“Maksud kamu?” tanya Richard penasaran.
“Beberapa hari ke depan, tahan hati aja dengan keketusan Viola, Bos! Dia akan mencari gara-gara sama Bos.”
Tio sudah geli sendiri membayangkan interaksi Richard dan Viola beberapa hari ke depan.
“Cari gara-gara gimana maksud kamu?” Richard mengernyit bingung.
“Dia pasti akan sering membantah Bos supaya Bos murka dan segera mecat dia. Viola ingin dipecat, Bos. Tampaknya ia sudah lelah menghadapi sikap Bos,” ujar Tio jujur.
Siapa pun pasti lelah menghadapi emosi presdir moody dan pemarah macam Richard. Dirinya dan William lah yang betah bersama Richard selama ini karena mereka sudah paham dan kenal watak masing-masing sejak lama.
Yang Tio takutkan, William dan Richard benar-benar akan bermusuhan karena memperebutkan Viola. Karena Tio juga melihat keanehan pada William yang tidak pernah kekurangan wanita, tiba-tiba penasaran setengah mati pada Viola.
“Kurang ajar dia!” desis Richard geram.
“Kalo bos cinta sama dia, sekarang balik keadaannya, Bos! Bos harus sabar menghadapinya. Saat dia bawel, Bos yang bersikap lembut. Beri dia perhatian biar dia bingung sendiri dan menyangka Bos berubah! Nantinya ia berpikir ulang untuk berhenti dari perusahaan ini,” saran Tio lagi.
“Bagaimana mungkin aku bisa jadi lembut, Tio. Kasih saran yang bener, dong,” jawab Richard nyolot.
“Bos harus bisa, dong, Bos. Bos mau Viola direbut William? William ahli memanjakan wanita, Bos. Bukan tidak mungkin Viola akan membandingkan kelembutan sikap William sama Bos. Ya, pasti menang William, Bos,” ujar Tio menakuti Richard.
‘Ampun! Susahnya ngajarin presdir cupu ngejar cinta,' batin Tio frustrasi.
Ke depannya, ia yakin ia bakal repot menghadapi curhatan ala ABG dan kelabilan ala ABG dari bosnya ini. Kok, ia merasa sudah lelah sendiri sebelum aksi Richard mengejar cinta dimulai, ya?
“Akan aku coba. Yang jelas, bantu aku menjauhkan serangga yang mendekati Viola. Usahakan ia selalu ada di sekitarku, Tio!” titah Richard tegas.
“Baik, Bos. Saya akan bantu mengatur semuanya.”
***
“Viola, tumben udah di kafe. Kamu kecepetan datang, ya?” tanya Ricky heran.
“Iya, nih. Tadi habis jemput presdir dan jalanan tumben ga macet hari ini. Jadinya aku cepat sampai ke kantor.”
Viola menjawab singkat lalu tersenyum pada Ricky.
“Oh, gitu. Kalo gitu aku temanin kamu ngopi, ya? Aku pengen ngobrol sama kamu, Vio,” kata Ricky lembut.
“Boleh, silahkan, Pak. Mau pesan apa?”
“Cappucino aja, Vio,” jawab Ricky lagi. Vio lalu memesan cappucino untuk Ricky.
Selagi menunggu pesanan kopi datang, Vio menatap lamat-lamat wajah Ricky. Laki-laki di depannya ini tampan, ramah dan murah senyum. Benar-benar idaman para wanita.
“Pak Ricky ini pasti banyak yang suka?” tanya Vio membuka pembicaraan.
“Ah, biasa aja, Vio. Oh ya, jangan panggil Bapak, dong. Dan bicara santai aja sama aku. Sudah kubilang kan kalo aku ada minat sama kamu, Vio,” jawab Ricky tersenyum lembut pada Viola.
“Maksud bapak, eh maksudmu suka, ya? Kamu suka sama aku, gitu,” tanya Vio memastikan.
“Iya, aku suka sama kamu. Namun, jangan kamu jadiin beban, ya! Selagi kamu belum berniat menjalin hubungan denganku, kita berusaha aja untuk saling mengakrabkan diri dulu. Gimana?” tawar Ricky sambil mengerling menggoda Vio.
“Maksud kamu?” Vio bingung dengan apa yang diinginkan Ricky.
“Kita jalanin aja dulu! Aku berusaha akrab sama kamu dan kamu tolong beri aku peluang untuk mendekati kamu! Seperti saat ini misalnya. Beri aku celah agar bisa berinteraksi sama kamu, Vio,” pinta Ricky lembut.
Viola menarik nafasnya pelan. Ia akan jujur pada Ricky agar ia tak berharap lebih padanya lagi.
“Ah, begitu ya? Jujur aku ga mau pacaran lagi, Rik. Aku pernah terluka. Meski dari luar aku tampak baik-baik saja, tapi luka itu tetap ada.”
“Kenapa kamu, Vio? Apa yang membuat kamu terluka?” Ricky mengernyitkan keningnya.
“Aku dikhianati laki-laki yang sudah setahun membina hubungan denganku,” buka Vio pelan.
“Mantan kamu selingkuh, ya?” Ricky menyela pembicaraan Vio dengan tak sabar.
“Lebih dari itu, Rik. Dia bercinta tepat di depan mataku dan itu sudah lama berlangsung di belakangku. Sekarang bagaimana aku bisa percaya lagi dengan yang namanya cinta?”
“Tapi, tidak semua laki-laki begitu, Vio,” kata Ricky meyakinkan.
“Mungkin. Tapi aku sungguh tidak ingin membuang waktuku untuk mencoba hubungan baru. Aku tak mau ambil resiko patah hati lagi. Jadi, Rik, lebih baik ubah niatmu itu! Aku tak akan mau pacaran lagi,” tegas Viola serius.
Ricky tertegun sekaligus tertantang. Ia ingin mengejar Viola dan menyembuhkan luka di hatinya.
‘Kita lihat saja nanti, Vio. Aku yakin bisa menyembuhkan lukamu,’ batin Ricky yakin.
“Biarkan aku mencoba dulu, Vio! Kamu nggak perlu melakukan apa pun. Biar aku yang berusaha! Beri saja aku kesempatan untuk berdua denganmu. Maksudku, jangan abaikan aku! Ketika aku ingin ngobrol sama kamu, tolong jangan menolakku! Itu aja, Vio,” pinta Ricky lembut.
Viola tersenyum. Ia mengangguk. Ia akan anggap lawan jenis hanya teman dan partner saja. ‘Berusahalah!’ seru Viola dalam hati.
Sementara di sudut kafe, William mengepalkan tangannya geram. Berani-beraninya manajer ingusan itu flirting dengan gadis incarannya. Jangan sampai ia keduluan manajer sialan itu! Ia harus membawa Viola pergi dari sana saat ini juga.
“Viola, ikut aku sebentar! Ada dokumen dari Richard yang harus kamu periksa,” ujar William berbohong agar Viola mau ikut dengannya.
“Di sini aja, Pak! Saya juga belum waktunya kerja,” jawab Vio santai.
Kurang ajar! Viola berani menolak ajakannya di depan manajer tengik ini. William tak pikir panjang lagi. Ia menarik tangan Viola, membawanya pergi dari hadapan Ricky.
“Pak, mau dibawa ke mana, Viola, Pak?” seru Ricky kesal.
“Pak William sialan! Kenapa selalu menganggukku untuk mendekati Viola,” desah Ricky frustrasi.
Ia mengeram kesal sambil memandang punggung Viola yang semakin menjauh ditarik William. Andai ini di luar kantor, sudah ia hajar William berengsek itu.
Sementara Viola terus berontak. Ia sampai harus menggigit tangan William agar melepaskannya.
“Sakit, Vio,” desis William kesakitan. “Kamu, kok, anarkis banget, sih?” tambahnya lagi.
“Saya, kan, sudah bilang, saya bisa anarkis pada orang berengsek macam Bapak,” cetus Viola garang.
Terserahlah! Viola sudah pasrah. Ia akan menghajar pria genit di depannya ini, jika ia berani macam-macam padanya. Kepalang hancur sekalian. Ia memang akan mencari masalah agar segera dipecat dan bebas dari dua laki-laki berengsek di perusahaan ini.
“Kenapa kamu selalu menolak ajakanku, Vio?” tanya William heran.
“Karena saya normal, Pak. Hanya orang gila yang akan menyerahkan kehormatannya demi orang kotor seperti bapak,” tegas Viola garang.
“Kotor? Kehormatan? Maksudmu, aku kotor dan kamu masih perawan, gitu?” tanya William marah campur semangat ketika mendengar Viola masih perawan.
“Iya, jadi berhentilah main-main dengan saya, Pak! Kalau bapak perlu teman tidur, cari di club aja, Pak! Sampai mati pun saya tak akan mau tidur sama laki-laki bekas dan murahan seperti Bapak,” cetus Viola sadis.
“Lelaki bekas? Beraninya kamu berkata demikian.” William berang dihina sedemikian rupa oleh Viola.
“Fakta, Pak. Anda bekas banyak wanita dan saya paling jijik melihat laki-laki murahan macam Bapak.”
Bersambung...