1 Bab 1: Surga yang Retak

{Jika kamu ingin tahu, dimana letak kesuksesan itu. Maka jawabannya ada disenyuman ibu.}

* * *

* *

*

Namanya Muhammad Arya Dharma biasa di panggil Dharma. Nama yang mengagumkan, berharap sang putra kelak menjadi seorang yang bisa memberikan keindahan, budi pekerti, sertakan kesucian pada agamanya. 

Dia terlahir di tengah-tengah kerajaan pesantren dengan ribuan santri. Bak pangeran, dia pula menjadi sorotan bagi para santri, terutama santriwati  karena dia adalah satu-satunya anak lelaki  dari tiga bersaudara.

Menjadi seorang gawagis dan Ning  memang sebuah anugrah tersendiri. Dimana seseorang sudah dikaruniai banyak keberkahan sejak dia lahir. Dia agungkan, di perlakuan bak seorang putra kerajaan.

Namun hal itu juga yang menjadikan dia tidak merasa nyaman. Seolah kesempurnaan harus terpampang nyata di depan banyak orang. Tidak hanya fisik, tapi ilmu dan adab.

Dharma sendiri ingin sekali keluar dari zona seperti itu. Dia ingin merasakan layaknya seperti manusia biasa. Berkumpul, bercanda dan membahas hal lainnya selain agama. Dia merasakan titik bosan ketika posisinya saat ini mengharuskan dia untuk terus membahas soal agama. Jika tidak begitu, pasti tidak jauh dari etika.

Sering dia melihat santri-santrinya tertawa bersama teman lainya. Menghabiskan waktu bersama dan kadang nakal bersama-sama. Bagi Arya dharma itu adalah puncak kenikmatan yang hingga saat ini sulit sekali ia rasakan.

Jiwa berontaknya muncul ketika dia mulai kuliah. Dia mendapatkan banyak hal luar biasa di dunia perkuliahan. Menemukan apa itu kebebasan, perjuangan dan juga hasrat untuk berkembang. Namun konsepnya bukan tentang agama tapi Hak Asasi Manusia.

Sayangnya, hal itu dipandang salah oleh keluarganya. KH. Umar Al Faruq-- Abah Arya Dharma mulai merisaukan pergaulannya. Selalu khawatir jika putrinya tidak akan mau memperjuangkan apa yang sudah dirintis moyangnya. Karena itulah dia tidak lagi diizinkan melanjutkan kuliah S2-nya.

Setiap kali dia dituntut untuk kembali ke pesantren dia selalu enggan. Dia akan berlama-lama mengulur waktu untuk tidak segera memasuki rumahnya itu. Dia bosan. Dia jenuh dengan segala sesuatunya yang ada di dalamnya.

Jika bukan kerena ibunya mungkin dia sudah meninggalkan pesantren tersebut sejak lama. Meneruskan pendidikannya yang dipandang tidak kalah penting dengan  pendidikan agama.

Terlebih sejak usia tujuh belas tahun dia sudah dijodohkan dengan salah satu santriwati abahnya.

Tanpa harus bertanya apakah dia berkenan atau tidak dengan perempuan tersebut. Perjodohan itu mengalir begitu saja.

Dharma tahu, jika Kayla-- nama gadis yang telah dipilih orang tuanya adalah gadis dengan segala kesempurnaan. Dia cantik, kalem dan tentunya santun.

Selain santriwati dia juga putri KH. Jauhari Ahmad pengasuh pondok pesantren Al Hasani, Ponorogo, dimana Abah Umar pernah menimba ilmu, pun Dharma pernah satu tahun di sana.

Saat kayla lulus Aliyah, orang tua  Dharma semakin gencar mendekatkan mereka. Segala cara dilakukan kedua keluarga untuk menumbuhkan benih cinta diantara keduanya. Dan itu berhasil hanya pada Kayla saja, tidak pada Dharma.

Dalam diri Dharma masih menginginkan kebebasan. Jangankan untuk menikah, dia saja tidak pernah memikirkan seorang perempuan.

Toh, dia laki-laki yang memiliki jiwa pemburu. Dia lebih suka menikmati buruannya ketimbang memakan hasil buruan.

"Buk, Dharma izin, nggeh. Tahun ini saja," bujuk Dharma pada wanita paruh baya di depannya itu.

Sudah beberapa jam Dharma bersimpuh, mengalem, mencuri kewelasan ibundanya tersebut. Tapi, hingga detik ini belum bisa iya kantongi izin untuk keluar dari pesantren.

"Sudah ibu bilang, matur Abah. Ibu gak bisa mutusin," balas wanita paruh baya tersebut.

Ia bangkit dari alas sajadahnya. Melihat mukenah yang sejak tadi ia pakai dan meletakkan pada rak mukena di ruang sholatan tersebut.

"Teng Ibu riyen, mengke abah gampil. Lek Ibu Rida, mengke Insya Alloh abah nggeh Rida. (Ke ibu dulu, nanti Abah gampang. Kalau Ibu Rida, Insya Alloh abah juga Rida)." Tutur Dharma.

Di antara kelembutan ibunya, tersimpan ketegasan yang sampai saat ini sulit sekali diruntuhkan oleh Dharma. Dia ingin, namun selalu saja kalah dengan titah dan abdinya sebagai seorang putra.

Seperti yang dia duga, izin dari ibunya sangatlah sulit didapatkan. Rasa sayangnya seorang ibu, kadang membuat anaknya terkekang. Ibu Aminah_ nama Ibu Dharma, biasa di panggil Bu Nyai Aminah tersebut pun begitu.

Apalagi Dharma satu-satunya putranya. Penerus kerajaan pesantren yang bertahun-tahun di bangun oleh nenek moyang mereka. Sudah sewajarnya Dharma di jaga. Mengantisipasi untuk tidak terkontaminasi dengan dunia luar.

Tapi saat ini, dunia luar adalah keinginan Dharma. Dia ingin melihatnya, dia ingin menjelajahi luasnya dunia. Meskipun Bu Nyai Aminah percaya pada anaknya, tapi dia sama sekali tidak percaya pada dunia.

Mereka yang ingin melihat dunia, maka itu sama saja ingin meminum anggur. Setelah merasakan nikmatnya, maka dia akan terus kecanduan meminumnya. Bu Nyai Aminah tidak mau hal itu terjadi pada putranya.

"Masak, Ibu gak percaya sama Dharma?"

"Bukan masalah percaya atau tidak, Le. Tapi kamu tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana. Ibu takut nanti kamu kenapa-napa."

"Itu artinya Ibu nggak percaya dengan Dharma. Gak percaya juga sama Alloh?"

"Jangan bawa-bawa nama Alloh. Gak sopan, konteks-nya berbeda."

"Sama Ibu ... Kalau Ibu mengkhawatirkan Dharma berarti ibu gak percaya sama doa-doa ibu. Ibu gak percaya sama Alloh yang ibu minta untuk menjaga putra ibu."

"Kamu itu di bilangin kok ngeyel, to."

"Bukan ngeyel. Dharma janji sebelum lebaran Dharma pulang, sudah ada di rumah."

Bu nyai Aminah menghela nafas. Dia memandang paras putra satu-satunya itu. Melihat bahwa ternyata dia sudah mulai tumbuh dewasa. Tidak hanya dengan tubuhnya tapi juga akalnya. Hingga itu membuat Bu Nyai Aminah mulai kualahan membentengi dirinya.

Dharma sudah menjadi sosok pemuda Islam yang tangguh, berwajah tampan, berkulit bersih dengan sedikit jambang di kedua belah dagunya. Banyak orang yang mengira bahwa dia keturunan orang arab, sebab tubuhnya yang juga menjulang tinggi dari anak muda lainya. Bukan hanya fisiknya yang mulai berubah menawan, tapi juga  Ilmu agama, budi pekerti mulai terlihat bersinar. Itu karena keluarganya mengajarinya  sejak ia dini. Kenakalannya mulai memudar, tapi saat ini mulai berganti hasrat mudanya yang keluar.

"Aku ingin di kenal sebagai Arya Dharma, Ibu. Aku ingin membuktikan jika Arya Dharma yang ibu didik pun bisa bersinar tanpa embel-embel nama keluarga. Arya Dharma ingin, mencari jati diri sendiri. Menebar kebaikan di luar sana. Kita akan mudah jika berperang di wilayah kita sendiri. Tapi, akan tertantang saat kita ada di wilayah random, bukan wilayah kita. Dan ketika semua orang memandang bahwa kita sama hebatnya."

Dharma tidak putus asa. Ia terus membujuk Ibundanya tersebut.

"Kalau kamu kepengen merasakan dadi wong biasa (orang biasa) ya tinggal ikut pondok romadhon nan di pondok pak puh mu, atau pak lek mu, to. Kayak biasane, membo-membo (pura-pura) dadi santri biasa. Kalau gak gitu ke pesantren temane abah mu, lek kamu bosen (kalau kamu bosen)."

Bu nyai Aminah tidak kalah dengan putranya. Dia masih dengan pendiriannya.

"Pun bosen, buk. Akhir-akhir e rencang-rencang nggeh sami sumerep kulo sinten (Teman-teman akhirnya juga tahu, aku siapa)."

Bu Nyai Aminah kembali menarik nafasnya dalam-dalam. Anak adalah cerminan dari orang tuanya. Tidak salah jika Dharma sama kerasnya dengan dirinya.

"Pereng, nggeh buk (boleh, ya buk)," Dharma mengiba.

Jika hari ini dia tidak mendapatkan izin, berarti itu sama halnya dia akan melewati bulan ramadhan seperti tahun-tahun lalu. Jika di rumah, dia akan membacakan kitab kuning untuk para santri, dan jika dia mondok dia akan mencari ilmu lagi. Itu pun tetap dengan titelnya dia yang seorang Gus.

"Hari raya besok itu kamu harus bersiap-siap, kamu kan sudah mau bertunangan dengan Kayla."

Dharma mendesah pelan. Mendengar nama gadis itu seperti menerima kutukan yang sulit sekali dia hilangkan.

Dharma ingat betul apa yang dikatakan ibunya sewaktu dia meminta izin untuk kuliah, "Kamu tidak apa-apa kuliah, mumpung masih ada waktu. Tapi ingat jangan pacaran apalagi melirik perempuan lainnya. Kamu itu sudah dijodohkan dengan kayla. Selepas dia selesai sekolahnya, kalian harus segera menikah. Belajarlah mencintainya."

Selisih usia Dharma dan Kayla tiga tahun. Saat Dharma masuk perguruan tinggi, Kayla baru saja masuk MA. Andai mereka seumur, mungkin Dharma akan kehilangan kesempatan mengenyam dunia perkuliahan.

"Ibu, ini mungkin sulit akan diterima. Tapi, demi Alloh ibu ... Dharma belum ingin menikah. Dharma tidak mencintai Kayla,"

Seperti tersambar petir. Bu nyai Aminah mengangga, tangannya menempel di dadanya. Matanya terbelalak tidak percaya.

Sungguh, ini pertama kalinya Dharma mengatakan yang sejujurnya tentang perasaan hatinya pada ibunya. Keberanian ini muncul kerena keinginan untuk melihat dunia.

"Kamu tidak boleh mengatakan hal itu, Dharma! Sejak usia tujuh belas tahun ibu dan abahmu sudah mengatakan siapa jodohmu. Dan sekarang sudah hampir sepuluh tahun, nak ... Masak waktu sebanyak itu tidak bisa membuat hatimu luluh pada Kayla. Dia kurang apa?!"

Dharma terdiam. Dia ingin mengatakan jika perempuan yang dipilihkan tidak kekurangan apapun. Tapi, hatinya lah yang belum bisa menerima sosok itu.

"Dharma belum ingin menikah. Dharma ingin berpetualang dulu, ibu. Dharma mohon, beri Dharma restu." Untuk sekian kalinya dia bersimpuh memohon pada sosok pembawa surganya.

Bu nyai Aminah bangkit. Dia menghindar dari putranya. Dia masih tidak percaya, jika putra yang selama ini dia banggakan bisa begitu menusuk hatinya.

"Sampai kapanpun, ibu tidak akan memberikan restu untukmu. Dan kamu harus menikah dengan Kayla secepatnya," kata Bu nyai Aminah dengan amarah yang meletup.

Tubuh Dharma bergetar, dia sama sekali tidak pernah mendapatkan murka seperti itu. Surga yang selama ini dia jaga, berlahan retak karena ingin mewujudkan keinginannya.

avataravatar
Next chapter