Rayil, 27 Slevatyan.
Deruh air hujan mengguyur seluruh kota, langit berawan kelabu dan angin yang bertiup kencang menerpa segala yang ada di kota ini.
Padahal, tadi pagi, sebelum berangkat ke sekolah, ramalan cuaca di berita acara, mengatakan bahwa siang ini akan terik berawan. Tetapi sepertinya, peramal cuaca itu jauh meleset antara ramalan dengan cuaca yang siang ini.
Aku menatap keluar jendela, yang basah terkena air hujan itu, begitu derasnya hingga aku tidak bisa mendengar suara orang yang ada di sekitar aku.
"Aduuhh...!!" Sesuatu yang keras, melayang ke arah kepalaku dan mengenainya. Sembari mengusap keningku, aku melihat sebuah spidol papan tulis, ada di atas mejaku.
Seketika aku tersadar, bahwa spidol itu bisa ada sebab ada yang melemparnya, yang mana tidak lain dan tidak bukan, yaitu guru yang sedang mengajar di depan kelas.
Guru itu berkata, "jangan kerjaannya melamun saja! Cepat ambil dan kerjakan soal yang ada di papan tulis itu!"
Aku melirik ke samping guru itu, di papan tulis, terdapat tiga buah persoalan matematika, ya sebab guru tersebut mengajar matematika. Dua buah persoalan sudah dikerjakan oleh salah dua dari temanku, yang aku tidak tahu siapa yang disuruh maju untuk mengerjakannya, sebab sedari tadi sejak mulai pelajaran berlangsung, hujan itu sudah turun dan aku teralihkan untuk menatap keluar jendela.
Dengan nada yang sedikit ditekan, guru itu berkata sekali lagi, "Kamu dengar tidak ucapan saya? Cepat ambil spidol itu lalu kerjakan persoalan yang terakhir itu!"
Guru ini, terkenal dengan ketegasannya, bahkan Guru pria ini sangatlah tegas juga terhadap para siswi, dia tidak membedakan antara siswa dan siswi, semuanya dipandangnya sama. Ketika salah, ya dinyatakan salah. Ketika benar, ya dinyatakan benar.
Aku pun mengambil spidol tersebut dan beranjak dari kursiku. Karena aku bisa melihat keluar, ketika hujan itu, artinya aku duduk disampingnya, ya jendela ada di sebelah kiriku.
Aku tidaklah duduk dibarisan paling belakang, sebab ada dua orang lainnya yang duduk dibelakang aku, keduanya laki-laki.
Ketika aku bangun dan berjalan dari tempat duduk, semua mata melihat ke arahku, entah apa yang mereka pikirkan tetapi, aku merasa sangat diawasi oleh mereka.
Lalu, guru itu berkata kepada semua murid yang ada dikelas IPA-Dua-C, kelasku. Katanya, "bagaimana mungkin kalian bisa menghargai orang lain jika kalian sendiri tidak menghargai orang lain itu."
"Pelajaran untuk kalian, jika kalian ingin dihargai, lebih dululah menghargai orang lain. Janganlah kalian menjadi seorang yang selalu ingin dilayani."
Ya aku tahu apa maksud perkataan guru tersebut, sebab dia sedang menyindir diriku. Ketika dia sedang memberikan pengajaran di depan kelas, aku tidak mendengarkannya. Tubuhku memang di dalam kelas ini, tetapi pikiranku melayang-layang bebas diluar kelas, memikirkan sesuatu yang lainnya, meskipun hanya hujan disiang hari ini yang aku pikirkan.
"Sial...!" Kataku dalam hati. "Soal apaan ini? bukankah ini terlalu sulit? Mencari hasil dari fungsi limit trigonometri?"
Mataku sedikit melotot dan tercengang, mulutku tidak bisa dirapatkan karena aku tidak mengerti persoalan ini.
Aku bukanlah sosok yang pandai dalam bidang matematika, fisika ataupun ilmu eksakta lainnya, tetapi entah mengapa aku bisa bertahan dikelas IPA sampai kelas dua ini.
Kelas menjadi hening, meskipun diluar suara deruh hujan dan suara guntur saling bersautan. Tanganku menjadi gemetar tidak karuan, tidak ada satu angka pun yang bisa aku tuliskan di papan tulis, karena aku sangat tidak mengerti persoalan ini. Mungkin kalau ini semacam persoalan sejarah, mungkin aku bisa kerjakan.
Guru itu kemudian meletakkan kacamata yang selama ini dia gunakan, setelah itu menghela nafas panjang.
Katanya, "bukankah ini soal yang sama seperti yang di buku?"
Setelah diucapkannya, beberapa murid, aku dengar tanpa aku berbalik untuk melihat, mulai membuka buku-buku matematika.
Lanjut perkataan guru itu, "persoalan yang sama, yang sudah tiga kali kita bahas. Hanya saja, angkanya yang berbeda, tetapi cara penyelesaiannya selalu sama. Tetapi ini untuk kesekian kalinya diulang, masih saja ada yang tidak mengerti." guru itu melirik ke arahku. Aku hanya bisa nyengir.
Lalu dia mengulurkan tangannya dan berkata, "kembalikan spidol tersebut, lalu kamu boleh mengambil kursi untuk duduk di luar kelas."
Sontak aku sangat kaget ketika dia berkata demikian, yang berarti guru itu telah memutuskan untuk mengusir aku dari kelas selama jam pelajarannya.
"Ma-Maksudnya, pak? Maaf, saya tidak paham?" Tanyaku secara pelan-pelan dengan penuh kesabaran.
"Kau masih bertanya? Apakah perkataan saya kurang jelas? Sekarang kamu kan tidak bisa mengerjakan persoalan terakhir itu, yang seharusnya bisa dikerjakan, karena kita sudah tiga kali dijelaskan oleh saya dan juga teman-temanmu. Tetapi kamu masih tidak bisa mengerjakan hal itu, sekarang kamu boleh kembali ke tempat dudukmu, hanya saja kamu hanya boleh duduk di luar kelas. Apa kamu sudah paham?"
Ya tentu, tanpa diperjelas lagi, aku sudah paham setiap ucapan guru itu. Dia itu tegas, bukan seorang yang pemarah. Mungkin tadi, dia melempar aku dengan spidol, menunjukkan kalau dia itu marah dan menegur aku. Mungkin juga, sebenarnya, dia melempar spidol bukan mengarah ke keningku, tetapi itu tidak disengaja mengenainya.
Lalu aku menaruh spidol tersebut pada meja guru itu dan segera keluar dari kelas, tanpa mengambil kursi.
Ketika aku membuka pintu kelas, guru itu kembali menegur aku.
Katanya, "mau kemana kamu? angkat dulu kursimu, barulah kamu boleh keluar!"
Tetapi, jawabku, "bukankah saya sudah dikeluarkan selama jam pelajaran ini? Untuk apa saya mengambil kursi jika harus duduk diluar kelas? Bukankah pula saya tidak dapat mendengar apapun yang ada di dalam kelas?"
Guru itu kembali menjawab, "memangnya selama ini kamu mendengar saya?"
Dalam posisi ini, memang aku yang salah. Sudah seharusnya seorang murid mendengar guru yang sedang menjelaskan, guru yang mengajar, tetapi aku mengabaikannya.
Aku yang selama ini tidak berfokus pada pelajaran, entah apa yang membuatku lebih tertarik melihat hujan dibandingkan penjelasan guru itu.
Aku pun membuka pintu, lalu keluar dan menutupnya kembali. Kemudian menghela nafas panjang.
"Haaa.... Kalau sudah begini, urusannya sudah menjadi rumit deh. Pasti nanti aku akan dipanggil kepala sekolah, terus kepala sekolah dan wali kelas akan memanggil kakak untuk datang ke sekolah hanya untuk menyelesaikan permasalahan ini."
"Lagi dan lagi... Aku memang bodoh! Bodoh banget! Apalah bagusnya hujan sih, sampai aku lebih tertarik melihat hujan dan awan mendung?"
Aku bersekolah di sekolah swasta, namun termasuk sekolah yang biasa. Ukurannya tidak besar dan juga hanya memiliki dua lapangan. Tidak semua fasilitas sekolah yang ada, tersedia untuk menunjang sistem pendidikan para murid, sebab sekolah ini tidak terlalu terkenal juga.
Sekolah ini memiliki delapan belas kelas, yang terbagi atas tiga angkatan dan dua jurusan, IPA dan IPS. Masing-masing angkatan dan masing-masing jurusan memiliki tiga kelas, yaitu A, B dan C yang setiap kelasnya berisi dua puluh delapan murid, tetapi tidak menentu perbandingan jumlah antara siswa dan siswi.
Seperti misalnya, aku, angkatan kedua makanya disebut kelas dua. Kelas ketiga makanya disebut kelas C dan jurusan IPA. Biasanya penyebutan dimulai dari jurusan, tingkatan dan kelas, jadinya IPA-Dua-C. Ya, aku termasuk murid di kelas itu.
Di kelasku itu, dari dua puluh delapan murid, ada lima belas siswa dan tiga belas siswi, yang berarti lebih dominan laki-lakinya, namun tidak akan sama dengan kelas yang lain, yang mungkin justru jumlah siswi yang lebih dominan.
Di koridor yang sepi itu, sebab jam istirahat kedua sudah berlalu dan pula masih waktunya pembelajaran, koridor itu menjadi sepi. Aku pun menuruni tangga ke lantai dasar dari lantai tiga.
Kataku dalam hati, "gawat! Kalau aku ketahuan guru lain maupun anggota OSIS, pasti akan menjadi masalah lagi nih?!"
Aku mengendap-endap menuruni tangga itu perlahan, memastikan tidak ada orang lain yang akan bertemu denganku ketika aku menuruni tangga tersebut.
"Hampir berhasil...!" Aku berhasil menuruni hingga lantai dua, sebab pada lantai itu, tidak ada sama sekali orang yang lewat. Berbeda dengan lantai dasar, yang dimana ruang guru berada, pastinya ada satu atau dua guru yang ada diruang itu yang mungkin memergoki aku yang sedang berusaha menyelinap ke kantin.
Dengan perlahan aku turun dan berhasil melewati ruang guru tersebut, yang ruangannya tidak jauh dari tangga. Aku langsung berlari menuju kantin.
"Si-sial..!" Suara petir menyambar di langit, hujan tak kunjung mereda.
Semua mata menatap ke arahku, sekiranya ada tujuh sampai delapan orang yang sedang duduk bersama, makan di kantin, melihat ke arahku.
Aku pun segera membalikkan badan bergegas untuk kembali ke kelas.
"Tunggu...!" Suara itu menghentikan langkah kakiku. Aku pun langsung menelan ludah.
Ku lihat, dibagian dada kirinya, terdapat sebuah lencana yang terbuat dari kuningan, yang terdapat tulisan 'KETUA' pada bagian lencana tersebut. Memang lencana tersebut, memiliki ukuran yang tidak besar, tetapi pengaruhnya itu yang membuat seluruh sekolah gemetar.
Aku hanya bisa kembali dan tersenyum padanya.
"Ma-maaf, ketua. Aku hanya lapar."
Yang sedang aku hadapi bukanlah murid sembarangan, bukanlah siswa sembarang, dengan potongan rambut belah samping, tidak ada yang tidak mengenalnya.
Kataku lagi, "aku akan segera kembali ke kelas."
Jawab ketua OSIS tersebut, "tadi kamu bilang, kalau dirimu sedang lapar, silahkan saja kamu beli beberapa makanan, mumpung kamu ada di kantin."
Aku hanya bisa tersenyum, seketika hilang sudah perasaanku untuk menyelinap dan makan di kantin, lebih baik rasanya sekarang aku kembali ke kelas dan mengambil kursi, lalu menaruhnya di luar sehingga aku dapat duduk diluar kelas jika dibandingkan harus berhadapan dengan ketua OSIS dan ketujuh anggota OSIS lainnya yang sedang makan siang di kantin.
Ya, begitulah keuntungan menjadi anggota OSIS, mereka sedikit diberikan keleluasaan tetapi ya tetap saja tanggung jawab mereka besar juga.
Lalu ketua OSIS itu berkata, "belilah makanan dan makanlah bersama-sama dengan kami."
"Berikan baginya tempat duduk, supaya dia bisa makan bersama kita." Ucapnya kepada rekannya itu.
Setelah membeli nasi dan lauknya, aku pun duduk disebelah seorang anggota OSIS perempuan, yang memakai dasi berwarna merah, yang mengartikan bahwa dia merupakan murid angkatan ketiga atau angkatan terakhir.
Ada yang belum aku beritahu, bahwa setiap angkatan memakai atribut dasi yang berbeda warna. Untuk angkatan pertama atau kelas satu, mereka diperkenankan untuk memakai dasi berwarna putih. Meskipun merepotkan karena cepat kotor, tetapi mereka tetap harus memakainya ketika hari yang mewajibkan memakai dasi, seperti hari Lepip dan Rayil.
Sedangkan untuk angkatan kedua atau kelas dua, yang sederajat denganku, mereka diperkenankan memakai dasi berwarna biru, seperti yang aku gunakan sekarang.
Dan untuk angkatan ketiga atau kelas tiga, angkatan terakhir yang lebih tua dariku, mereka diperkenankan memakai dasi berwarna merah seperti seorang siswi, anggota OSIS yang duduk disebelah kiriku ini.
Dan yang terpenting, bentuk dasi yang digunakan siswa dan siswi berbeda. Dasi yang digunakan siswa seperti dasi panjang pada umumnya sedangkan dasi yang digunakan siswi berbentuk seperti dasi pita kupu-kupu besar. Jadi perempuan memang lebih merepotkan.
Aku bisa melihat nama dari kakak kelas disebelahku ini, bernama Vanessa. Terlihat dari tulisan yang ada pada seragam yang dia gunakan, yang nama tersebut terbuat dari jahitan benang warna hitam yang membentuk huruf.
Meskipun dia lebih tua dariku satu tahun, namun aku enggan memangilnya dengan sebutan kakak.
Vanessa berkata kepada Ketua, yang duduk dihadapan aku. Katanya, "Dia kabur jam pelajaran dan menyelinap ke kantin loh, kenapa kamu malah membiarkannya makan?"
Jawab Ketua, "kita juga sedang makan, jadi ya sudahlah. Setelah dia makan, barulah kita tanya alasannya dia kabur dari kelas."
Memang hari ini, merupakan hari yang sial! Saat pagi hari, aku sudah mendapatkan kesialan lalu ditipu oleh berita acara ramalan cuaca, yang mengatakan siang ini akan terik, justru hujan lebat seperti ini. Karena aku percaya akan berita itu, aku tidak membawa payung pula, itu baru kesialan pertama.
Lalu kesialan kedua, hari ini aku mendapat masalah dengan guru matematika itu, bahkan aku sampai diusir keluar kelas karena aku melamun di kelas juga tidak bisa mengerjakan soal di papan tulis.
Dan yang sekarang, kesialan ketiga, aku kira aku berhasil menyelinap ke kantin tanpa ketahuan siapapun, namun justru delapan anggota OSIS lengkap dengan ketuanya sedang ada di kantin.
Meskipun mereka membiarkan aku makan bersama satu meja dengan mereka tetapi selesai makan, Ketua dan Vanessa dan dua anggota lainnya tidak mengizinkan aku kembali ke kelas sebelum mengintrogasi aku dahulu.
Entah kesialan apalagi, sebab ketika memulai hari dengan kesialan, maka akan diakhiri dengan kesialan pula, sampai berganti hari lagi.
Sekarang ini, aku sedang dihadapkan dengan Vanessa dan ketua OSIS serta dua anggota lainnya yang masih angkatan pertama, terlihat dari dasi yang mereka gunakan dan juga mereka semua laki-laki kecuali Vanessa.
Vanessa berkata, "tidak mungkin seorang murid bisa ke kantin tanpa dua kondisi yang terjadi di kelasnya. Pertama tidak ada guru, sehingga kamu bisa ke kantin dan yang kedua, kamu diusir oleh guru itu keluar kelas."
"Dari kedua hal ini, kamu bagian yang mana?" Vanessa mengulurkan dua jari, telunjuk dan jari tengahnya pada tangan kanan yang diarahkan ke wajahku.
Aku pun menyentuh sedikit jari tengahnya dengan telunjukku, sembari tersenyum-senyum malu, aku menjawab, "yang kedua."
Lalu Ketua berkata, "siapa guru yang sedang mengajar? jelaskan pada kami juga alasanmu bisa sampai diusir keluar dari kelas."
Aku pun menjelaskan secara kronologis, ketika guru itu mulai masuk dan sampai akhirnya aku disuruh keluar oleh guru itu, tidak ada satu bagian pun yang tidak aku ceritakan menurut sudut pandangku sendiri.
Ketika aku sedang bercerita, menjelaskan semua itu kepada ketua, dua anggota lainnya, pun pergi dari situ, menyisahkan kami bertiga saja.
Selagi aku menjelaskan semua itu kepada ketua, Vanessa pun sedang membeli minuman untuk dirinya.
"Jadi begitulah, Ketua. Tidak ada yang ku sembunyikan."
Jawab Ketua, "yah kalau itu memang salahmu. Disaat guru sedang mengajarkan, gunakan telingamu untuk mendengarkan penjelasannya dan gunakan kedua matamu untuk melihat apa yang dia jelaskan juga."
"Berhubung kamu berurusan dengan dia, ya pastinya dia akan melaporkan kejadian ini kepada wali kelasmu dan tentu orang tuamu akan dipanggil ke sekolah. Berharap saja kalau dia tidak melaporkannya kepada kepala sekolah, agar tidak menjadi panjang permasalahanmu."
"Kami pun dari OSIS juga enggan menambah bebanmu itu dengan memberikan hukuman kepadamu karena telah ke kantin saat jam pelajaran berlangsung. Tapi setidaknya, untuk kali ini saja kami membiarkanmu seperti ini, lain waktunya tidak."
Timpal Vanessa, "yah benar itu! Sebaiknya pula kamu menulis surat permohonan maaf untuk guru itu, Aku pernah juga berurusan dengannya dan itu merepotkan, makanya aku tidak mau berurusan lagi dengannya."
Kemudian Vanessa melemparkan aku sebuah permen, katanya, "untukmu. Rasa manis dapat membuatmu merasa lebih baik."
"Setelah ini, kau kembalilah ke kelas, mungkin jam pelajaran terakhir sebentar lagi berbunyi."
Setelah berkata demikian, mereka berdua pun pergi ke ruangan OSIS, sementara aku juga kembali ke depan kelas.
Setelah jam pelajaran berbunyi dan memasuki jam pelajaran lainnya, guru itu keluar dan hanya melihatku tanpa berkata-kata, dia hanya menatapku lalu pergi begitu saja. Ketika guru itu keluar, aku pun kembali masuk ke kelas. Hujannya mulai mereda.
Seorang temanku, yang duduk disebelah kananku, yang namanya Rio, langsung menghampiri aku dan langsung merangkul aku.
Katanya, "kau gila? mencari masalah dengan guru itu?"
"Kan sudah aku panggil-panggil dirimu, tapi kamu terus saja melihat keluar. Apalah yang menarik dari sebuah hujan sih?"
Aku pun melepaskan rangkulannya dan duduk di kursiku.
Jawabku, "Memangnya kamu memanggil aku? Kalau begitu, aku tidak mendengarnya."
"Ya ampun."
Kemudian guru lainnya datang dan ini menjadi pelajaran terakhir pada hari Rayil ini.
Sekarang pukul setengah tiga sore, jam pulang sekolah sudah berbunyi dengan lantang, banyak orang yang sudah keluar meninggalkan kelas tetapi awan mendung itu dan hujannya belum juga meninggalkan langit. Sudah hampir enam jam lamanya hujan tidak berhenti, kadang deras dan reda tetapi terus bersambung.
Tanyaku, "Rio, kamu bawa payung?"
"Tidak, aku tidak bawa. Aku juga tidak akan menduga kalau hari ini akan hujan sederas dan selama ini, padahal sekarang sudah mulai memasuki musim panas dan juga sebentar lagi kan kita juga liburan musim panas." Ucapnya.
"Lalu?"
"Lalu apa?" Rio kebingungan. "Yah... sambil menunggu hujan, aku beberapa ronde dulu dengan yang lain."
Dia berkata demikian sembari melompat dan mengayunkan tangannya seakan sedang melempar bola basket. Ya memang Rio tergabung dalam klub basket di sekolah ini dan dia terbilang mahir.
Seperti yang aku bilang, bahwa ada dua lapangan disekolah ini. Lapangan yang berada diluar ruangan, merupakan lapangan sepak bola sedangkan lapangan yang berada di dalam ruangan adalah lapangan basket.
Rio menepuk pundakku, "ayo!"
Aku pun ikut dengannya menuju gedung lainnya yang diluar gedung sekolah, yang saling terhubung, yang merupakan gedung serbaguna yang terdapat aula dan juga dijadikan lapangan basket. Ya karena sekolah ini keterbatasan lahan, jadi pihak sekolah memanfaatkan satu tempat untuk banyak hal.
Aku dan Rio pun ikut bermain basket, tiga melawan tiga, aku satu tim dengan Rio dengan seorang lainnya dari klub basket melawan tiga orang lainnya yang juga merupakan klub basket. Hanya aku seorang yang bukan dari klub basket itu, aku dari klub biologi.
Setelah setengah jam bermain dan tim aku berhasil memenangkan pertandingan tersebut, aku pun putusan untuk berhenti dahulu untuk istirahat sekaligus melihat keluar, apakah masih hujan atau tidak.
Aku pun digantikan dengan seorang yang lainnya.
Ketika ku lihat hujan sudah mulai berhenti, bahkan cahaya matahari sudah menembus pertahanan awan kelabu itu sehingga banyak tempat yang mulai disinari, aku pun kembali dan menyampaikan hal tersebut kepada Rio.
Katanya, "kalau kamu mau pulang, pulang saja duluan, aku masih mau lanjut main sama yang lain."
"Lagipula belum jam lima, sekolah belum tutup." Setelah itu Rio kembali melanjutkan permainannya.
Aku pun bergegas mengambil tas lalu kembali ke gedung sekolah. Karena aku tergabung dengan klub biologi, yang merupakan hasil dari klub yang aku pilih secara asal-asalan, aku pun menyempatkan diriku untuk ke ruang klub, yakni laboratorium biologi yang ada dilantai dasar.
"Kosong... tidak ada orang..."
"Lampunya pun sudah mati." Itulah yang pertama kali aku lihat ketika mengintip dari jendelanya.
Aku yang hanya menumpang nama pada klub tersebut tetapi tetap dianggap sebagai anggota klub, makanya aku dimasukkan oleh ketua klub pada grup biologi pada sosial mediaku. Setelah aku baca seluruh isi pesan yang ada di grup tersebut lewat ponsel, akhirnya aku baru tahu bahwa sejak hari Lepip kemarin, klub biologi diliburkan sampai masuk kembali setelah liburan musim panas.
Setelah itu aku pun berlari meninggalkan ruangan klub dan menuju pintu keluar. Di sekolah ini, ada peraturan mengenai penggunaan sepatu.
Ketika murid maupun guru berada di dalam gedung sekolah, haruslah mereka menggunakan sepatu yang telah disediakan oleh sekolah. Masih tidak diketahui tujuannya diberlakukan peraturan seperti itu, tetapi selama ini tidak ada pula yang mempertanyakan hal itu.
Seusai mengganti sepatu dan memakai sepatu punyaku sendiri, aku menaruh sepatu sekolah yang biasa aku gunakan pada lemari. Setiap murid, disetiap kelas maupun setiap angkatan, mempunya lemari kecil pribadinya sendiri. Yang tersusun berdasarkan urutan nama pada kelas masing-masing, terdapat tujuh kolom dan empat baris, punyaku terdapat pada urutan kolom kelima dan baris kedua, sesuai dengan huruf awalan namaku.
Ketika aku keluar dari gedung sekolah itu keluar, angin yang berhembus masihlah sangat kencang dan juga awan gelap tersebut masihlah ada di langit, seakan pertanda bahwa hujan akan kembali turun.
Dari gerbang sekolah, aku berlari ke arah kanan, sebab arah rumahku disitu. Rumahku tidak terlalu jauh, tetapi lumayan lama jika berjalan kaki, sekitar lima belas sampai dua puluh menit.
Ketika aku berlari, mulailah tetesan air jatuh dari langit, jatuh mengenai aku.
Tanpa aba-aba lagi, tidak ada gerimis kembali, bahwa hujan deras langsung mengguyur lagi di atas kota ini.
Meskipun sudah ku tutupi kepalaku dengan tas ransel, namun tetap saja seluruh tubuhku kuyup, basah semuanya dari atas sampai bawah.
Tidak ada tempat berteduh saat itu, karena itu aku terus berlari dibawah guyuran hujan yang deras itu.
"Hari ini... aku benar-benar mendapatkan kesialan! Sungguh sial sekali hari ini!"
Kesialan keempat, kehujanan.
Di sebelah kiriku, ketika aku berlari, aku melihat sebuah tempat kecil untuk berteduh, setidaknya mampu menahan guyuran hujan yang deras itu. Sebuah bangunan dengan atap yang sedikit condong ke depan sehingga aku bisa berteduh dibawahnya, sebab sepanjang jalan itu, tidak ada sesuatu apapun yang bisa dijadikan tempat berteduh selain bangunan ini.
"Astaga!!! Sial banget Sial! Basah semua dah ini isi tasnya! Seragam juga kuyup gini! Padahal tadi sudah berhenti hujannya, malah hujan lagi!!" Aku ungkapkan rasa kekesalan yang terjadi hari ini.
Ketika aku sedang menggerutu, aku mendengar suara perempuan yang bersin, yang padahal aku tidak menyadarinya kehadirannya itu. Dia berdiri disebelah kiri belakangku, tanpa aku sadari. Dia memakai dasi yang berwarna sama denganku, tetapi aku tidak mengenalnya.
Seorang perempuan, berdiri di belakangku, rambutnya hitam panjang sepinggang, tinggi badannya juga hampir setinggi denganku.
Seragam yang dia kenakan, juga basah kuyup terkena guyuran air hujan yang tiba-tiba turun dengan deras. Padahal, seingat aku, ketika aku berlari tadi, tidak juga aku lihat dia berada di depanku. Tetapi dia sekarang ada di belakangku ini.
Perempuan itu terus menutupi dirinya dengan kedua tangannya yang saling disilangkan di depan dadanya. Bukan karena seragamnya yang menjadi tipis dan memperlihatkan pakaiannya, melainkan karena dia kedinginan. Sudah berkali-kali dia bersin-bersin dan hidungnya tampak kemerahan, sesekali juga aku dengar ketika dia menarik nafas dengan hidungnya, seakan tersumbat hidungnya itu.
Aku pun mengalihkan pandanganku daripadanya, jika lebih lama lagi aku menatapnya yang seperti itu, pastilah aku akan disetarakan dengan manusia mesum, padahal aku tidak terlalu tertarik dengan hal yang seperti itu, hanya sedikit.
Meskipun ya, aku sedikit tergoda untuk melihatnya terus, tetapi justru aku merasa itu tidak pantas bahkan untuk keadaan yang seperti ini.
Kami berdua terus berdiri, berteduh ditempat itu hingga hujan berhenti, namun sudah setengah jam lamanya kami menunggu, hujannya pun tak kunjung mereda, mungkin anginnya tambah kencang.
Angin itu menerbangkan rok dari perempuan yang ada dibelakangku, hingga mengharuskan dia untuk duduk bertinggung atau istilah lainnya jongkok. Dengan begitu, perempuan itu bisa menutupi dirinya dan juga roknya yang terhempas oleh angin yang kencang itu.
Aku sadar akan hal itu, tetapi aku pura-pura tidak mengetahuinya, sebab aku tidak mau disamakan dengan seorang yang mesum. Aku cukup diam dan melupakan kejadian tersebut.
Perlahan, hidungku mulai tersumbat karena udara yang dingin itu, perlahan aku mulai merasakan kedinginan juga, tubuhku mulai gemetar karena rasa dingin.
"Astaga.... dingin banget!" Ucapku pada diriku sendiri. "Coba saja hujannya berhenti atau tidak sesuatu gitu yang menghangatkan! Seriusan, ini dingin sekali."
Aku melangkah mundur sehingga perempuan itu tidaklah berada di belakangku lagi, melainkan dia ada disebelah kiriku. Aku pun juga ikutan jongkok untuk menjaga tubuhku tetap hangat dan juga aku menggosok-gosok kedua telapak tanganku agar tetap merasa hangat, tetapi udara dingin itu yang terus bertiup, meruntuhkan kehangatan telapak tanganku.
"Neh...." Kata perempuan itu. Suaranya begitu lembut, bisa aku dengar dengan sangat jelas meskipun suara air hujan yang jatuh ke jalan maupun atas menimbulkan suara bising. Namun, suara lembut nan hangat perempuan itu bisa sampai ditelinga aku dengan utuh.
Aku langsung melirik ke arahnya, dia pun terduduk tetapi posisinya tidak berubah, dia menekuk kedua kakinya sehingga dadanya melekat pada pahanya itu.
Dia berkata, "kapan hujan ini akan berhenti?" setiap kali dia mengucap, sesudahnya dia akan bersin. Memang sedikit menjijikkan sebab aku melihat lendir dari hidungnya itu keluar, tetapi seketika perasaan jijiknya menghilang ketika aku melihat wajahnya yang terlihat kemerahan dan juga sebagian poni rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya itu.
Aku menelan ludah.
"A-aku tidak tahu." Aku tidak bisa memalingkan pandanganku daripadanya, meskipun dia tengah sibuk menarik lendir hidungnya masuk dengan menarik nafas, tidak ada lagi perasaan jijik.
Langsung aku membalikkan tasku ke depan dan membukanya. Aku cari barang yang selama ini ada didalam tasku, namun jarang aku gunakan, karena ya memang tidak berguna bagiku.
"Ini." Aku sodorkan tanganku yang memegang benda itu, yang hendak aku berikan kepadanya.
Sebuah saputangan berwarna cokelat, aku berikan kepadanya.
"Gunakan ini untuk menyeka hidungmu."
"Tidak baik jika kamu terus begitu, nanti kepalamu bisa sakit."
Perempuan itu tersenyum, tetapi tangannya mendorong tanganku. Katanya, "ti-tidak. Aku tidak mau merepotkan kamu."
"Memang sangat memalukan melihatku seperti ini, tetapi aku tidak mau mengotori saputangan punyamu."
Aku rasa dia itu perempuan yang cukup jujur apa adanya. Jarang sekali ada seorang perempuan yang mau memperlihatkan hal yang memalukan didepan orang lain, terutama kepada orang asing apalagi dia tidak mengenal orang itu dan juga orang asing itu merupakan lawan jenisnya. Pastilah tidak ada perempuan yang 'berani' seperti perempuan yang sedang memperlihatkan hal yang memalukan itu di depanku.
"Tidak apa-apa, gunakan saja." Ucapku padanya. Seakan-akan aku merasa menjadi seorang laki-laki yang gagah, tampan dan berani, yang padahal juga lendir hidungku mulai keluar dengan sendirinya.
Tetapi, aku lebih memilih untuk membiarkan dia yang menyeka hidungnya itu daripada hidungku.
Dengan cepat dia langsung mengambil saputangan itu dan langsung menyeka semua lendir yang ada di hidungnya, hingga seluruh lendirnya keluar membasahi saputangan itu.
Katanya, "akan aku cuci tujuh kali, jika tidak, aku akan membelikan yang baru."
Aku terdiam melihat tingkahnya, yang secara tiba-tiba dia mengambil saputangan itu dengan cepat dari tanganku.
Kemudian aku berkata kepadanya, "tidak perlu membeli baru, cukup kamu cuci saja itu sudah cukup."
"Kapan hujan ini berhenti??"
Karena aku dalam keadaan jongkok, kedua kakiku mulai merasa kesemutan dan ototnya mati rasa.
Mungkin ini akan menjadi kesialan yang berikutnya, namun baru kemungkinan.
Merasa sangat pegal pada kaki, aku pun berdiri dan mengistirahatkan kedua kakiku, sebab sudah cukup lama aku tekuk sehingga menjadi kesemutan.
Hanya beberapa hitungan detik ketika aku berdiri, perlahan deruh air hujan mulai mereda, begitupun juga angin yang bertiup mulai berkurang.
Perlahan namun pasti, hujan perlahan berhenti, tidak adalagi hujan dengan intensitas tinggi di kota.
Aku menatap ke langit, namun belum ada cahaya matahari di langit, semuanya masih tampak kelabu, bahkan sesekali petir menyambar.
Anehnya, dari banyak perempuan yang pernah ku temui, hanya perempuan ini saja, ketika petir menyambar dan kilat ada, dia tampak tidak bergeming, hanya duduk terdiam menatap genangan air yang ada dijalan, dihadapannya.
Walaupun masih gerimis, namun aku putuskan untuk melanjutkan perjalananku, sebab rumahku masih lumayan jauh dan aku khawatir jika hujan akan turun kembali.
Aku berkata kepada perempuan itu, "a-aku duluan, takut-takut hujan turun lagi."
Aku tidak mengenalinya, bahwa aku belum pernah melihatnya selama hampir dua tahun lamanya bersekolah. Ya mungkin juga karena aku tidak pandai bergaul dengan orang lain dan mungkin juga aku tidak pandai bergaul.
Entah siapa nama dia, tetapi yang jelas dia satu sekolah denganku, pastinya nanti aku akan bertemunya di sekolah lagi, begitulah pikirku.
Tidak ada hal lain yang bisa aku katakan padanya, hanya bisa memberikan sedikit senyuman saja. Kemudian aku berjalan lagi, meninggalkannya seorang diri, sempat ada pikiran tidak tega membiarkan dia sendirian dalam keadaan seperti itu, apalagi sudah mulai ada orang-orang yang berjalan kaki dengan payung.
Tapi tetap aku tinggalkan dia.
Selama aku berjalan menuju rumah, aku merasakan perasaan yang tidak enak, seakan aku sedang diikuti seseorang dari belakang.
Burung-burung mulai berkicau lagi, mereka berterbangan berpasangan melewati aku, bertengger di ranting pohon.
Ketika aku berjalan-jalan pun, semua orang yang lalu lalang melintas, melihat ke arahku.
"Ada apa sih? Kenapa mereka melihatku terus-terusan?" Beberapa dari mereka juga membicarakan aku.
Langit pun mulai menampakkan wajahnya yang sudah menjadi jingga, awan kelabu perlahan-lahan mulai menghilang dan aku juga sebentar lagi sudah sampai di rumah, hanya tinggal menyebrang lalu lintas setelah itu tidak jauh dari situ, aku tinggal.
Kini, lampu hijau menyala, semua kendaraan pun melintas, aku yang sebagai penggunaan pejalan kaki, haruslah menunggu hingga lampunya menjadi merah. Ada beberapa orang juga yang berdiri di sekitarku menunggu untuk menyebrang juga.
Seseorang menepuk pundak dan berkata, "nak, kalau kamu ada masalah dengan pacarmu, setidaknya jangan kamu abaikan dia. Tidak baik jika pacarmu, kamu perlakuan seperti itu di depan umum." Kata seorang pria bertopi, terlihat dia sudah cukup berumur.
Jawabku, "aku tidak punya masalah, lagipula aku pun tidak punya pacar."
Pria itu tersenyum, "jangan kamu berkata demikian, kasihan pacarmu itu."
"Sebaiknya kamu bawa pacarmu ketempat yang hangat, kalau tidak dia bisa sakit."
"Aku tidak punya pacar, kakek!" Jawabku dengan tegas. Ya, mau bagaimana lagi, memanglah aku tidak mempunyai pacar. Jangankan seorang pacar atau kekasih, teman perempuan saja tidak aku punya, padahal di kelasku banyak perempuan yang cantik, tetapi aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Kami pun dikelas hanya berbicara jika dalam satu kelompok belajar atau berbicara membahas pelajaran, selebihnya tidak.
Lampu merahnya pun menyala, setiap kendaraan pun berhenti dan kami sebagai pejalan kaki, diberikan waktu satu menit dan tiga puluh detik lamanya untuk menyebrang jalan. Itulah durasi penggunaan jalan disetiap penyebrangan lalu lintas, yang ada di kota ini.
Aku pun menyebrang, tetapi sama saja, ketika ku lewat, semua mata penggunaan kendaraan seakan melihat ke arahku, entah apa yang membuat mereka terus melihat ke arahku dan pula, perasaan akan sedang diikuti seseorang itu teruslah muncul.
"Biarlah." Aku pun menyebrang.
Setelah menyebrang, aku hanya perlu berjalan beberapa meter saja hingga bertemu sebuah pagoda yang diatasnya terdapat sebuah patung singa, di sebelah kiri.
Setelah berbelok dan melewati pagoda tersebut, tidak jauh dari situ, di bagian kanan, terdapat sebuah kos-kosan khusus wanita, ya disitulah aku tinggal dan itulah rumahku.
Kos-kosan dengan dua lantai dan terdapat delapan kamar, lima kamar yang berukuran kecil berada di lantai dua sedangkan tiga kamar yang berukuran besar ada dilantai dasar. Terdapat juga sebuah tangga disebelah kiri bangunan itu, untuk naik ke lantai atas. Sekeliling bangunan itu, terdapat tembok yang tingginya sampai dua setengah meter, sebab kos-kosannya khusus wanita jadi, ada banyak sistem pengamanan.
Tetapi aku tidaklah tinggal diatas, melainkan salah satu kamar yang besar, yang paling pinggir dekat dengan tangga tersebut.
Ngomong-ngomong, bangunan ini merupakan kepunyaan keluargaku. Ya, keluargaku menjalani usaha kos-kosan ini, yang sepenuhnya dijalankan oleh kakakku, sebab kedua orangtuaku sudah tidak ada. Aku tidak tahu kemana mereka, yang jelas, mereka masih hidup sampai sekarang, hanya saja, tidak pernah menghubungi aku.
"Ah iya juga! Aku kan tidak bawa kunci!" Aku pun menekan bel kamar nomor satu, kamar yang aku tinggali berdua dengan kakak, kamar yang besar di dekat tangga.
"Duuh... dingin.." Udara dingin masih saja berhembus, meski hujan sudah berhenti dan langit pun sudah cerah.
"Hachu..!!" Suara seseorang bersin di belakangku dan juga suara itu juga sempat aku dengar sebelumnya, tetapi aku lupa.
Aku pun menoleh ke belakang.
Melotot kedua mataku sebab apa yang aku lihat.
"Ka-ka-kau...!????" Bagaimana tidak kaget hingga aku terjatuh, sedangkan perempuan yang sebelumnya ada di belakangku lagi.
"APA YANG KAU LAKUKAN? KAU MENGIKUTI AKU??" Benakku.
Pintu pun terbuka dan kakak keluar, "Iya...? Ya ampun!? Mengapa kau ada dilantai gitu?"
Kakak melihat perempuan yang seragamnya kuyup dan hidungnya memerah, menjalar kedua pipinya.
"Pacarmu?"
Kataku, "pacar darimana!?"
"Astaga! Pantas saja semua orang melihatku dengan tatapan sinis dan menganggap seorang yang tidak baik!"
"Pantas saja tadi ada orang-orang....."
Kakak langsung menarik perempuan itu masuk ke kamar, yakni yang ku sebut dengan rumah.
"Kak...? Mengapa kau membiarkannya masuk? Dia penguntit...! Dia mengikuti aku sampai sini, padahal aku tidak mengenalnya!?" Ucapku.
"Ya ampun, kau tega melihat perempuan yang bajunya tipis begitu? Atau jangan-jangan kau menikmatinya, melihatnya terus?" Kakak tersenyum-senyum menggoda padaku.
Aku pun juga tidak tega dengannya, tetapi caranya dia dengan mengikuti aku, membuntuti aku secara terang-terangan sehingga orang lain salah paham denganku karenanya, membuatku sedikit kesal.
Aku tidak kenal perempuan itu tapi dengan mudahnya kakak membiarkan dia masuk.
Ya memang begitulah kakak, dia terlalu baik orangnya.
Aku pun masuk dan langsung membuka sepatuku. "Aku pulang."
Rumah ini, meski merupakan kamar yang besar di kos-kosan ini, hanya terdapat satu kamar tidur saja dan juga satu ruang keluarga.
Ketika masuk, akan langsung dihadapkan dengan peralatan masak atau dapur pada sisi kanan, terdapat tempat cuci piring, lalu kompor gas dan juga rak piring serta di paling belakang ada kulkas yang berukuran kecil.
Di sebelah kiri, yang berhadapan dengan kompor, terdapat sebuah pintu yang di dalamnya merupakan tempat cuci baju dan juga kamar mandi.
Sedangkan dari pintu utama, lurus ke depan, dihadapkan pada sebuah pintu lainnya yang berwarna hijau yang memisahkan antara ruangan depan yang berisi dapur dan kamar mandi dengan ruang keluarga.
Saat ini, kakak sedang bersama dengan perempuan itu di ruang mesin cuci, dekat kamar mandi. Aku mendengar kegaduhan mereka dari balik pintu yang tertutup dan terkunci itu, aku hanya mendengarkan dan melewatinya, sebab aku tidak mau tahu urusan mereka.
Aku tidak bisa menolak perempuan itu, sebab kakak sudah mengizinkannya masuk, apalagi sebelumnya malah kakak yang menarik tangannya masuk ke sini.
Setelah mencuci tangan, aku pun masuk ke ruang keluarga.
"Berantakan?!" Aku melihat banyak pakaian kakak yang berserakan dimana-mana, sebab hujan seharian jadinya kakak mengangkat semua pakaian yang ada di jemuran.
"Dasar.. selalu saja... selalu saja aku dianggap sebagai anak kecil!"
Dari dulu, kakak selalu menganggap aku selayaknya anak kecil meski sekarang usiaku sudah tujuh belas tahun.
Dengan mudahnya dia membiarkan setiap pakaian dibiarkan begitu saja!
Aku pun tidak memperdulikannya, aku masuk ke kamar dan mengambil handuk serta pakaian ganti.
Setelah itu aku duduk di ruang keluarga menunggu kakak dan perempuan itu keluar.
Selang waktu lima belas menit, suara pintu kamar terbuka, sebab pintu hijau itu aku biarkan terbuka.
Kakak pun keluar dan menemui aku.
Katanya, "tolong lemparkan pakaian itu!" Dia menunjuk pada tumpukan pakaian yang ada di dekatku.
Jawabku, "ambilah sendiri."
"Kakak kan bisa berjalan dan mengambilnya." Saat itu aku sedang menonton TV, sehingga aku tidak mau diganggu, lagipula mana pantas seorang laki-laki seperti aku memegang pakaian dalam seorang perempuan yang lebih tua dariku?
"Kumohon...." Dia menunjukkan wajah menggodanya.
"Tch.. ambil sendiri, jangan ganggu aku!"
"Ish!" Wajahnya seketika berubah menjadi kesal.
Kemudian dia berjalan mendekat lalu mengambilnya sendiri, dia juga mengambil sebuah pakaiannya dan celananya.
Sebelum kembali dia menendang aku.
"Aduh..! Apaan sih?! Kenapa tiba-tiba menendang aku?!" Kakak menendang pahaku cukup kencang.
Wajahnya terlihat sangat marah dengan tatapan yang sinis. Katanya, "Seharusnya kamu pikir kenapa aku menendang kamu! Dasar laki-laki tidak ada perasaan sama sekali!"
"Apa sih? Aku tidak paham deh!"
"Bodoh!" Lalu dia kembali dan menutup pintu hijau dengan keras.
Dugaan bahwa pakaian yang dia ambil, hendak diberikan kepada perempuan itu. Aku sih tidak terlalu mempedulikan hal tersebut, sebab kakak yang membiarkan dia masuk maka kakak pula yang bertanggungjawab atas perempuan itu, demikian juga segala pakaian yang dia bawa merupakan pakaian kakak sendiri, bukan pakaianku, jadi aku tidak mempermasalahkannya.
Kemudian, pintu itu terbuka sedikit dan kakak mengintip, sehingga hanya kepalanya saja yang kelihatan.
Kataku, "apa lagi? Belum cukup menendang aku sekali?"
"Tidak. Sekali saja cukup, tapi, tolong ambilkan pakaian dalam punyaku juga yang warna putih itu..." Wajahnya memerah sembari dia memajukan bibirnya seakan dia menunjuk menggunakan bibirnya.
"AMBIL SENDIRI!!" Bentak diriku.
Sore harinya, menjelang malam, sekitar pukul enam. Kakak sudah menyiapkan makanan malam berupa rebusan daging dan sayuran, aku pun juga sudah mandi dan membantu kakak merapihkan pakaiannya yang berantakan itu, ku letakkan di kamar.
"Lalu? Mengapa dia ada disini?" Aku menunjuk perempuan itu yang duduk disebelah kakak.
Sekarang, dia memakai pakaian kakak seluruhnya, sedangkan seragam dan pakaian yang dia gunakan, sedang dicuci oleh kakak.
Kakak menjawab, "ya ampun. Biarkanlah dia makan bersama, sudah lama juga kan kita tidak makan ramai-ramai?"
"Iya juga sih." Yah, memang hampir setiap saat aku hanya menghabiskan waktu berdua dengan kakak, sejak aku masih kecil pun juga sudah tinggal berdua dengan kakak.
Kakak berkata, "ya ampun, pacarmu cantik juga yah!"
"DIA BUKAN PACARKU! AKU TIDAK KENAL DENGANNYA!" Benakku langsung. Kakak hanya tercengang sedangkan perempuan itu hanya diam melihatku, lalu dia memalingkan wajahnya dengan wajah lesu dan kemerahan.
"Terserah kakak saja!" Kemudian kami pun makan bersama.
Setelah makan, perempuan itu berkata, "terimakasih sudah mengizinkan aku memakai kamar mandinya, lalu meminjamkan aku pakaian dan juga memberikan aku makan malam."
Lalu perempuan itu sedikit membungkuk kearah kakak dan berkata, "terimakasih atas segalanya! aku akan membalas kebaikan kakak!"
Aku langsung menoleh, "ka-kakak?!!"
Kakak hanya tersenyum ke arahnya yang barusan duduk disebelah kakak.
Kataku, "siapa sih kamu sebenarnya? Kok tiba-tiba saja kau masuk ke sini, makan bersama dengan kami dan menjadi akrab dengan kakak padahal baru pertama kali bertemu?!"
perempuan itu pun duduk bersimpuh ke arahku, dia tersenyum, "maafkan aku, jika kehadiranku membuatmu tidak nyaman."
Seketika aku merasa tidak enak, karena memang awalnya juga aku tidak tega dengannya yang kehujanan itu.
Perempuan itu berkata, "kamu sudah berbuat baik kepadaku, dengan meminjamkan aku saputanganmu. Sekarang sedang aku cuci bersamaan dengan seragamku, tetapi maaf jika aku pun masih meminjamkan mesin cuci."
Kemudian dia sedikit menundukkan kepalanya, "awalnya juga aku tidak ada niatan mengikuti kamu."
Lalu dia menepuk kedua tangannya sekali di depan wajahnya, "MAAF SUDAH MEREPOTKAN KAMU!"
Aku tidak bisa menatap dirinya, sebab dadaku berdegup kencang melihat dia memakai pakaian kakak. Lagipula wajahnya juga terlihat cantik dan ini baru pertama kalinya aku berbicara dengan perempuan selain membahas pelajaran.
"Terserah."
Kemudian ponselku berbunyi, tanda notifikasi pesan masuk, yang ketika aku lihat, pesan itu berasal dari grup Biologi.
Pesannya: Besok kita kumpul yah di ruangan klub! Pastikan kalian datang karena ada hal penting yang mau dibahas! — Terutama kamu yah! harus datang!
Selain pesan utama tersebut, ada pesan tambahan lainnya yang mengatasnamakan aku, mau tidak mau aku harus datang pertemuan besok.
Aku melihat, kalau kakak sedang menungging sembari membuka kulkas, entah apa yang sedang dia cari.
Lalu katanya, "minumanku habis, bisa kamu belikan sekarang?"
Jawab perempuan itu, "Aku? Akan aku belikan."
Kakak langsung menutup kulkas dan berbalik dan menarik perempuan itu untuk duduk lagi, sebab dia sudah berdiri.
Kakak berkata, "bukan kamu, tapi dia!" Kakak menunjuk ke arahku.
"Tidak mungkin aku meminta tolong kepadamu yang merupakan perempuan, kamu duduk dulu saja sampai kamu dijemput. Ngomong-ngomong, kamu sudah beritahu orangtuamu?"
Perempuan itu mengangguk, "Iya sudah, tetapi tidak tahu kapan ibu menjemput."
Kemudian kakak merangkak layaknya bayi menuju sebuah laci, dibukanya laci tersebut dan mengambil beberapa jumlah uang dan memberikannya kepadaku.
Katanya, "minumanku, habis tolong belikan tiga kaleng saja, kumohon."
"Iya." Jawabku.
Selain uang, dia juga membelikan kartu tanda penduduk punyanya.
Dia pun berkedip, "tentunya kanu akan membutuhkan ini."
"Iya-iya... Aku belikan tapi kembaliannya buat aku yah, kak!" Ujar aku. "Kan lumayan sisa kembaliannya."
"Iya.. okelah."
Minimarket terdekat, berada di pinggir jalan raya, jadinya aku haruslah keluar dengan berjalan kaki, ke arah jalan raya, melewati pagoda patung singa, lalu berbelok ke kiri.
"Siapa sih dia? Siapa sih perempuan itu? Aneh banget perempuan itu! Bisa-bisanya dia mengikuti aku sampai ke rumah padahal aku tidak kenal dengannya dan dia pun tidak kenal juga denganku. Tiba-tiba aja dia membuntuti aku, terus diajak masuk, mandi dan makan malam bersama!? Bisa-bisanya dengan mudahnya dia seperti itu." Aku menggerutu sepanjang jalan.
Memang sih, ketika aku baru tahu bahwa dia kehujanan pun aku juga tidak tega dan pula dia tidak memakai jaket saat itu sehingga dia mengalami kesulitan dengan seragamnya. Aku juga tidak tega dengannya saat itu, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena dia bukan siapa-siapa aku.
Kalau aku melakukan sesuatu hal yang tidak dia butuhkan pastilah dia akan marah kepadaku.
'Mesum' ya itulah yang aku takuti, aku takut disangka orang mesum oleh dia.
"Biarkanlah, aku tidak mau pusing. Biarkan kesialan terjadi pada hari ini saja, tidak mungkin besok juga menjadi hari yang sial."
Di minimarket itu, aku membeli tiga kaleng minuman beralkohol untuk kakak, ya memang dia menyukai minuman seperti ini. Dengan uang kembaliannya juga, aku membeli minuman bersoda untuk diriku sendiri.
Ketika aku berjalan kembali, melintas beberapa kendaraan roda empat, salah satunya ada sebuah sedan sedikit mewah, yang jarang terlihat ada di sekitaran sini.
"Aku pulang."
"Nih, kak minumannyal."
Kakak langsung melompat ke arahku dan mengambil minuman itu, wajahnya terlihat sumringah dengan senyumannya yang manis.
Kakak berkata, "terimakasih adikku, tolong menunduk."
Aku pun menundukkan kepala sesuai keinginannya, lalu dia mengusap-usap kepalaku dengan lembut.
Katanya, "anak baik... anak baik..." Dia tersenyum sangat.
Meskipun dia kakakku, tetapi tinggi badannya seperti anak yang baru masuk SMP, tinggi badannya hanya seratus lima puluh tiga sentimeter. Berbeda dua puluh lima sentimeter denganku.
Karena itu, aku harus sedikit menundukkan kepala agar dia bisa mencapai kepalaku. Memang diperlakukan seperti anak kecil itu ada enaknya juga, apalagi yang memperlakukannya kakak sendiri, selain cantik dan juga imut, dia memang baik hati.
Tapi kebiasaannya, dia suka minum minuman beralkohol dan juga seorang yang ceroboh, dia juga mudah percaya dengan orang lain.
Saat aku kembali, perempuan itu tidak ku temukan di ruang keluarga, kemudian ku periksa kamar mandi juga kosong, juga di kamar tidur, tidak ada orang selain tumpukan pakaian kakak yang berantakan di ranjang.
Kataku, "dia sudah pulang?"
Kakak meneguk minumannya, wajahnya menjadi kemerahan dan matanya menjadi sayu.
"AHHHH ENAK!!" Dia pun duduk dengan kaki yang diluruskan dan memakai kedua sikunya untuk menjadi tumpuan dia.
Katanya, "ya ampun, ternyata kamu mencari pacarmu itu?"
"Ini yang kesekian kalinya, dia bukan pacarku! Aku tidak kenal dia, kak. Aku tidak tahu dia! Tiba-tiba dia mengikuti dari belakang dan tiba-tiba ke sini!" Jawabku.
Kemudian kakak berbaring, "yah, besok ya besok." Kemudian kakak bangun dan merangkak mendekati aku yang tengah duduk menonton TV.
Dia menekan kedua pahaku dan tiduran disitu, "besok yah besok."
Kalau sudah masuk fase yang merepotkan ketika kakak meminum alkohol, dia pasti akan dekat-dekat denganku terus dan bertingkah seperti anak kecil yang mengantuk.
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius