webnovel

To Get Her

Dave Pov ;

Mata bulat Lisa semakin membulat. Bibirnya tersenyum cantik. Aku mengelus pipi putihnya pelan, dia tidak menghindar atau menghentikanku. Mata coklatnya menatapku tenang, tidak ada tatapan galaknya seperti beberapa saat lalu ketika dia menyuruhku meminum obat.

Rambut hitam panjangnya terjatuh ke depan. Aku menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dia tersenyum lagi. Terlihat sangat menggemaskan.

Pertemuan kami mungkin bisa terhitung jari. Aku juga bukan pria yang cepat terbujuk rayuan wanita.

Tapi Lisa berbeda, satu-satunya wanita yang membuatku merasa tertarik untuk pertama kalinya. Mata coklatnya yang cantik sejak pertama kali aku menatapnya selalu memenuhi pikiranku. Tubuhnya yang hanya setinggi daguku malah terlihat sangat cocok denganku. Caranya berpakaian yang kekanakan membuatnya istimewa di mataku.

"Kau terlihat jauh lebih cantik dari jarak sedekat ini, Lili." Aku menyentuh hidung kecilnya.

Dia tertawa kecil, geli.

Aku hendak mencium bibirnya lagi, tapi Gerry lebih dulu membuka pintu.

Lisa mengirim pesan untuk menjemputku beberapa saat lalu. Gerry sedikit kaget, tapi dia tidak beranjak menutup pintu lagi.

Aku menatapnya, menggerakkan mataku, memberinya isyarat untuk keluar. Dia mengangguk ragu, kemudian menutup pintu kembali.

Lisa menatapku. "Jemputanmu sudah tiba Dave, waktunya pulang."

Aku menggeleng mantap. "Sebentar lagi Lily." Aku memasang wajah memelas, bertingkah menggemaskan.

Lisa tertawa. Dia menarik kemeja yang dijadikan selimut di tubuhku beberapa saat lalu.

"Aku akan memaafkanmu jika kau menurut." Lisa menyuruhku bangun. Memakaikan jas hitamku kembali saat aku sudah dalam posisi duduk.

Aku menurut, memasang wajah cemberut. Itu kabar bagus jika Lisa akan memaafkanku, tapi aku belum rela waktu kami berdua habis begitu cepat.

Lisa membuka pintu, berbicara dengan Gerry yang menunggu di luar pintu.

Gerry ikut masuk kedalam ruangan. Aku menatap Lisa, memohon untuk membiarkan ku tinggal lebih lama bersamanya. Aku tidak peduli jika suhu tubuhku semakin tinggi, itu akan bagus jika membuat Lisa semakin bersikap peduli kepadaku.

Lisa menggeleng tegas. Itu keputusan finalnya. Aku hanya bisa menurut.

Gerry membantuku berjalan keluar, meninggalkan Lisa di belakang. Aku sempat menatapnya lagi saat di ambang pintu, berharap dia berubah pikiran. Tapi Lisa tetap menggeleng.

Aku berjalan gontai, sedikit kecewa.

Suara musik dansa masih terdengar samar dari koridor. Pesta sepertinya masih berlangsung sampai beberapa menit ke depan.

Mobil melaju pelan, jalanan tidak ramai. Aku melihat keluar jendela, mengingat kejadian di ruang rias dengan Lisa tadi.

Gerry melihatku dari kaca depan, tertawa kecil.

"Bos terlihat sangat menyukai Nona Lisa." Aku melihat ke arahnya, wajahku memerah malu.

Gerry adalah pengawal yang ditugaskan Dad untuk menjagaku sejak aku berusia lima tahun. Usianya sekarang hampir seusia Dad. Gerry-lah yang paling tahu segala tentangku, selain Mom dan Dad.

Aku menjawabnya terbata. "A-apakah sejelas itu?"

Gerry tertawa lagi. Matanya tetap fokus ke jalan, mengemudi.

"Bos tidak pernah meminta saya menyelidiki latar belakang dan mengikuti seorang gadis sebelumnya." Aku tertawa malu mendengarnya.

Awalnya aku meminta Gerry menyelidiki latar belakang dan semua tentang Lisa karena dia adalah satu-satunya kandidat untuk menjadi tiket kerjasamaku dengan Alan.

Aku sebenarnya hanya berdalih kepada diriku sendiri sejak awal, aku menyukai Lisa sejak pertemuan pertama kami. Hingga pertemuan dengan Alan, dan hari ini, itu semua karena aku menyukai Lisa, bukan karena kerjasama.

Mobil melaju mulus membelah malam, menuju kediaman William.

….

Aku membuka file-file di atas meja yang perlu ditandatangani. Brenda, sekertarisku membawakan teh hangat, menaruhnya di atas meja.

"Tuan Dave, Alan meninggalkan pesan untuk anda." Aku menatapnya ragu. Alan?

"Katakan." Aku berkata, lanjut memeriksa file yang tersisa.

"Kontrak kerja sama dengannya akan resmi ditandatangani setelah dua bulan pernikahan anda." Brenda berkata ragu, takut salah pesan.

Aku berhenti membalik lembaran file, melepaskan pulpen di tanganku.

Alan ternyata tidak bercanda tentang persyaratan yang dikatakannya pada malam ulang tahun perusahaannya yang lalu.

Aku mendongak melihat Brenda yang masih menunggu jawaban.

"Katakan padanya, lakukan seperti keinginannya saja."

Aku memeriksa kembali file diatas meja.

Brenda masih berdiri di samping meja, "Jadi.... apakah anda akan sungguh menikah?" Dia ragu bertanya, takut salah mendengar jawabanku.

"Tentu saja, segera." Aku menjawabnya mantap.

Brenda beranjak keluar setelah mendapat jawaban. Langkahnya terlihat ragu, sepengetahuannya aku memang tidak pernah memiliki seorang kekasih, bagaimana bisa tiba-tiba menikah?

Pukul empat sore.

Aku menyuruh Gerry ke kantorku. Memberikan tugas yang harus segera diselesaikan. Dia mengangguk,tanda mengerti, lantas melangkah keluar pintu.

Aku tersenyum mendapati rencanaku. Kali ini aku bersungguh, Lisa tidak akan bisa lari lagi dariku. Aku akan membuatnya berada disisiku bagaimanapun caranya.

Aku membuka handphone, melihat namaku menjadi berita utama pagi ini. Fotoku dan Lisa yang sedang berciuman terpampang di sana. Tidak buruk, aku bergumam dalam hati.

Foto-foto itu diambil dengan bagus. Lisa terlihat cantik dilihat dari sisi manapun. Kami terlihat serasi di sana.

Aku tersenyum. Mom dan Dad sepertinya belum melihatnya pagi tadi, tidak ada Mom yang ribut bertanya itu siapa. Entahlah untuk makan malam nanti, dia mungkin akan bertanya sepanjang malam.

TOK!

TOK!

TOK!

Brenda membuka pintu.

"Tuan Dave, ada tamu yang mencari anda."

Aku melihatnya bingung. Sebentar lagi jam pulang kerja dan aku tidak mengingat ada janji bertemu siapapun hari ini.

"Dave. Aku kembali."

Seorang wanita berambut coklat sebahu dengan gaun merah terang senada dengan warna lipstiknya. Kedua tangannya penuh dengan tas belanjaan. Dia melepas kacamata hitamnya.

"Emma?"

Aku berdiri dari posisi dudukku. Aku menatapnya heran. Apa yang dia lakukan di kantorku? Bukankah dia seharusnya berada di Jerman?

Dia meletakkan tas belanjaannya di lantai, lantas melompat memelukku.

Aku kaget, berusaha melepaskannya.

Brenda menatapku. Aku mengisyaratkan Brenda untuk membantuku menjauhkan Emma dariku.

Brenda memanggil empat petugas keamanan yang berjaga. Mereka membantuku dengan susah payah, melepaskan tangan Emma yang semakin erat memelukku.

Aku menghembuskan napas lega begitu Petugas Keamanan berhasil memegang kedua tangannya yang terus memberontak

"Dave William, kau tidak bisa melakukan ini kepadaku!" Emma memberontak, mencoba melepas tangannya yang di pegang erat oleh Petugas Keamanan.

Aku menatapnya tajam.

"Wanita gila!" aku menepuk kemejaku, membersihkannya dari sisa sentuhan tangan Emma, sengaja membuatnya kesal.

"Aku tidak ingin melihatnya dari pandanganku tiga puluh detik dari sekarang!"

Dua petuga keamanan yang tidak memegangi Emma dengan cepat membawa tas belanjaan yang dibawanya keluar mengikuti dua rekannya yang tengah menggiring Emma keluar. Suara melengkingnya mengganggu telinga.

Para karyawan yang bersiap pulang kerja melihatnya

"Beritahu kepada petugas semua petugas keamanan, jangan sampai dia masuk ke pintu perusahaan, apalagi sampai ke kantorku." Aku berkata tegas kepada Brenda saat keluar kantor, bersiap pulang.

Dia mengangguk patuh

....

Aku menutup pintu mobil yang berhenti di depan pintu masuk kediaman William.

Saat aku hendak membuka pintu, Mom lebih dulu membukanya dari dalam untukku. Begitu mendengar suara mobil di depan rumah, dia sepertinya langsung berlari.

Mom berdiri dengan senyum cerahnya di sana, terlihat tidak sabaran dengan rentetan pertanyaannya.

Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.

"Dave putraku sayang, mau Mom ambilkan minum? Minuman apa yang kau inginkan? Sebut saja, Mom akan membawakannya untukmu."

Mom membantu melepas kemejaku saat aku berjalan ke ruang tamu, duduk di sofa. Dia menatapku dengan mata berbinar dan senyumnya yang masih mengembang. Aku tertawa lagi. Lihatlah betapa girangnya dia.

"Baiklah Mom, itu Lisa , kau puas?" Aku menjelaskan lebih dulu saat dia hendak bertanya.

Tangannya refleks memeluk lenganku. Aku merebahkan diri di sandaran sofa. Mom menatapku, masih dengan senyum lebarnya, hendak bertanya lagi.

"Bukankah Mom tadi berkata akan memberikanku minuman sesuai keinginanku? Apakah itu bohong?" Dia mengibaskan tangannya, tidak mau mendengarkan perkataanku.

Dia menatapku lagi, "Mom sudah menduga itu Lisa, Daniel bahkan meminta poto Lisa kepadaku. Kami menunggumu pulang sejak tadi." Mom dengan girang bercerita, terlihat sangat senang.

"Dasar anak nakal. Kapan kau akan membawa menantuku pulang?" Dad datang dengan segelas air putih di tangannya.

Dia mengambil posisi duduk di sebelah kananku, menatapku dengan serius. Di Sebelah kiriku, Mom menatapku penuh harap, menunggu jawaban.

Aku mengambil air minum yang dibawa Dad, meneguk setengah isinya. Aku menatap Dad dan Mom bergantian, mereka masih menatapku, menunggu jawaban dengan tidak sabar.

Aku meletakkan gelas air minum kembali ke atas meja.

"Segera." Aku menjawab mantap.