Kepala dan perutku seperti memberikan sinyal negatif yang membuatku semakin tak nyaman. Tubuhku terus mengeluarkan keringat dingin. Dean menepuk pundakku sekilas dan tersenyum, sepertinya berusaha menenangkanku. Tapi sayangnya, itu sama sekali tak membantu dan malah membuatku semakin gugup.
"Sepertinya tak perlu lagi basa-basi, ya? Dean, mama dan Tante Vera ingin menjodohkanmu dengan Cindy. Kalian akan bertunangan bulan depan dan menikah akhir tahun ini."
---
Jantungku serasa mencelos, pun gejolak di dalam perut yang membuatku sangat ingin memuntahkan apa saja isi di dalamnya. Aku segera menutup mataku rapat sembari tetap menunduk ditempat dan meremat kuat kedua tanganku yang sejak tadi berada di atas paha. Dan entah kenapa, hatiku tercekat setelah mendengar ujaran dari mama Dean. Oh, lalu bagaimana dengan Dean? Dia tampak begitu tenang dan tak bergeming. Ekspresi wajahnya pun masih datar selepas pengakuan sang mama. Dean seperti sudah menduga atas apa yang baru saja diutarakan Bu Liana. Tapi, ada satu hal yang berbeda. Sorot mata Dean tampak menajam, hingga aura disekitarnya pun menjadi sangat kelam. Aku merasa dia berusaha mengontrol segala emosi yang saat ini mungkin tengah bergelora.
Di sisi lain, Tante Vera dan Cindy yang duduk nyaman di depanku tampak sumringah dan terus menebar senyum terindah yang mereka miliki. Cindy terlihat tak memutus tatapannya pada Dean sejak awal pertemuan tadi. Ia tampak sekali begitu memuja paras rupawan 'calon tunangannya' yang berada di arah jam 10 dari sudut pandangnya. Sesekali, ia bersitatap dengan Bu Liana sembari tersenyum manis padanya. Berkulit seputih susu ditambah memiliki proporsi wajah yang cantik, dengan hidung bangirnya dan bibir yang tipis, membuat Cindy tampak sangat mempesona. Dengan sapuan make-up yang terbilang cukup tebal, tampak bulu mata palsu dan eyeshadow yang on point, serta lipstik nude diberi gradasi merah ceri. Rambut panjangnya dicat blonde dengan highlight biru muda.
"Bagaimana menurut kalian berdua? Cindy sayang, kamu tidak keberatan, kan?", mama Dean melanjutkan ucapannya dan tersenyum ramah pada Cindy.
"Sama sekali tidak, Tante. Cindy sungguh tersanjung bisa bersama dengan lelaki se-sempurna Dean.", balas Cindy balik tersenyum ke arah Bu Liana.
"Tante tidak salah, kamu benar-benar calon terbaik untuk Dean. Kalau begitu mulai sekarang, biasakan panggil Tante 'Mama' ya, sayang.", timpal mama Dean hangat, menggenggam tangan kanan Cindy yang ada di atas meja.
"Kamu juga Dean, mulai sekarang panggil Tante Vera dengan sebutan 'Mama' ya, nak.", tambah beliau.
"Terima kasih Tante, eh, maksudnya Ma.", ujar Cindy tersenyum malu-malu.
"Dean, gimana? Kamu kok diam saja. Malu, ya?", sahut Tante Vera menggoda Dean.
Dean masih tak bergeming. Tatapan tajamnya tak lepas menghiasi wajahnya yang tampan. Namun, aku menyadari perubahan ekspresinya yang perlahan tampak menegang. Aku hanya dapat menelan ludah beberapa kali ditengah situasi ini. Sungguh, rasanya ingin pergi saja dari tempat ini sekarang juga. Tak henti menundukkan kepalaku, tapi sesekali melihat keadaan sekitar dengan ekor mataku. Berkat itu pula, aku dapat melihat sebelah ujung bibir Dean terangkat sempurna. Bukan lagi tampak seperti sebuah seringai tipis, tapi seperti senyuman remeh dan sarkas. Hal itu membuat atmosfer yang menguar disekitar Dean saat ini terasa semakin gelap. Mungkin ini kali pertama aku melihat ekspresinya sangat tak bersahabat seperti saat ini. Dan untuk pertama kalinya juga, jantungku berdetak jauh, jauh lebih kencang daripada biasanya.
"Maaf, tapi aku menolak perjodohan ini.", akhirnya Dean membuka suara. Nada suaranya terdengar berat dan rendah. Dengan senyum sarkas yang masih setia di bibirnya, ia tampak menyenderkan punggungnya di sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Mata Bu Liana seketika melebar sempurna mendengar ucapan Dean barusan. Wajah beliau berubah merah padam dengan gejolak emosi yang masih tertahan. Kedua entitas yang lain juga tampak mengernyitkan dahinya dengan tatapan tak terima.
"Bagaimana mungkin aku menikahi seseorang yang tidak aku cintai?", Dean melanjutkan. "Apa kalian tidak menyadari kenapa aku membawa Tara kemari? Dialah gadis yang kucintai dan kelak akan kunikahi."
"DEAN KALANDRA!", Bu Liana akhirnya murka seraya menggebrak meja. Kami semua terlonjak kaget, kecuali Dean yang masih tampak duduk tenang di kursinya.
Demi Tuhan, apa-apaan ini maksudnya?? Aku berusaha berpikir keras untuk memahami situasi saat ini. Dean baru saja menyatakan perasaannya padaku dan berkata akan menikahiku?? Di depan Bu Liana, sang mama?? Pendengaranku tidak sedang bermain trik denganku, kan!? Tunggu dulu, ini tidak mungkin terjadi. Aku yakin ada kesalahan disini dan entahlah, kini aku merasa dalam masalah besar berkat pengakuan Dean barusan.
"Jaga ucapanmu, ya! Bisa-bisanya kau menyukai gadis rendahan yang level-nya berbeda jauh dengan Cindy, bahkan ingin menikahinya!? Jangan harap mama akan merestui hubunganmu dengan gadis ini!"
'DEG'
Rematan di hatiku pun terasa menguat. Bukan hanya diremat, tapi rasanya seperti dicabik-cabik hingga tak berbentuk. Harga diriku terhempas oleh ucapan tajam yang dilayangkan Bu Liana terhadapku. Sebegitu rendah kah diriku dimata beliau? Apa aku sebegitu tak berharganya sebagai manusia? Apa aku tidak layak mengecap rasa cinta dan menggapai bahagiaku?
"Mama!! Mama gak pantas mengatakan hal seperti itu pada Tara!", seru Dean menatap tajam ke arah sang mama. Belum sempat Bu Liana membuka suara lagi, aku kemudian angkat bicara.
"Maaf saya meng-interupsi, Nyonya. Saya tidak peduli bagaimana pendapat Anda tentang saya. Tapi dimata Tuhan, pembeda manusia satu dengan lainnya adalah pada seberapa baik akhlaknya.", aku menghela nafas.
"Dan soal perasaan putra Anda, bukankah seharusnya sebagai seorang ibu, Anda menjadi orang yang paling paham bagaimana perasaan putra Anda? Pernahkah Anda memikirkan kebahagiannya?"
"Saya tidak bermaksud menggurui, Nyonya. Tapi saya mohon, setidaknya biarkan Dean, putra Anda memilih jalan bahagianya sendiri. Bukan hasil dikte orang lain, maupun orang tuanya. Maaf saya sudah lancang, dan saya permisi."
Aku lantas berdiri memundurkan kursi dan beranjak pergi dari sana. Tanpa memandang ke arah mereka, aku pergi begitu saja. Muak. Ya, satu kata itu sangat tepat menggambarkan apa yang kurasakan saat ini. Yang kupikirkan sedari tadi adalah bagaimana bisa secepatnya pergi dari tempat yang menorehkan luka begitu dalam di hatiku ini. Tak pernah kusangka sebelumnya, aku akan mengalami penghinaan yang luar biasa seperti ini. Bahkan hinaan ini kudapat dari seseorang yang baru pertama kali kutemui. Dan naas nya, orang itu adalah ibu dari seseorang yang kini menempati tempat spesial dihatiku. Ya, entah sejak kapan Dean menjadi sosok yang membuat hatiku selalu menghangat tiap kali memikirkannya. Aku bahkan memperingatkan diriku bahwa perasaan ini hanyalah rasa kagum semata. Meskipun kami berpijak di bumi yang sama, perbedaan diantara kami terlalu nyata. Tapi sialnya, tanpa permisi sosoknya terus menerobos ke relung hati dan pikiranku sepanjang waktu. Hingga aku seringkali merasa kesulitan untuk mengontrol perasaan ini dihadapan Dean.
Dan lihat saja hari ini. Bagaimana semesta tampak begitu murka padaku yang dengan seenaknya tak menghiraukan peringatan darinya agar aku segera berhenti. Selain perbedaan taraf sosial, bukankah sosok Dean agaknya terlalu cepat menggantikan posisi Kak Bima yang sebelumnya mengisi hatiku? Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa rasa yang kumiliki untuk Dean adalah murni kekaguman, not in a romantic way. Tapi kenapa? Tadi itu rasanya sakit sekali. Bukan dari cara ibu Dean memandang rendah atas diriku, tapi entah kenapa aku jadi sangat peduli pada perasaan Dean? Baru saja kupikir, aku mungkin bisa memantaskan diri dan move on dengan baik. Tapi tampaknya sebelum itu terjadi, kali ini aku harus patah hati lebih awal, bahkan sebelum berkembang. Seperti halnya aku pernah patah hati berkat Kak Bima, kali ini rasanya lebih sakit karena harga diriku-lah yang jadi taruhannya.
Saat aku nyaris saja menekan tombol 'Order' pada aplikasi ojek online, tiba-tiba kurasakan genggaman tangan besar yang menarik pergelangan tanganku begitu saja. Aku terkejut karena melihat punggung Dean yang kini berada tepat dihadapanku. Meskipun sudah berusaha melepaskan genggaman tangannya, tapi ternyata kekuatanku masih kalah jauh dan berakhir dengan terpaksa menurutinya hingga ke dalam mobil. Dean segera melajukan mobilnya keluar dari halaman restoran tadi. Sebelumnya, ia sempat merapalkan kata 'Maaf' beberapa kali, hingga akhirnya melajukan mobil SUV miliknya dengan kecepatan cukup tinggi kemudian membelah jalanan sore itu.
Tuhan, kenapa jatuh cinta terasa menyesakkan seperti ini? Apa ini memang takdirku, yang tidak beruntung dalam hal percintaan?