Malam itu seorang gadis bernama Lily meninggalkan Anna dan para Pitung. Bersama ratusan tentara VOC dan petinggi-petingginya yang ikut menjadi korban pertarungan besar tersebut. Tangisan mereka pun tak dapat tertahan lagi.
Bagaimana tidak! Sang gadis lembut yang biasa bercanda dengan si kembar dan selalu bermasalah dengan Akno yang secara tak sengaja tak pernah peka terhadap tindakannya pada Herman, sang gadis yang selalu mendengar keluhan Daisy dan setia mendengarkan radionya setiap pagi di ruang tengah peternakan Tn. Dekker. Meninggal tanpa menyisakan sedikit pun bagian tubuhnya, seakan tak pernah bereksistensi, tak ada jejak apapun yang di tinggalkannya kecuali beberapa barang yang tertinggal di kamarnya di peternakan.
Layaknya seperti kejadian malam itu sendiri.
Pertarungan hebat yang mengakibatkan kematian hampir seluruh serdadu VOC di Batavia segera ditutupi oleh Kantor Pusat VOC yang ada di Amsterdam yang memutuskan perpindahan pasukan segera dari ambon. Lalu dengan keputusan Heeren Zeventien, Gubernur Jendral baru diangkat dan bersamaan dengan itu menuliskan di berbagai surat kabar bahwa Pieterzcoon meninggal karena penyakit.
1628, sejarah mencatat kegagalan penyerangan Batavia oleh tentara Sultan Agung dan kematian mendadak Pieterzcoon karena penyakit. Namun, sungai yang dipenuhi bangkai itu dan kemunculan Sultan Agung di Batavia entah mengapa secara tiba-tiba terus bergulir di mulut rakyat pribumi menjadi legenda yang tak bisa dihapuskan surat kabar.
Kemudian fajar baru terbit dari sebuah kapal yang berlayar dari Amsterdam, ibu kota Negeri Belanda. Menantikan kisah sang gadis Anna dalam bertahan teguh, berpegang pada harapan.
§
1629, Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Seorang anak turun dari pangkuan ayahnya.
"Aku tak akan bermain terlalu jauh ayah!"
"Baiklah, baiklah, kalau begitu pesan ayah hanya satu, kau tak boleh mengganggu penumpang lain mengerti, Edward?"
"Baik aku mengerti"
Seraya anak itu berlari di lobby kapal baru yang mereka naiki.
Duk duk duk duk...
Dengan gembiranya ia berlari menelusuri lorong lobby kapal tersebut, hingga akhirnya ia berhenti di depan seorang sosok yang asing baginya.
Bertopikan topi jerami dan pakaian kain yang terlihat kusam namun terjulur lebar menutupi tubuhnya yang tegap, sebuah pedang panjang tersarungkan di pinggangnya selagi giginya mengemut sepucuk dahan gandum yang telah menguning siap di panen.
Lalu anak itu memberanikan dirinya untuk menyapa.
"Paman, kenapa paman mengemut dahan itu? ayah bilang kalau kau suka mengemut sesuatu gigi mu akan bolong lho!"
Mendengar sapa polos anak itu, sosok itu berbalik dan menunduk selagi mengelap kepala si anak, dan bersamaan dengan itu suara deringan bel kapal berbunyi menandakan kapal hendak berangkat.
Lalu, bersama dengan embusan angin barat, kapal yang berlayar menuju kota megah di ujung barat pulau Jawa itu berangkat, sambil mengemban nama yang sama dengan kota tujuannya, Batavia.