webnovel

Terpesona

Meeting sebentar lagi akan dimulai. Vio tidak sempat pulang lagi untuk bersiap-siap. Ia lebih memilih berangkat dari kantor dan berganti pakaian di sana. Sementara Richard sudah sangat rapi.

Ketampanannya benar-benar membuat lawan jenis akan terpana, termasuk Vio. Dari jauh Vio menatap wajah Bos pemarahnya ini.

‘Tampan, sangat tampan. Matanya biru kehijauan, sungguh indah dan menghanyutkan. Tubuh yang tinggi dan atletis, sungguh luar biasa sempurna ciptaan Tuhan satu ini,' puji Vio dalam hati.

"Sebentar, apa yang kau pikirkan Viola? Sudah gila, ya? Ingat! Dia bos gilamu!" gumam Vio lalu menepuk-nepuk kepalanya sendiri karena tak habis pikir dengan pemikirannya sendiri.

"Kenapa kau pukul kepalamu, Nona Viola? Kau ingin jadi bodoh, ya?" ejek Richard sinis.

‘Nyesel dah muji dia tadi. Ganteng sih, rada pendiam juga. Tapi, sekali ngomong, pedasnya ngalahin cabe rawit setan,’ omel Vio dalam hati.

Vio menatap Richard dan puas memaki dalam hatinya. Apakah ia bisa bertahan menghadapi bos kasar macam dia?

"Ah, tidak apa-apa, Pak. Kepala saya agak pusing aja sedikit. Mari kita berangkat, Pak!"

Viola membukakan pintu mobil Richard, kemudian Vio masuk dan mulai menyetir dengan tenang. Sepi tak ada pembicaraan selama perjalanan. Vio merasa canggung hanya berdua dengan Richard dalam mobil itu. Asisten Tio tidak ikut karena ditugaskan ke tempat lain mewakili CEO-nya ini.

Viola ingin memulai obrolan dengan bosnya untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Namun, baru akan membuka mulutnya, bos dinginnya sudah memerintahnya dengan lantang.

"Fokus saja menyetir! Tidak usah bicara!" ucap Richard galak.

‘Ampun! Belum juga buka mulut, udah tau aja dia. Apa bos bisa baca pikiran orang, ya?' batin Vio heran.

"Eh, b-baik, Pak,” jawab Vio gagap.

Akhirnya mereka sampai juga di restoran Hotel Royal. Setelah tegang berduaan di mobil dengan si bos, akhirnya penderitaan Vio berakhir juga.

"Mari Pak, kita masuk! Sebentar lagi klien kita tiba," ajak Vio sopan.

Richard hanya berlalu tanpa merespon kata-kata Vio. Vio menahan kesal melihat sikap bosnya ini. Namun ia sadar posisinya. Tak ada yang bisa dilakukannya selain sabar.

“Hello, Mr. Lewis, how are you? It’ve been long time not to see you." Mr. Smith menyapa Presdir Richard.

"I am fine. Nice to meet you again Mr. Smith. This is my secretary, Miss. Viola,” ucap Richard memperkenalkan Vio.

Viola menjabat tangan Mr. Smith dan mulai memperkenalkan dirinya. Mr. Smith terpana akan kecantikan dan kefasihan Vio dalam berbicara. Matanya tak lepas memperhatikan Vio.

Presdir Richard juga ikut terpesona dengan cara Vio melobi kliennya. Entah kenapa ia jadi sedikit kesal melihat Mr. Smith menatap Vio penuh damba.

"Baiklah Mr. Smith, kami harap anda bisa mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan kami dalam pembangunan hotel dan apartemen di Amerika. Lokasi yang strategis dan minat konsumen yang tinggi menjanjikan keuntungan besar bagi perusahaan kita, Mr. Smith...” jelas Viola panjang lebar.

Pertemuan dengan Mr. Smith pun berjalan mulus. Kini Vio sudah berada dalam mobil bersama dengan presdirnya.

"Mau diantar ke mana, Pak? Ke apartemen atau Mansion?” tanya Vio pelan.

"Mansion," jawab Richard singkat.

"Baik, Pak."

"Mr. Smith orangnya ramah, ya. Akhirnya dia mau bekerja sama dengan kita, Pak," lanjut Vio lagi.

Richard bergeming. Mengangguk pun tidak. Vio jadi keki sendiri. Tidak adanya jawaban dari presdir Richard, membuat Vio tidak banyak bertanya lagi dan langsung menuju kediaman bosnya ini.

‘Wow, besar sekali Mansion bos,' puji Vio dalam hati ketika ia sampai di halaman Mansion bosnya tersebut.

"Silahkan masuk, Nona!" sambut Pak Min, kepala pelayan di sana. Sedangkan Richard langsung melangkah masuk ke mansion tanpa basa-basi lagi.

"Lain kali saja, Pak. Saya mau buru-buru pulang," jawab Viola kecewa karena bos juga sudah masuk ke dalam mansion dan tidak menawarinya untuk mampir.

"Baiklah, Nona," jawab Pak Min sopan.

Vio bergegas keluar Mansion karena hari sudah jam 10 malam.

"Akhirnya bisa pulang juga. Untung masih ada taksi.”

Vio begitu lega lepas dari bosnya.

‘Apa mulutnya ga gatel, ya? Diam melulu. Tinggal jawab aja, kok, susah amat, sih? Atau minimal mengangguk, lah. Ga ngerti dengan sifat bos. Siapa yang betah ya jadi pacarnya kalau modelan kayak gitu?’ Vio jadi penasaran.

"Eh, kok jadi mikirin si bos terus, sih?” gumam Vio memukul kepalanya sendiri.

‘Aku harus bertahan dengan bos dingin dan kasar itu. Kalau tidak, bagaimana bisa bayar sewa apartemen dan bertahan hidup,’ tekad Vio dalam hati.

Vio bukanlah anak orang kaya. Ayah dan ibunya telah meninggal dunia karena kecelakaan. Vio melanjutkan kuliah dengan bekerja paruh waktu sebagai guru privat bahasa Inggris untuk membiayai kuliahnya.

Untungnya ketika ia tamat, ia langsung diterima di Perusahaan Hadinata karena kecerdasannya.

Namun sekarang, ia terpaksa berhenti dari perusahaan itu karena tak mau bertemu lagi dengan CEO-nya yaitu mantan yang telah mengkhianatinya.

"Malem amat pulangnya, Vio?” tanya Nora ketika pintu apartemen terbuka.

"Tadi ada meeting dadakan di restoran Hotel Royal, terus gue nganter bos pulang ke mansionnya," jawab Vio jujur.

"Ciee! Yang berbunga-bunga karena dua-duaan sama bos ganteng," goda Nora jahil.

"Apaan, sih? Yang ada bukannya berbunga-bunga, tau nggak? Malahan tegang berduaan sama dia," jawab Vio tak terima digoda Nora.

"Eh, kalo jelasin jangan tanggung napa? Emang ngapain? Kok, pake acara tegang segala. Ngapain, ayo?" canda Nora mengerling nakal.

“Rese lo, Ra! Ya, ga ngapa-ngapain, makanya tegang. Ngobrol aja nggak! Mau mulai ngobrol, udah disuruh diam ama bos. Fokus aja nyetir, katanya," solot Vio tiba-tiba kesal karena ingat bosnya di mobil tadi.

"Jangan sebel-sebel sama bos lo, Vio. Nanti cinta, lho," goda Nora lagi.

"Udah ah, capek ngeladenin lo. Ga mungkin gue suka kulkas es gitu. Gue mau profesional, ga mau cinta-cintaan lagi. Luka lama aja belum kering. Ogah, pacaran sama bos sendiri lagi. Gue mandi dulu, Ra. Mau cepetan tidur," omel Vio lalu ngeloyor ke kamar mandi.

***

Sementara di Mansion, Richard senyum-senyum sendiri mengingat Vio yang keki di mobil tadi. Sebenarnya dia mau merespon Vio, tapi egonya terlalu tinggi. Dia tidak mau akhirnya Vio melunjak dan jadi banyak bicara padanya. Karena pada dasarnya, dia memang malas bicara kalau bukan hal penting.

Vio menarik, cantik dan juga pintar. Tapi Richard masih takut untuk dekat dengan wanita mana pun lagi. Perasaan ditinggalkan adalah hal yang tidak diinginkannya terulang lagi. Cukup sekali dan itu sakit. Tidak akan ada wanita yang tulus menerima dirinya yang kaku, dingin dan kasar ini. Tidak akan ada. Richard membatin dalam hatinya.

“Aku tak akan mempercayai wanita lagi.”

Bersambung...