webnovel

Drama di Peron Stasiun

Menuruni kereta dengan menenteng tas ransel besarnya, Elio yang penasaran kembali menoleh ke belakang. Di dalam gerbongnya tadi, pria aneh itu masih terduduk meringkuk, tertidur pulas tanpa bergerak sedikit pun.

Elio tersenyum lebar, senang karena merasa semesta telah membalaskan dendam kesumatnya pada pria aneh itu. Anggap saja balasan yang setimpal karena telah membuatnya resah. Juga karena ketidaksopanannya tadi.

Sayang, kesenangannya tidak bertahan lama karena seorang petugas kebersihan kereta api menghampiri dan terlihat seperti memanggil pria aneh itu, mengabaikan perintah di kertas mencorong yang ditempelnya. Dia juga menggoyang-goyangkan bahunya dengan pelan, namun itu cukup untuk membangunkan si pria aneh dari tidurnya.

Petugas yang kelewat baik itu juga melepas sticky note yang menempel di bahu dan memberikannya pada si pria aneh.

Entah dia mempunyai indera keenam atau telah berguru di gunung keramat demi mempelajari ilmu dalam. Seolah tahu, pria aneh itu menengok ke luar jendela dan langsung menatapnya.

Kedua mata mereka bertemu kontak.

Sama-sama membelalak, namun yang satu pasang karena kaget ketahuan, dan yang satu lagi dengan menuduh kesal.

Si pria aneh menunjuknya, kemudian buru-buru bangkit dari kursi dan hampir menabrak petugas kebersihan kereta yang kelewat baik itu. Tergopoh-gopoh, dia menuju pintu gerbong dan turun dari kereta.

Melihat kegesitan itu, Elio kalang kabut dan melesat menuju pintu keluar peron.

"Berhenti kau, gadis jalang!"

'Sial.'

Selama dua belas tahun belajar wajib di sekolah negeri, Elio tidak pernah mendapat nilai kurang dari tujuh puluh atau lebih buruk dari C pada mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.

Namun, selama hampir tiga tahun duduk di bangku perkuliahan, Elio juga jarang berolahraga atau sekadar jogging sore. Dia lebih sibuk mengejar deadline tugas dan bergumul dengan dunia fantasinya sendiri.

Pacar khayalannya sangat senang jika dia menulis fanfiksi ketimbang buang-buang tenaga mengelilingi lapangan kampus. Yah, meski dia juga belum menghasilkan satu karya pun selama hampir satu bulan ini.

'Ah, writer's block sialan!'

Kembali lagi. Poin yang ingin disampaikan Elio adalah meski sudah mengambil langkah kaki seribu sekalipun, pria aneh itu tetap berhasil mengejarnya.

Entah bagaimana caranya, dengan lihai dia menyelinap di sela-sela ramainya penumpang di peron, juga para pedagang makanan ringan dan oleh-oleh yang sibuk menawarkan dengan harga bombastis. Diskon hingga empat puluh persen.

"Ah! Aduh, aduh, aduh!"

Elio menggeliat risih dan takut ketika tangan pria aneh yang dikerjainya itu menahan tas ranselnya, membuatnya tersentak dan berhenti di tempat.

"Lepaskan aku atau aku teriak maling?!"

"Kau sudah teriak-teriak dari tadi, bodoh," pria itu tidak menaikkan suara, namun rasa jengkelnya sangat kentara.

Elio baru sadar, dia memang sudah teriak-teriak karena ketakutan sedari tadi.

Meski begitu, dia juga terheran kenapa tidak ada seorang pun yang menolongnya. Padahal, banyak penumpang yang lalu-lalang di area pintu keluar peron. Sungguh, manusia masa kini memang kurang perhatian dan lebih sibuk dengan urusannya masing-masing.

Mungkin dia juga tidak jauh berbeda, tapi ada masalah yang lebih penting sekarang.

"Lepasin sekarang juga!" Elio memekik, semakin panik karena beberapa orang di sekitar mereka hanya memandang ganjil pada keduanya.

"Jangan lari," pria itu memerintah dengan suara rendah yang khusus diperdengarkan pada Elio. "Awas kalau kau kabur."

"Iya, iya, tapi lepasin!"

Pria aneh itu mendecih, namun Elio merasa daya yang menahan tas ranselnya telah hilang.

Sepersekian detik cepatnya, dia menimbang apakah pria itu akan kembali mengejarnya jika berlari sekarang. Meski begitu, dengan jarak belasan meter yang tadinya memisahkan mereka, pria itu berhasil menangkapnya.

Kabur seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Dengan wajah merengut tidak senang, Elio ragu-ragu memutar badan.

Pria aneh itu berdiri tegak dengan kedua tangan yang menyilang di dada. Wajah tampannya menjunjung ekspresi kesal. Namun, pipinya yang menggembung dan bibir yang mengerucut itu seketika mengurangi efek amarahnya. Meski terlihat sedikit lebih tua – mungkin tiga atau empat tahun – dari Elio, dia bertingkah seolah seumuran.

"Ada apa lagi?" Elio menantang.

"Ada apa lagi, katamu?" Dia mendengus, kemudian menyodorkan sticky note berwarna hijau terang padanya. Lebih tepatnya, pria itu menempelkan lembaran yang bersalah itu ke dahi Elio. "Gunakan kepalamu untuk berpikir."

"Aduh!" Elio menampik tangan si pria aneh. Dia buru-buru melepas dan meremas sticky note itu hingga menjadi gumpalan sampah di tangannya. "Asal kau tahu, ini balasan untuk ketidaksopanan yang kamu lakukan sebelum ini."

"Hah? Kau yang lebih dulu berlagak tidak sopan," tuduhnya balik.

"Ih, dasar tak tahu malu."

"Apa kau bilang? Coba ulangi lagi!"

"Oh, kau tuli juga rupanya?" Elio meledek. "Dasar tak tahu malu!"

"Kau–"

"Ahem!"

Perhatian mereka berdua mengarah ke seorang pria kurus dan tua yang entah sudah berada detik berdiri di samping. Dilihat dari seragamnya, orang ini adalah satpam stasiun.

"Apa ada masalah di sini?"

"Ti- tidak, Pak–"

Sayang, ucapan Elio itu bebarengan dengan si pria aneh yang dengan seenaknya mengeluh, "Dia masalahnya, Pak!"

Satpam itu memandang mereka berdua secara bergantian. Kedua matanya seakan menelisik penuh curiga, diperkuat dengan lengkung bibir yang menandakan ketidakpercayaan.

Akhirnya, satpam stasiun memandang si pria aneh, bertanya dengan nada netral. "Apa yang terjadi?"

"Itu, Pak," awalan yang diberikan lawan debat Elio saat ini sangatlah tidak meyakinkan. "Dia tidak mau menolong orang yang sedang kesusahan. Malah mengejek saya."

"Hah?!" Elio melongo dibuatnya.

Satpam stasiun itu kini menatapnya, seolah bertanya apakah hal yang baru saja disampaikan itu benar atau hanya bualan belaka.

Elio lekas menyergah, "Dia bohong, Pak. Dia duluan yang duduk dekat-dekat dengan saya. Itu juga termasuk pelecehan, kan, Pak? Iya, kan?"

"Pelecehan apanya? Aku hanya bertanya baik-baik karena mau pinjam jaket."

"Lantas kenapa harus pakai dekat-dekat segala? Dasar nafsuan!"

"Dih, siapa juga yang nafsu? Sudah wajah pas-pasan, pakai kacamata kuda lagi," dan pandangan si pria aneh itu jatuh dari mata turun ke hati. Maksudnya dada. "Datar pula."

Elio memekik ngeri, gelagapan menutupi dadanya dengan kedua tangan dan sedikit berbalik badan.

"Pak, itu, Pak! Itu pelecehan seksual, Pak!" Adunya pada satpam stasiun. "Dia harus dilaporkan ke polisi!"

Namun dia hanya mengelak santai. "Apa salahnya bicara jujur?".

"Ah, sudah, sudah!"

Kali ini satpam stasiun berkacak pinggang, mencoba terlihat lebih gagah dan berwibawa, meski tubuhnya kurus kering dan terlihat tua dengan uban dimana-mana.

"Saya sudah capek seharian bertugas. Kalian ini, sudah dewasa tapi malah kayak anak-anak ingusan."

"Loh, itu tadi pelecehan, Pak!"

"Sudah kubilang, aku hanya bicara jujur!"

"Sudah, diam kalian berdua!" sergah satpam stasiun dengan kedua tangan terlentang ke depan, melerai mereka yang ribut dengan argumen masing-masing. "Ini sudah jam sembilan lewat. Gara-gara kalian berdua, saya jadi belum pulang, kan?"

Ungkapan itu seketika membuat Elio kecewa. Bukannya membela, satpam stasiun itu hanya memikirkan dirinya sendiri. "Pak, dia sudah keterlaluan, tidak bisa dibiarkan. Keamanan di sini kan tanggung jawab Bapak. Harusnya Bapak melindungi semua orang yang dilecehkan secara verbal di depan Bapak sendiri."

"Iya, tapi–"

"Benar, Pak!" Pria aneh itu entah kenapa malah ikut menimpali. "Kalau bisa, jangan biarkan gadis gila ini masuk sini lagi, Pak. Bisa-bisa dia mengancam kenyamanan penumpang lain."

"Hush, hush, hush! Kalian berdua diam!"

Meski bertubuh kurus kering dan berwajah tua, hardikan satpam stasiun itu tiba-tiba mengejutkan keduanya.

"Saya tidak peduli apa asal usul pertengkaran kalian, saya juga tidak peduli siapa yang salah sebenarnya. Yang pasti, kalian itu sudah dewasa, jadi bertingkahlah yang semestinya. Coba lihat sekeliling."

Mendengarnya, kedua orang yang kini dikritik satpam stasiun itu segera mengedarkan pandang. Benar adanya. Mereka kini menjadi pusat perhatian dari banyak orang di sekitar pintu keluar.

Elio menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan wajah yang pasti merah merona karena malu.

Namun si pria aneh itu belum juga jera. "Tapi, Pak–"

"Alah, tidak ada tapi-tapian!" satpam stasiun segera menyela lagi.

"Saya tidak mau dengar. Ini sudah hampir jam setengah sepuluh dan shift saya sudah selesai setengah jam yang lalu. Pokoknya saya tidak mau melihat kalian bertengkar lagi di stasiun ini. Titik. Kalau mau adu mulut, silakan keluar!"

Elio menciut, meratapi hujan yang masih berjatuhan tanpa ampun.