webnovel

2. Perhatian kecil

Adrian mengguncang pelan tubuh Aleeya yang baru saja ia letakkan di kasur. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan gadis itu tergeletak di depan pintu kamar mandi. Tidak ada yang tahu sudah berapa lama Aleeya tidak sadarkan diri, karena ia sedang bekerja dan tidak ada seorang pun di apartemennya.

Seminggu yang lalu Adrian membawa Aleeya ke apartemen miliknya usai pemakaman. Seminggu yang lalu juga ia tidak lagi berbicara dengan Aleeya. Gadis itu selalu menutup diri dan tampak uring-uringan. Adrian yang tidak ingin ambil pusing membiarkannya begitu saja dan tetap menyiapkan kebutuhan Aleeya.

"Aleeya, bangun! Aleeya bangun, Sayang!" pekik Adrian sambil menepuk lembut pipi Aleeya. Raut wajahnya tampak khawatir, karena gadis itu belum membuka matanya.

Sayang? Yah, Adrian biasa menggunakan panggilan itu bahkan sebelum mereka menikah. Adrian sudah menganggap Aleeya seperti keponakannya sendiri. Suara bel apartemen berbunyi, bergegas Adrian keluar untuk membukakan pintu.

"Apa yang terjadi dengannya?" tanya seorang pria berkemeja light blue menenteng sebuah koper kecil.

"Aku tidak tahu. Aku mendapatinya sudah pingsan saat pulang tadi," jawab Adrian sambil menuntun jalan menuju kamar.

Pria yang bersama Adrian mendekati Aleeya yang terbaring. Wajahnya tampak pucat dan kusam. Bibirnya terlihat kering dan terkelupas. Pria itu mengecek denyut nadi, detak jantung, dan kelopak mata Aleeya dengan alat-alat yang ada di kopernya.

"Bagaimana keadaannya, Nan?" Adrian memperhatikan gerakan sahabatnya dari ambang pintu.

"Dia kelelahan, apa dia selalu begadang atau tidur dengan waktu yang cukup?" tanya Kinaan sambil menyiapkan sebuah spuit.

"Aku tidak tahu," jawab Adrian.

"Dasar aneh," lirih Kinaan yang melirik ke arah Adrian.

Adrian memang tidak tahu mengenai keseharian Aleeya. Karena ia selalu pergi pagi dan kembali larut malam. Ia hanya akan singgah sebentar untuk mengantarkan beberapa jenis makanan untuk Aleeya. Mereka juga tidur di kamar terpisah, kebetulan apartemennya memiliki dua kamar.

"Aku akan menyuntikkan vitamin."

"Lakukan yang terbaik."

"Apa dia masih bekerja paruh waktu sebagai dokter pendamping?" Tangan Kinaan dengan terampil meletakkan plester bekas suntikan ke tangan Aleeya.

"Yah, masih, tetapi akan berhenti." Nada suara Adrian mulai berubah tidak mengenakkan.

"Kenapa? Dia cerdas dan berbakat. Dia akan memiliki pengalaman lebih sejak dini. Jarang ada dokter pendamping sepertinya," jelas Kinaan panjang lebar.

"Dia harus fokus dengan kuliahnya," balas Adrian sambil mendekati Kinaan yang sudah berdiri dari posisinya.

"Yah, kau suaminya."

"Baguslah kalau kau mengerti."

Kinaan melirik sinis Adrian, sedangkan yang dilirik hanya acuh. "Aku akan memberinya resep obat, dan kau bisa menebusnya di apotek," ujar Kinaan, tangannya cekatan mengukir tulisan di selembar kertas.

"Sebaiknya kau lebih mendekatkan diri dengannya. Aku yakin dia membutuhkanmu," saran Kinaan sambil menghentikan gerakan tangannya sejenak.

Adrian berdecak, tetapi tatapannya lekat pada Aleeya yang belum membuka matanya. "Thank's," ucap Adrian ketika menerima tulisan tangan khas dokter.

"Dia hanya perlu istirahat. Jika sudah waktunya dia akan bangun sendiri," sela Kinaan menangkap sorot mata Adrian.

"Baiklah, aku akan mengantarmu sekalian menebus resep ini," timpal Adrian datar.

Sebelum meninggalkan apartemen, Adrian memastikan Aleeya beristirahat dengan nyaman. Ia meletakkan sebuah guling di sisi ranjang dan menyelimuti tubuh Aleeya hingga dada.

**

Seorang pria bertubuh atletis duduk di pinggir kolam renang dengan rambut basah dan berantakan. Ia menengadah membiarkan semburat bulan menyinari wajahnya, membiarkan semilir angin menerpa tubuh telanjang, dan hanya menyisakan bokser yang masih melekat. Sudah beberapa detik ia masih enggan membuka mata. Seolah-olah ia tenggelam dalam lamunan.

"Alex! Alex!" teriakan yang menusuk hingga ke gendang telinga membuat pria itu tersentak.

"Papah," ucap Alex menengok ke sumber suara dari dalam rumah.

Bagaskara Brawijaya, pria berusia setengah abad. Bagas tengah berdiri dengan wibawa di belakang Alex. Wajahnya garang, tampak kemarahan menguasai dirinya. Beberapa meter di belakang Bagas, dua orang bodyguard bertubuh kekar berdiri tegap.

"Papah." Alex beranjak dari posisinya menuju papahnya.

"Papah kok sudah pul—"

Plak! Tamparan keras menghentikan ucapan Alex.

"Dasar anak tidak berguna!" maki Bagas.

"Maafkan Alex, Pah," lirih Alex, merundukkan kepalanya.

"Maaf tidak akan berguna, jika kau sampai ketahuan pada saat itu!" bentak Bagas.

"Tapi semua berjalan sesuai rencana, Pah. Pria itu sudah tiada," bela Alex.

"Itu karena Dave, jika tidak semua sudah berantakan." Kali ini Bagas sedikit merendahkan suaranya.

"Maaf Pah, lain kali Alex akan lebih berhati-hati."

"Jika kejadian ini terulang lagi, aku tidak akan membantumu!" gertak Bagas.

"Baik, Pah."

"Dan jangan harap kau bisa kembali dalam keluarga Brawijaya, jika kau tidak bisa diandalkan!" ancam Bagas yang selalu ia lontarkan pada Alex.

Bagas meludah ke sembarang arah, sebelum meninggalkan putranya yang masih menundukkan kepala.

"Arrgghh …," jerit Alex meluapkan sesak di dadanya.

Ia mendongak menatap cakrawala dengan kedua tangan yang terkepal kuat, sehingga membuat buku-buku jarinya memucat. Matanya terpejam erat mengeluarkan bulir-bulir bening dari pelupuk mata. Pemilik nama asli Alexander Louis Brawijaya itu telah berubah menjadi Alexander Louis, ketika sang ayah menendangnya dari keluarga Brawijaya. Pria berusia dua puluh empat tahun, merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara Brawijaya. Dua tahun belakangan ini ia berusaha mengikuti arahan ayahnya agar bisa mendapatkan posisinya kembali.

"Sebaiknya, kau tidak perlu lagi mengikuti papah," ucap seseorang yang baru saja datang.

Suara itu sangat familier di telinga Alex. "Kau tidak akan pernah merasakan menjadi yang terbuang sepertiku, Dave," sindir Alex.

Alex melangkah ke taman kecil, lalu menghempaskan tubuh pada kursi bercat putih. Pandangannya tertuju pada air yang tenang.

"Aku sudah terlalu jauh mengikutinya, sedangkan kau baru memulai. Kembalilah pada diri mu yang sebenarnya, Lex. Jangan mengikuti jejak kami," saran Dave yang sudah duduk berdampingan dengan Alex.

"Aku sedang berusaha mendapatkan tempat dan keluarga ku kembali," keluh Alex.

"Kau tidak bisa melakukannya. Lupakan semua dan hiduplah dengan tenang," timpal Dave.

Tidak ada lagi jawaban dari Alex, melainkan hanya keheningan. Dua pria yang umurnya hanya terpaut dua tahun itu memiliki postur tubuh yang sama. Jika dilihat dengan sekilas mata, hidung, bibir, dan garis wajah mereka nyaris serupa.

"Gadis itu telah menikah, sebelum kepergian ayahnya." Dave melirik sekilas ke arah Alex. "Apa kau masih tidak ingin menemuinya?" tanya Dave saat teringat sesuatu tentang Alex.

"Untuk apa? Dia tidak akan mengenaliku," balas Alex.

"Jangan pesimis, kau saja belum mencobanya. Mungkin ingatannya sudah kembali," tutur Dave sambil menepak kepala Alex.

"Apa kau masih berhubungan dengannya?" tanya Alex.

"Sudah seminggu ini aku tidak menghubunginya. Cepat atau lambat aku pasti meninggalkannya," jawab Dave.

"Kau benar-benar brengsek!" umpat Alex, kemudian berlalu meninggalkan Dave.

Dave tersenyum jahat merespons aksi Alex. Terlintas bayangan dirinya dengan seorang gadis lugu sedang bersama. Seandainya saat itu Alex menerima permintaan ayahnya, Dave tidak akan berada di posisinya sekarang. "Kau brengsek, Dave," lirih Dave pada diri sendiri.