14 Derau Putih

"Sudah selesai? Ayo pergi lagi.."

Lucas bangkit lebih dulu, membiarkanku menyusulnya dari belakang, mengekor seperti anak itik pada induknya.

"Kemana?" Aku belum bangkit dari kursi, ternyata duduk di bawah langit langsung tak selamanya buruk. Meski aku harus menyipitkan mata untuk menangkap sosok pemuda itu yang terhalang cahaya matahari.

Lucas berbalik. "Ke rumahmu tentu saja."

"Aku tak mau pulang."

Lucas berdiri di depanku, tangannya tersembunyi di dalam saku celana jeans biru tua. Matahari tepat berada di belakangnya, membuat wajahnya menjadi tak jelas, seperti siluet. Apalagi dengan mataku yang menyipit, membuat pandanganku lebih buram.

"Kenapa tidak mau pulang?"

Benar. Kenapa juga aku tak mau pulang?

Alasanku keluar hanyalah menunggu sampai Dad pergi lagi, mengantar beton-beton ke negara bagian lain, menjauh dari rumah. Tak akan ada seseorang yang akan menjadi teman bicara saat aku berada di rumah, tak akan ada pembahasan mengenai Mom, atau hal-hal acak sekalipun. Aku harusnya pulang. Bermain game semalaman sampai pagi buta, atau sekedar menonton film yang telah ku tonton berkali-kali saat bosan, memesan pizza, lalu memandangi lembar tanda tangan yang sudah ku taruh di balik bingkai. Bukankah itu cukup menyenangkan? apalagi yang ku tunggu?

"Kau sibuk?"

Aku tak mengerti apa yang membuatku bertanya balik pada Lucas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seolah memang itu yang ku pikirkan. Padahal aku sendiri pun tak tahu, begitu juga dengan Lucas. Dahinya berkerut dan alisnya saling bertaut. Tangan yang tadinya dia masukkan ke dalam saku celana, kini tampak menyilang di depan dada. Dia meragukan pendengarannya, meragukan ku.

"Tidak, kenapa? Kau berubah pikiran dan ingin ke Bar?"

"Bukan itu..." Kemudian aku bangkit, berjalan mendekat ke arahnya. "Bagaimana kalau bermain game di rumahmu?" Aku merangkulnya sesantai mungkin, membuatnya tak lagi menatapku dengan tatapan curiga.

"Aku tak punya game baru." Lucas berjalan, langkah kami berirama saat mendekati mobilnya.

"Tidak masalah, kita bisa bermain game horor."

Game horor selalu memiliki keseruan sendiri, meskipun kau telah menamatkannya, atau hanya menonton saat orang lain memainkannya. Adrenalinmu tetap akan bergejolak, apalagi jika terdapat jumpscare, atau monster menakutkan, adegan berdarah-darah, semuanya tetap menimbulkan efek tersendiri. Tidak pernah menjemukan.

"Memangnya apa?"

"Resident Evil 6," kataku sembari membuka pintu mobil, sisi lain dari kemudi. Lalu aku bisa melihat wajah Lucas menegang. Tatapan yang tadinya santai kini terlihat serius.

"Kita sudah memainkannya, sampai tamat malah."

Aku bisa mendengar suaranya bergetar, samar memang, tapi terasa berbeda dari nada bicaranya yang biasa. Lucas ketakutan, itu sudah menjadi rahasia umum meskipun pemuda itu selalu mengelak dengan tegas.

"Kenapa?" Aku menutup pintu mobil tetapi jendelanya masih ku biarkan terbuka, dengan begitu aku dapat melihat bagaimana ekspresi yang melekat di wajah Lucas secara jelas. Seperti seseorang yang tengah menahan BAB. "Jangan bilang kau masih takut?" tanyaku sembari tersenyum miring. Sengaja menggodanya.

Lubang hidung Lucas melebar dan wajahnya berubah merah. Aku tahu bahwa itu jelas bukan diakibatkan cuaca yang panas.

"Tentu saja tidak!"

Senyumku semakin lebar. Jawaban Lucas berbanding terbalik dengan apa yang dia rasakan. Perasaan malu dan tak ingin diremehkan. "Hohoho.. sungguh tidak takut? Bukannya kau selalu memintaku untuk menemani ketika kau ingin bermain game horor?"

"Tidak!" Bola mata Lucas bergerak liar. "Aku hanya..." Dia membiarkan kalimatnya menggantung saat berjalan memutari mobil, membuka pintu dengan tak sabaran, lalu menduduki kursi kemudi. Wajahnya cukup lucu ketika sedang kesal, membuatku ingin selalu menggodanya.

"Hanya apa?" tanyaku, benar-benar tak menyisakan ruang untuk pemuda itu bernafas lega. Mendorongnya, memojokkannya sampai tak ada tempat untuk kabur selain menyerah. Membiarkan harga dirinya terinjak-injak.

Lucas menatapku, seolah mengatakan 'baik, kau menang'. Tetapi aku tidak ingin begitu. Yang ku inginkan adalah ucapan langsung dari mulutnya. Secara resmi dan pasti. "Kenapa tak menjawab huh?"

"..Ah! Sudahlah! Akan ku buktikan kalau aku bukan penakut," ujar Lucas berapi-api.

Namun aku melihat celah itu, saat dia memutar kunci, menggerakan roda gigi, dan mencengkram kemudi. Tangannya bergetar, samar tetapi aku melihatnya. Senyum lebar masih terpatri di wajahku, bayangan tentang betapa menyenangkan melihat wajah Lucas yang ketakutan semakin membuatku bersemangat. Aku harus selalu membawa ponselku, untuk berjaga-jaga barangkali bisa mendapatkan momen yang pas untuk memotret wajah menggelikannya nanti.

"Baiklah, kita bermain di level hard."

Lucas menoleh seketika, alis tebalnya telah menyatu. Kemudian aku balik menatapnya dengan menaik-turunkan alis 'Kenapa?'.

"...Iya. Kita main di level hard."

Aku mengangguk, tidak lagi berupaya untuk menggodanya. Aku berteriak girang dalam hati. Untuk kesekian kalinya aku berhasil mengalahkan Lucas. Tetapi kali ini bukan karena dia berusaha mengalah, ini murni pencapaianku.

Langit biru mulai menguning, menggantung di atas, menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Beberapa bangunan —yang jaraknya lumayan berjauhan satu sama lain— berlalu ke belakang.

Keheningan berada di tengah-tengah kami. Lucas masih fokus menyetir, sedangkan aku fokus menahan kantuk. Mungkin karena pemandangan di luar cukup membosankan —karena aku telah melihatnya beratus-ratus kali, tak ada perubahan yang signifikan— atau karena suara mobil yang lembut menjadikannya terdengar seperti derau putih yang akan memudahkan rasa kantuk datang. Derau putih biasanya diperdengarkan untuk seseorang yang tengah mengalami insomnia untuk dapat mencapai rasa kantuk. Dan aku bukanlah seorang insomnia, hanya pemuda yang memiliki hobi berdiam diri tanpa melakukan aktifitas berlebih.

"Mengantuk?" Suara bass-bariton membuatku tersentak, terbangun tiba-tiba saat kesadaran mulai menghilang. Hampir menyentuh alam mimpi dan Lucas sukses menarikku kembali pada kenyataan. "Ah, maaf membuatmu terbangun." Nada penyesalan terselip dalam kalimatnya.

"Hm..." Aku mengerjap beberapa kali, lalu meregangkan tubuh. Gerakan yang dapat mengendurkan otot-otot kaku karena terlalu lama duduk tanpa bergerak. "Apa sudah sampai?"

Deru mobil masih terdengar, pohon-pohon di sisi jalan masih bergerak dengan cepat. Tentu saja belum sampai.

"Belum, tapi sebentar lagi sampai."

Aku mengangguk kemudian menguap lebar. Pertanda jika otak membutuhkan asupan oksigen lebih banyak, perlu istirahat cukup. Mataku yang memang sudah berat kembali terpejam.

Lucas langsung mendapatkan SIM saat pertama kali melakukan tes mengemudi. Dia memang sudah handal mengendarai kendaraan roda empat bahkan sebelum usianya legal. Bukan hanya mobil biasa sebenarnya, kendaraan apapun bisa dia tunggangi tanpa ada riwayat kecelakaan. Meskipun dalam keadaan mabuk, meskipun dia sedang emosi, dia tetap mampu mengendalikan kemudi tanpa terpengaruh.

Contoh lelaki sejati.

Aku mengingat bagaimana dia begitu populer di kalangan para gadis. Entah itu adik kelas, teman sebaya, atau kakak kelas. Semuanya selalu bersikap berbeda di depan Lucas. Mencuri-curi pandang, melirik dengan genit, mengangkat rok mereka. Apapun yang bisa menarik perhatian temanku ini.

"Lucas?"

"Ya?"

"Kenapa kau tak pernah berpacaran?" tanyaku dengan mata terpejam.

Ini sebenarnya bukan pertanyaan tiba-tiba, sejenis kuis dadakan berhadiah. Rasa penasaran ini telah ku rasakan jauh sebelum saat ini. Tetapi entah kenapa tak pernah terlontar dari mulutku sendiri. Ada perasaan tidak pantas, masalah privasi tak seharusnya aku ikut campur.

Barangkali ini karena kesadaranku sudah mencapai batas, hampir tenggelam dalam rasa kantuk kian pekat. Terkadang, seseorang akan berujar apapun secara acak saat mereka sedang berada di perbatasan antara fokus dan hilang kesadaran. Seperti yang sering dijumpai pada orang-orang yang mabuk, mereka biasanya mengoceh apapun. Hal-hal sepele yang tiba-tiba terlintas maupun di alam bawah sadar mereka.

Tidak ada jawaban, dan ku pikir suaraku tak cukup keras untuk sampai di telinga Lucas.

"Aku tidak ingin pacaran dulu." Bass-baritonnya kembali menarikku ke permukaan. Tetapi mataku masih terlalu berat untuk terbuka.

"Kenapa? Banyak gadis yang mengejarmu kan?"

"Aku... menyukai seseorang."

Dan itu cukup sukses membuatku terjaga sempurna, seolah-olah rasa kantuk tak pernah hadir, seolah-olah aku tak pernah ketiduran.

"Siapa? Kenapa kau baru bilang sekarang?"

"Hey.. Hey.. Tenang Bung.."

"Bagaimana aku bisa tenang, siapapun pasti akan bereaksi sama denganku." Suaraku menggema dalam ruang terbatas Honda Civic. "Katakan siapa?"

"Aku tak bisa mengatakannya."

"Aku bisa membantumu." Aku berusaha meyakinkan bahwa siapapun yang dia pilih, aku pasti akan selalu ada dipihaknya. Tetapi tak ada jawaban, hanya respon berupa helaan nafas. Seolah dia tak mempercayaiku, seolah itu bukanlah hal yang patut diceritakan padaku.

"Aku tahu ini tak akan berhasil."

"Ayolah, Kau tahu kalau ini akan sangat mudah~"

Lucas menoleh ke arahku, seringai tipis terbentuk. "Ku rasa tidak begitu."

"Kau tak percaya padaku? Hanya segini saja pertemanan kita?"

Inilah taktik yang biasa ku gunakan untuk membujuk Lucas. Bersikap seolah-olah tersakiti, teraniaya, untuk membentuk rasa simpati yang nantinya membuat pemuda itu menyerah dan mengatakan apa yang ingin ku dengar. Terkesan kekanakan, tetapi ini memang berhasil. Tidak sering, namun sangat jarang gagal.

"Aku tak mungkin meminta bantuan dari jomblo sepertimu." Lucas memberikan fakta dengan seringai semakin lebar di wajahnya. Dia menang, tanpa sikap berlebihan, tanpa otot keluar dari lehernya. Untuk pertama kali dia menang dalam perdebatan konyol ini, yang sialnya dilakukan dengan sangat tenang. Seolah segala percakapan tadi telah tersusun begitu sempurna untuk menjatuhkanku.

"Keparat."

Dan aku mendapati diriku bersandar pada kursi dengan pandangan mengarah pada jejeran padang ilalang yang gersang di luar sana. Lucas pasti sedang menertawakanku di balik kemudi. Menggigit bibir dengan alis saling bertaut, ekspresi saat dia sedang menahan tawa, yang mana membuat tampangnya semakin mengesalkan.

Derau putih juga sama mengesalkannya.

Dia bersuara, tetapi tidak bising dan stabil. Membuat aliran darahku yang semula bergerak cepat menjadi tenang dan terkontrol, denyut jantungku memelan seiring pernafasanku menjadi lambat dan teratur. Kata Lucas sebentar lagi kami sampai, tetapi bahkan setelah perdebatan konyol telah usai, saat derau putih kembali memenuhi seisi ruangan, Honda Civicnya belum berhenti. Masih melaju dengan kecepatan sama seperti sebelumnya. Lucas terlalu patuh terhadap peraturan, tak mengebut meskipun jalanan sedang kosong. Meski dia sangat bisa melakukannya.

'Bayangkan kalau tiba-tiba ada berang-berang lewat? Atau rusa yang tidak sengaja melewati batas tempat mencari makan mereka, dan mendapati sebuah mobil berkecepatan tinggi melesat?'

Kejadian semacam itu bahkan sangat jarang terjadi. Ini bukan hutan, tidak ada hewan liar seperti yang waktu itu Lucas terangkan berseliweran. Segalanya tampak berlebihan dan konyol bagi pemuda yang sudah bisa mengendarai kendaraan meski belum mendapatkan SIM. Lucas terlalu berhati-hati, dan sialnya dia mendapatkan SIM karena kehati-hatiannya itu.

Kesadaranku —untuk kesekian kalinya— perlahan memudar. Derau putih lambat laun terdengar lirih di telingaku. Efek Vignette mulai terlihat memenuhi pandangan, membuatnya siisi-sisinya menjadi hitam dan semakin tebal.

"Tidurlah.. Akan ku bangunkan saat sampai."

Bass-bariton adalah yang terakhir ku ingat.

Beserta tangan besar yang berada di puncak kepalaku. Bergerak secara konstan. Mengelus sampai kesadaranku benar-benar lenyap.

avataravatar
Next chapter