Sherin akan menjadi istri satu-satunya. Belum ada cinta, namun ini sebagai bentuk tanggung jawab untuk Sherin, dan balas budi untuk orangtua angkatnya.

Sudah setengah jam lebih, Sherin tak kunjung keluar juga dari kamar mandi. "She!" panggil Edzhar sembari mengetuk pintu.

Tidak ada suara dari dalam membuat Edzhar semakin bingung. Takut jika terjadi apa-apa. sejak bangun tidur, calon istrinya itu selalu menangis. Ed memberanikan diri membuka pintu. Dalam balutan bathrobe Sherin menoleh kepadanya.

"Ada apa lagi? Kenapa tidak keluar dari kamar mandi?"

"Apa kamu yakin akan menikahiku? Kalau pernikahan kita tidak bahagia bagaimana? Aku tidak pernah menyukai kamu, Ed. Sampai hari ini saja, aku masih saja membencimu. Menganggab kamu sebagai pengacau di keluargaku."

"Bahagia atau tidak tergantung pilihan kita. Ayo keluar! Kamu bisa mati kedinginan kalau di kamar mandi terus."

Sherin pun keluar. Memilih pakaian dari dalam lemari. Sudah terbiasa jika dia akan membuka bathrobe dengan bebas. Sekali lagi dia kesal. Kehadiaran Ed di sana merenggut kebebasannya.

"Kenapa tidak pakai baju?" tanya Ed santai.

"Jangan mengintip! Belakangi aku!" perintah Sherin membuat Ed mengerti. Wanita itu malu jika harus bertukar pakaian di depannya.

"Dasar wanita! Tadi malam, dia yang menggodaku. Membuat milikku bangun dan terjadilah hal itu. Sekarang, dia mengomel terus." Ed hanya bisa menggerutu dalam hati. Bisa bahaya jika dia bersuara.

Sherin sudah berpakaian lengkap. Kali ini dia memakai kaos oblong dan celana selutut. Tidak ingin mengekspos bagian tubuhnya.

"Tumben sekali dia berpakaian seperti itu," gumam Ed. Tiba-tiba bayangan tubuh Sherin tanpa balutan pakaian melintas lagi di kepalanya.

"Kenapa pikiranku dipenuhi tubuhnya?"

"Lalu, kapan kita akan berbicara pada Papa?" tanya Sherin. Dia sudah duduk di sofa. Siap menikmati makanan yang dipesan oleh Ed.

"Hari ini. Kamu ikut aku pulang. Lebih cepat lebih baik. Aku tidak mau kamu terlanjur hamil."

"Huft! Kenapa aku harus berakhir pada pria yang paling aku benci?" ucap Sherin pelan, namun masih berhasil ditangkap oleh telinga Ed.

"Itu namanya karma. Aku tidak pernah melakukan kesalahan. Kamu saja yang selalu menghindar dariku. Membenciku tanpa sebuah alasan." Sampai hari ini pun, Ed masih bingung apa penyebab Sherin begitu tidak suka padanya.

"Dia tidak menyadari kesalahannya sama sekali. Padahal, kesalahannya sangat fatal. Bagaimana bisa aku bertahan dengan pernikahan ini? tetapi nasi sudah menjadi bubur. Aku harus bertanya pada Aira dan Joan. Apa yang membuat tubuhku panas seperti tadi malam?" Sherin terus berbicara dalam hati, sambil memasukkan makanan ke mulut, lalu mengunyahnya.

***

Mobil Ed sudah masuk halaman mansion milik Lynch. Sherin hanya bergeming. Sabuk pengaman saja tidak dibuka.

"Aku takut," ucap Sherin tanpa menoleh.

"Kenapa takut? Kita kan sudah sepakat kalau Papa tidak akan tahu apa yang terjadi tadi malam." Memang itulah yang mereka rencanakan. Menjaga hati Papa agar tidak kecewa.

"Pasti Papa akan curiga. Selama ini dia tahu bagaimana buruknya hubungan kita. sudah seperti anjing dan kucing yang selalu berbeda haluan." Pemikiran yang sangat masuk akal.

"Lalu? Apa kamu ingin membatalkan pernikahan kita?" Ed ingin tahu apa yang ada di pikiran wanita itu.

"Enak saja! Kalau aku hamil bagaimana? Laki-laki mana yang akan mau menikahiku." Tidak setuju dengan ide gila Ed, namun Sherin memikirkan masa depannya.

Edzhar mendekat. Mengikis jarak di antara mereka. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu. "Kamu mau apa? jangan macam-macam!" suara Sherin penuh peringatan.

"Siapa yang macam-macam? Aku hanya ingin membuka sabuk pengamanmu." Tangan Ed membuka tali lebar yang melindungi tubuh Sherin.

"Huft!" Sherin bernapas lega. Hobi berfoya-foya, mabuk, keluar masuk club, bukan berarti dia memberikan tubuhnya ke sembarang pria.

"Ayo!" ajak Ed.

Langkah mereka pun masuk ke dalam rumah. Ketakutan, keraguan, kecemasan, itulah yang mereka rasakan saat ini.

"Kalian sudah pulang?" suara Lynch mengejutkan mereka.

"Papa!" seru Sherin.