webnovel

Hari ketiga HUT sekolah. Jumat, 23 November. Sore hari.

Setelah aku diinterogasi, terungkap lagi diriku sebagai pelaku penyebar rumor.

Banyak orang menduga aku adalah pelaku penyebar rumor juga, jadi aku hanya mengaku saja.

Sebagai pelaku perusak dan penyebar rumor, untuk sementara ini, aku diskors atau dalam arti lain, disuruh diam di rumah sampai orang-orang di sekolah mulai menjadi tenang lagi. Dalam kata lain: supaya aku tidak dipukul di wajah lagi. Itulah keputusan yang pihak sekolah ambil untuk sementara ini.

Hari ini adalah hari ketiga HUT, yaitu puncaknya acara HUT sekolah.

Sekolah dibuka pada sore hari untuk diadakan konser yang akan dilakukan artis yang telah diundang pihak sekolah. Seharusnya, lampion-lampion sudah dipasang dan memperindah suasana, tapi karena alasan yang sudah sangat jelas, itu tidak dilakukan.

Pihak sekolah tidak ingin memberatkan para siswa lebih lagi. Tentunya, mereka tidak memaksakan para siswa untuk membuat lampion lagi. Pihak sekolah membatalkan semua kegiatan yang berhubungan dengan lampion dan berusaha sebisa mungkin membayar kembali biaya lampion yang digunakan para siswa.

Kali ini, semua murid berpakaian bebas. Banyak yang datang untuk menyaksikan artis penyanyi itu bernyanyi. Siapa yang tidak ingin? Mungkin hanya satu kali kesempatan saja melihat artis terkenal dengan kedua mata mereka sendiri.

Tak pelak lagi, aku tidak peduli.

"Di mana ayahmu?" Tanya kepala sekolah yang sedang duduk di depanku.

"Kerja." Jawabku singkat. Aku tidak berbohong. Aku juga tidak memberi tahu ayahku bahwa dia perlu datang ke sini.

Aku, Pak Kiyo, dan kepala sekolah sedang duduk di ruangan yang sama. Yaitu ruangan kepala sekolah. Aku duduk di satu sisi, kepala sekolah dan Pak Kiyo duduk di sisi lain; berhadapan denganku.

Hal yang berbeda dari biasanya adalah bekas memar pukulan di pipiku.

Dan dari dalam ruangan ini, aku bisa mendengar suara redup musik, nyanyian, dan sorak-sorai di luar ruangan. Suara redup tersebut justru semakin memperdalam kesunyian dalam ruangan ini.

"..." Aku tidak paham kenapa mereka perlu memanggil aku dan orang tuaku di sini pada hari ketiga HUT. Kenapa harus hari ini? Mereka bisa saja meneleponku atau menjadwalkan di hari lain. Aku heran mereka bisa berani memanggilku ke sini. Mereka tahu bahwa aku kurang lebih adalah seorang kriminal, 'kan?

"Nak," Panggil Pak Kiyo lagi berusaha melanjutkan. "Ini 'kan cuman kesalahpahaman; gimana kalau diberi tahu ke semua orang?"

"Buat apa?" Aku menjawab singkat lagi.

""...""

Yang sedang berbicara denganku adalah orang dewasa. Tentunya dengan kepala mereka, mereka sendiri tahu betapa tidak berartinya memberitahukan kejadian dan motifku yang sebenarnya ke semua orang.

"Hm, ya sudah. Nggak apa, bisa lain kali." Setelah kepala sekolah mendengar penjelasan singkatku, dia menyerah begitu saja dan mengubah topik pembicaraan. "Sabar dan dengarkan dengan tenang, nak. Kami pihak sekolah sudah memutuskan bagaimana jadinya kamu." Di kalimat terakhirnya berubah menjadi formal seolah membuat perbincangan menjadi serius.

"Aku tahu." Aku mengangguk.

"Kamu... tahu?" Kepala sekolah kehilangan kata di tengah jalan.

"Aku dikeluarkan dari sekolah." Jawabku sambil menatap langsung ke wajah mereka.

Aku tidak terkejut. Aku tidak terkejut jika kekacauan dan kontroversi sebesar ini bisa menyebabkan aku dikeluarkan dari sekolah. Aku sudah tahu konsekuensinya ketika aku memutuskan untuk menjalankan rencanaku. Dan aku lebih memilih ini sebenarnya. Mana mungkin aku akan diterima kembali oleh para siswa di sini setelah semua yang telah aku lakukan?

Untuk mengetahui jelas gentingnya situasiku, coba cari di internet kasus-kasus murid yang dikeluarkan sekolah.

Alasan-alasan mereka dikeluarkan tentunya tidaklah sepele.

Jika murid dikeluarkan karena alasan sepele seperti berkelahi, justru reputasi sekolah yang akan berkurang. Tapi kali ini, jika aku tidak dikeluarkan, reputasi sekolahlah yang akan menjadi jelek.

Dan ya, 'kan? Aku tidak bisa menggunakan media massa. Media massa akan lebih fokus ke aku daripada masalah pembulian di sekolah ini. Memberikan bukti-bukti yang aku kumpulkan ke media massa tidak akan memberi dampak yang terlalu efektif.

"Kamu dipanggil di sini untuk diberitahukan terlebih dahulu. Mulai besok kamu tidak perlu datang ke sekolah lagi. Nanti setelah selesai meringkas HUT, polisi dan orang tuamu akan ke sini untuk dibicarakan."

"..."

Bisa dibilang ini adalah sikap dermawan dari sekolah.

Biasanya, jika benar terjadi kasus siswa dikeluarkan sekolah, sekolah tidak akan sebaik hati ini.

Sekolah tidak ingin menerima siswa yang punya sejarah kejahatan.

Contoh simpelnya seperti ini: ada dosen yang terungkap telah melakukan korupsi di universitas, kemudian pihak media bertindak untuk memojokkan universitas, tapi pihak universitas sudah mengeluarkan dosen itu ketika terungkap. Misalnya universitas itu masih tetap melindungi dosen itu, bisa bayangkan apa yang akan terjadi? Universitas itu akan dicaci maki dan dikritis keras karena masih mau menampung seorang kriminal. Maka dari itu, tindakan yang paling tepat dan logis adalah memutus hubungan dosen itu dari universitas.

Contoh yang aku buat memang sedikit berbeda dari kasusku, tapi maksud yang aku sampaikan tetaplah sama.

Bukti lainnya, adalah bagaimana sekolah memberi jalan masuk prestasi. Tentunya ini tidak buruk, karena bisa untuk menyemangati siswa meraih prestasi dan membuat mereka berpikir bahwa mengikuti lomba tidaklah sia-sia. Dan di sisi lain, sekolah juga mendapatkan sebagian reputasi siswa yang berprestasi. "Itu siswa x dari sekolah y" dan prestasi siswa juga akan tercatat dalam sekolah itu, sehingga sering muncul kalimat, "mengharumkan nama sekolah"... layaknya sekolahlah yang menyebabkan siswa itu bisa menjadi berprestasi.

Sekali lagi; intinya, sekolah tidak ingin punya reputasi yang jelek.

Memang sedikit rumit cara kerja sekolah. Sekolah yang sepatutnya lambang perlindungan bagi anak dan remaja, pada dasarnya adalah sistem busuk yang diatur oleh orang dewasa.

Aku lebih terkejut bahwa aku masih dianggap sebagai murid sampai selama ini. Kukira, aku akan langsung dikeluarkan ketika aku terungkap sebagai pelakunya.

Justru, aku lebih heran kenapa pihak polisi belum memenjaraku. Perbuatanku sudah cukup jelas adalah tindakan kriminal. Merusak fasilitas sekolah; apa itu bukan tindakan kriminal? Apa tidak ada dari pihak siswa atau pihak orang tua siswa yang mengajukan komplain ke sekolah atau menelepon polisi?

Seharusnya, waktu sekarang ini aku sedang ditahan di LPAS (Lembaga Penempatan Anak Seementara) atau dengan kata lain adalah tempat di mana anak ditahan ketika masih menunggu hasil dari proses peradilan.

Namun di sinilah aku.

"..." Aku melirik ke kepala sekolah. Tentunya ini bukan karena kepala sekolah memanfaatkan pengaruhnya, 'kan?

Alasan yang logis adalah ini perbuatannya kepala sekolah. Dia bisa menggunakan sistem pendekatan Restoratif dan Diversi. Aku tidak yakin dia akan berhasil menggunakan kedua pendekatan tersebut untuk membebaskanku dari genggaman hukuman pidana. Berarti dia menggunakannya untuk menunda aku diproses peradilan pidana...?

Aku tidak tahu dengan yakin atau spesifik apa yang dia lakukan di latar belakang, tapi kepala sekolah pasti menggunakan hubungannya dengan banyak orang untuk menunda aku dipenjara, mungkin dengan alasan ingin menyelidiki ini lebih dalam lagi supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman yang bisa merusak nama baik sekolah? Atau dengan alasan bahwa dia tidak ingin menarik perhatian media massa selagi HUT sedang berlangsung dan tidak ingin mengganggu murid-murid menikmati masa mudanya? Itu bisa saja.

Ini hanya sekedar dugaanku. Aku tidak tahu seberapa tulus perbuatannya. Tapi apa pun itu, aku bisa ada di sini berbicara dengan mereka karena pengaruh kepala sekolah.

"..."

Aku sendiri tidak tahu apa yang pak kepala sekolah ini sedang pikirkan, dan apa yang dia pikirkan tentangku. Tapi aku tidak bisa merasakan ada kebencian di matanya... Apa yang Pak Kiyo katakan kepadanya? Apa dia cocok jadi kepala sekolah? Atau justru karena dia berusaha melindungi muridnya yang paling bermasalah, dia bermartabat tinggi?

Bagaimanapun juga, pada akhirnya aku akan dikeluarkan dari sekolah, dan aku akan menghabiskan beberapa bulan hidupku di rumah tahanan setelah HUT sekolah ini selesai.

Inti dari perbincangan kami sangat simpel.

Kepala sekolah dan Pak Kiyo menyampaikan keinginan mereka untuk membantu aku ketika aku akan diproses peradilan pidana nantinya. Itu berarti pihak sekolah akan ada di pihakku.

Mereka bisa mengatakan maksud dari tindakanku yang sebenarnya, tapi aku tidak yakin itu dapat mengubah pikiran mereka, ataupun dapat memercayai bahwa "seorang remaja menghancurkan sekolah untuk membuat HUT lancar".

Aku juga mengingatkan dengan tegas ke Pak Kiyo, bahwa dalam situasi apa pun, jangan pernah mengungkapkan bahwa Pak Kiyo telah ikut campur ke dalam perusakan sekolah.

Pak Kiyo telah membiarkan aku masuk ke sekolah, dalam arti lain, dia adalah komplotan dari tindak kejahatanku. Aku tidak ingin merumitkan masalah lebih lagi bagi Pak Kiyo maupun kepala sekolah. Bisa saja teman-temanku yang mendengar bahwa Pak Kiyo juga termasuk sebagai pelaku, menjadi buta dan mengambinghitamkan Pak Kiyo hanya karena dia adalah orang dewasa di kasus ini.

Pak Kiyo sama sekali tidak tahu bahwa aku bisa dipenjara pada akhirnya nanti, jadi aku khawatir dia akan sangat merasa bersalah sekali sampai mengungkapkan kebenarannya atau membuat semacam kegaduhan untuk menarik kesalahanku. Maka dari itu, aku mengingatkannya dengan tegas sekarang.

Mengetahui bahwa pihak sekolah ada di sisiku, melepaskan beberapa beban yang akan kuhadapi.

Mungkin banyak orang akan terkejut tentang ini, tapi ya, memang seorang "anak" bisa ditahan. Lebih tepatnya adalah manusia yang telah berumur 12 tahun dan di bawah umur 18 tahun. Karena anak yang belum mencapai umur 12 tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Aku berumur 17 tahun dan 9 bulan sekarang. Itu artinya, aku termasuk sebagai "anak".

Aku akan menjalani masa pidanaku di penjara anak atau yang pemerintah sebut adalah LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak). Sayangnya, tidak ada LPKA di dekat daerah ini, jadi kemungkinan besar aku akan masuk Lembaga Pemasyarakatan.

Jika masa pidanaku masih belum selesai dan aku telah mencapai umur 18 tahun, aku akan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Pemuda. Jika tidak terdapat Lembaga Pemasyarakatan Pemuda, aku bisa langsung dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Dewasa oleh Kepala LPKA berdasarkan rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan. Semua ini sudah tercantum di dalam hukum tertulis.

Pemindahan ke tempat lain tidak menjadi masalah bagiku. Aku tidak khawatir ketika aku mencapai umur 18 tahun nanti. Yang terpenting adalah tindakan kriminal yang telah aku lakukan terjadi ketika aku masih berumur di bawah 18 tahun. Lagi pula, meskipun LPKA tidak ada di dekat daerah ini, Lembaga Pemasyarakatan Pemuda ada.

Idealnya, aku ingin menyelesaikan masa pidanaku sebelum masa SMA kelas dua selesai. Itu artinya, Juni tahun depan adalah deadlinenya.

Dan di sinilah dukungan pihak sekolah sangat membantuku.

Mereka bisa mengatakan seluruh tindakan kebaikanku ketika aku belajar di sekolah ini. Mereka bisa mengatakan prestasi dan nilaiku. Mereka bisa menyampaikan betapa putihnya catatan pada namaku ketika aku di sekolah ini. Harapanku dengan bantuan mereka, bisa mengurangi masa pidanaku dengan drastis.

Setelah itu, aku hanya perlu mengandalkan kemampuanku sendiri.

Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana. Remisi Umum yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus. Remisi Khusus yang diberikan hari keagamaan sekali dalam setahun. Remisi Tambahan yang diberikan kepada anak yang telah berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di LPKA. Remisi Khusus Anak yang diberikan setiap Hari Anak Nasional (23 Juli di Indonesia). Remisi Susulan diberikan kepada yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan tetap dan belum pernah memperoleh remisi. Remisi tidak akan diberikan kepada anak yang dipidana kurang dari tiga bulan. Semuanya sebagaimana tercantum di dalam Permenkumham 3/2016 dan Permenkumham 3/2018.

Ada banyak hal selain remisi, tapi yang bisa kuandalkan sekarang hanyalah remisi dan beberapa sistem cuti. Walaupun begitu, mungkin aku tidak akan menggunakan sistem cuti ini sama sekali. Aku akan lebih fokus mengurangi masa pidanaku daripada menunda-nunda dengan melakukan hal rumit seperti cuti.

Yang terpenting, aku hanya perlu bersikap baik dan meraih banyak prestasi. Cukup mudah. Tidak akan lebih susah dari yang kulakukan selama masa SMA ini. Dugaanku, kurang lebih aku bisa menyelesaikan masa pidanaku tiga atau lima bulan.

Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 3 huruf g UU SPPA: "tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat..."

Tentunya ini sekedar dugaanku. Aku tidak tahu pasti cara kerja hukum maupun seluk-beluknya. Bisa saja dugaanku meleset jauh sekali dan aku dipenjara lama sekali.

Para korban dari tindakan kriminalku mungkin tidak akan peduli aku bisa keluar dari hukuman "penjara" dalam waktu tiga bulan. Aku tidak percaya mereka tahu bagaimana cara kerja semuanya ini. Asalkan mereka tahu bahwa faktanya aku telah dipenjara, mereka akan berhenti peduli dan melupakan keberadaanku. Manusia sangat bebal mengenai hal seperti ini. Berapa banyak orang yang sebenarnya tahu jumlah pembunuh yang dibebaskan dari penjara tahun ini?

Perbincangan kami tidak berlangsung lama.

Kepala sekolah masih sibuk karena harus mengurus HUT dan dengan begitu, menandakan selesainya perbincangan.

Hari ini adalah hari terakhir aku bisa beranjak di sekolah ini sebagai siswa sekolah ini.

Pada awalnya, aku memutuskan untuk tidak berkenalan dan berteman baik dengan kepala sekolah- mungkin adalah salah satu penyesalan yang aku miliki di sekolah ini.

Aku keluar ruangan dan aku disambut suara ramai dari konser. Aku juga bisa melihat semacam cahaya warna-warni di halaman besar; kemungkinan adalah lampion-lampion yang dipajang.

Kepala sekolah mengunci ruangan dan menyampaikan salam jumpa, kemudian Pak Kiyo juga mengangguk dan berjalan bersama di sampingku.

Aku ingin segera pulang selagi perhatian orang-orang masih menuju ke konser.

"Nak." Pak Kiyo memanggilku.

Dari suaranya yang memanggilku, aku tahu dia bermaksud melanjutkan perbincangan denganku. Tapi kalau kita berdua berdiri di sini terus, orang akan tahu bahwa aku ada di sekolah.

Kan bisa lanjut lewat telepon atau entah apa.

"..." Kakiku terasa gatal untuk segera pergi dari tempat ini. Aku menolak Pak Kiyo dengan mengabaikannya dan terus berjalan pergi.

"Caranya bagaimana... caranya kamu mengubah Silvia Anggraini?"

"?" Kakiku berhenti di tengah jalan.

Kali ini aku yang menjadi penasaran. Aku tidak pernah ingat memberitahukan apa pun kepada Pak Kiyo tentang Silvia Anggraini.

Merasa puas telah berhasil menghentikanku, Pak Kiyo melanjutkan, "Selain Majelis langsung jadi lancar lagi, ada 20-an orang yang mengajukan diri untuk menjadi anggota OSIS."

"Ho." Aku menyuarakan geliku.

Aku bisa membayangkan kebingungan Pak Kiyo ketika mendapat banyak sekali permintaan untuk menjadi anggota OSIS oleh banyak orang dengan tiba-tiba dan bersamaan.

Aku bisa menduga beberapa alasan kenapa Pak Kiyo mengambil kesimpulan bahwa akulah penyebabnya. Meskipun begitu, asumsi Pak Kiyo tidak jauh salah, tapi juga tidak benar.

"Oke." Aku memutuskan untuk memuaskan rasa penasaran Pak Kiyo. "Begini. Kalau dilihat baik-baik, Silvia Anggraini adalah orang yang baik, 'kan?" Aku mulai membimbing Pak Kiyo dengan perlahan.

"Ya. Dia baik hati dan pekerja keras."

"Terus, kenapa awalnya dia dibenci banyak orang?"

"...Karena orang-orang nggak suka sifatnya?" Pak Kiyo ragu-ragu ketika menjawab pertanyaanku. Mungkin karena dia kurang yakin, atau karena dia tidak suka mengakui kenyataan itu.

"Hm." Aku mengangguk, setuju dengan jawabannya. "Ada banyak alasan lain, tapi alasan terbesarnya adalah itu. Silvia Anggraini; bisa dibilang, adalah orang yang terlalu serius. Seorang pemimpin harusnya bisa mengimbangi keseriusan dengan keceriaan, atau entah semacam itu. Silvia Anggraini tidak disukai karena sifatnya yang terlalu kaku, serius, dan susah untuk diajak berteman."

"Hm-mm." Pak Kiyo ikut mengangguk.

Pak Kiyo memang seharusnya dari awal sudah sadar akan hal ini, jadi sebenarnya aku tidak perlu memberitahunya. Bahkan, Pak Kiyo sendiri setuju dari awal bahwa Silvia Anggraini adalah anak yang baik, cuman, orang-orang lainnya saja yang terlalu busuk untuk sadar akan hal ini.

"Tapi kalau diperhatikan, itu adalah bentuk maksud baiknya. Sifat baiknya adalah keseriusannya itu. Antara seorang ketua OSIS yang selalu bermain-main dan tidak pernah mengerjakan tugasnya, dengan Silvia Anggraini yang selalu serius dan menyelesaikan semua tugasnya tanpa masalah... di sini, yang lebih baik yang mana? Tidak hanya itu. Silvia Anggraini pernah membuat keributan karena bertengkar dengan pembuli untuk melindungi Nathania Dea."

Silvia Anggraini tidak salah. Silvia Anggraini tidak pernah salah.

Hal-hal yang dia lakukan demi Nathania Dea tidaklah salah. Hal-hal yang dia lakukan demi sekolah dan HUT tidaklah salah.

Meskipun aku pernah menceramahinya bahwa dia salah, itu kurang lebih hanyalah kebohongan supaya Silvia Anggraini menjadi pecah. Di dalam hatiku sendiri, aku tahu bahwa dia tidak salah. Aku hanya membengkokkan kebenaran dan memaksakan cara berpikir yang tidak benar terdengar logis.

Penyebab Silvia Anggraini dibenci banyak orang sepatutnya bukanlah salahnya. Seharusnya bukanlah salah Silvia Anggraini. Seharusnya dia tidak dibenci.

Hanya karena sifat Silvia Anggraini dibenci banyak orang, bukan berarti sifat Silvia Anggraini adalah salah. Ditolak bukan berarti salah.

Seseorang yang berusaha menghentikan pembulian seharusnya dipuja-puja karena tindakannya yang sangat susah sekali dilakukan kebanyakan orang; aku tidak terkecuali dari "kebanyakan orang" tersebut. Aku bukanlah Silvia Anggraini. Aku tidak pernah berpikiran untuk membantu Nathania Dea lepas dari pembulian selama dua tahun di sekolah ini.

Tapi kenyataannya apa?

Masyarakat membencinya karena Silvia Anggraini tulus dan adil. Mereka tidak berpihak pada orang yang bertindak kebaikan.

Itulah sebabnya masyarakat dan manusia sangatlah busuk.

Namun, bagaimana dengan sekarang?

Silvia Anggraini akan terus tumbuh dan berkembang. Dengan mayoritas ada di sisinya, tidak ada masalah eksternal yang menghalang perkembangannya.

Aku perlu Silvia Anggraini melihat kekuatan dari dukungan mayoritas dan berhenti menjadi penyendiri. Aku perlu Silvia Anggraini melihat keuntungan yang disediakan oleh kekuatan mayoritas.

Alasan inilah kenapa aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah pembulian. Aku tidak yakin apakah pembuli tersebut akan benar-benar berhenti, maka dari itu aku memotong akar permasalahan untuk menghilangkan faktor ketidakpastian, yaitu pembuli tersebut.

Masalah pembulian ini telah sejak ada dua tahun lalu dan menjadi bagian besar dari kehidupannya di SMA. Teman dekatnya disiksa oleh pembulian, jadi dia memiliki ikatan emosional dengan masalah pembulian. Dan dengan masalah pembulian telah terselesaikan, pengaruhnya terhadap inti sari Silvia Anggraini akan besar.

Jika dilihat dari perspektif Silvia Anggraini, setelah dia memperoleh kepercayaan banyak orang, masalah pembulian hilang dengan sendirinya. Silvia Anggraini akan mulai melihat betapa pentingnya citra publiknya. Silvia Anggraini akan mulai belajar berinteraksi lebih baik dengan berbagai macam orang. Silvia Anggraini akan mulai bekerja sama dengan berbagai macam orang dengan rela.

Dengan lingkungan yang sangat menerimanya, Silvia Anggraini hanya akan terus bertumbuh dari sekarang.

"...Begitu." Pak Kiyo mengangguk lagi seolah telah berhasil menyambungkan titik-titik yang kuarahkan. "...Eh?" Pak Kiyo semakin terlihat kebingungan. Itu karena dia merasa paham, tapi di saat yang sama, dia tidak bisa paham. "Terus... kenapa kamu menghancurkan itu semua..." Pak Kiyo mengeluarkan kata-katanya dengan patah-patah. Aku bisa merasakan bahwa ini adalah pertanyaan sesungguhnya yang ingin ditanyakan olehnya dari awal.

Meskipun kalimatnya keluar tidak jelas, aku masih bisa menangkap maksudnya. Pak Kiyo sedang menanyakan kenapa aku merusak kelas-kelas.

Kalau tujuanku cuman membuat orang-orang menyukai Silvia Anggraini, lalu kenapa aku perlu merusak kelas-kelas?

"Dengan meneriakkan kebencian kejahatan yang kuperbuat di depan umum, itu membuka dan menyinari mata orang-orang-- bahwa Silvia Anggraini adalah orang yang baik." Aku menjawab dengan ketenangan seperti biasa.

"..." Pak Kiyo teringat. Pak Kiyo mendengar dari cerita orang lain, bahwa Silvia Anggraini sendiri yang tiba di kelasku dengan marah dan mengungkapkan pelaku sebenarnya. Pak Kiyo juga teringat bahwa dia sendiri yang memberikan bukti nota tersebut ke Silvia Anggraini atas perintahku.

Kemudian, semua titik dan garis tersambung menjadi satu.

Pak Kiyo betul-betul tahu sekarang. Pak Kiyo telah melihat kebenarannya. Kebenaran di balik tindakanku.

"Aku tidak pernah mengubah sifatnya sehingga dia jadi disukai semua orang. Sifatnya dari awal memang tidak perlu diubah."

Memang alasan Silvia Anggraini dibenci adalah karena sifatnya, tapi bukan berarti aku harus mengubah sifatnya untuk menyelesaikan masalah, justru orang-orang di sekitarnyalah yang harus berubah.

Memangnya, hanya karena sifat seseorang berubah, apa itu akan membuat semua orang tiba-tiba menyukainya?

Tentunya tidak. Itu hanya akan memunculkan sikap skeptis.

Dari awal, tujuanku bukan untuk mengubah Silvia Anggraini.

"Aku tidak melakukan banyak hal. Silvia Anggraini sendirilah yang dari awal sudah memiliki sifat yang patut dihormati. Yang kulakukan hanyalah menjadikan dunia menerima Silvia Anggraini."

Aku sudah menjelaskannya secara runtut, jelas, dan singkat. Semua tindakanku selama ini memperhitungkan semua psikologi manusia. Semua tindakanku pada akhirnya membuahkan hasil yang diinginkan Pak Kiyo dan membuat semua orang bahagia.

Namun entah kenapa, ada satu orang di depanku yang masih tidak mau setuju denganku.

"Terus kenapa?! Tapi nak Silvia sudah berubah 'kan?! Terus kenapa kamu tetap menghancurkan semuanya itu?!" Pak Kiyo berteriak marah sampai dia lupa bahwa aku telah berkali-kali menjelaskan: aku tidak pernah mengubah sifat Silvia Anggraini.

"Hanya kepadaku saja." Aku menyindir perubahan yang dibicarakan Pak Kiyo. "-Bukan berarti dia terbuka di hadapan orang lain. Dia akan tetap menjadi Silvia Anggraini yang lama di hadapan orang lain. Itu tidak bisa disebut sebagai bertumbuh ataupun berubah."

Jika Silvia Anggraini terlihat berubah, maka rencanaku betul-betul berhasil. Kenyataannya, aku hanya mengubah cara pandang bagaimana orang-orang melihat Silvia Anggraini. Pak Kiyo sendiri pun tertipu. Bahkan, Pak Kiyo bersikeras mengatakan bahwa aku telah mengubah Silvia Anggraini.

"Terlihat berubah" bukan berarti sama dengan "berubah".

Juga, dari awal, aku hanya mengubah cara pandang bagaimana dia melihatku (dan itu pun tanpa sengaja). Jadi, jika tiba-tiba dia menjadi terbuka hanya kepadaku saja, itu hanya karena dia menganggap sebagai orang yang dapat dipercaya.

Lebih tepatnya, aku tidak bisa mengubah sifat Silvia Anggraini. Jadi--

Jika aku tidak bisa mengubahnya,

Maka setidaknya, aku bisa mengubah lingkungan di sekitar Silvia Anggraini.

Ubah norma.

Ubah cara dunia memandang Silvia Anggraini.

"Tapi-" Pak Kiyo kelihatannya masih belum paham dari penjelasanku.

Maka, sekali lagi aku menjelaskan.

"Sebenarnya." Dengan jengkel, aku menyela Pak Kiyo. "Aku tidak menyulap Silvia Anggraini menjadi orang yang disukai semua orang. Yang kuperbuat hanyalah membuatnya lengah dan terbuka kepadaku. Kemudian, dengan memanfaatkan keterbukaannya kepadaku, aku mengkhianatinya. Dengan begitu, dia merasa tersakiti, terkhianati, dan marah terhadapku. Hingga akhirnya, dia meledakkan kemarahannya kepadaku di depan umum."

"Hanya untuk itu saja kamu merusak semua itu?!" Pak Kiyo berteriak mendengarku begitu.

"Kenapa kaget?" Sebenarnya aku bisa mengerti kenapa Pak Kiyo terkejut dan menjadi marah.

"Merusak semua itu", ya?

Ketika Pak Kiyo meminta pertolonganku, dia menyerahkan semuanya padaku. Hanya saja, dia telah salah sangka.

Pak Kiyo mengira aku adalah semacam dukun yang bisa membetulkan semua masalah tanpa ada risiko sama sekali.

Itulah alasan psikologinya kenapa dia rela membiarkan aku merusak semua itu.

Hanya karena dia memercayaiku, dia telah membiarkan seorang murid menghancurkan fasilitas-fasilitas sekolah dan barang-barang kerja keras para murid, kemudian dia menyalahkanku tanpa melihat dirinya sendiri terlebih dahulu. Guru yang luar biasa.

Dia berpikir aku merusak semua kelas demi mencapai tujuan yang luar biasa di mana semua orang akan hidup damai, entah seperti itu mungkin? Orang sepertinya berpikir semacam itu, tidak terlihat aneh di mataku.

Pada awalnya, dia pasti memikirkan banyak sekali solusi secara naif.

Jika kamu mengurung dirimu sendiri dengan pilihan yang sama terus menerus, kamu tidak akan pernah menemukan jalan keluarnya.

Karena itulah Pak Kiyo pasrah. Karena itulah Pak Kiyo menyerah dan meminta tolong padaku.

Dan aku memenuhi keinginannya dengan cara yang paling memuakkan.

Karena itulah dia marah.

Dia marah karena harapannya terpenuhi dengan cara yang tidak dia inginkan.

Yang kemarahannya ditujukan seharusnya bukan ditujukan kepadaku, melainkan kepada dirinya sendiri yang berpasrah kepada seorang psikopat.

"Terus kenapa kamu hancurkan semua kelas?! Kenapa-! Setidaknya satu saja, atau cara lain atau entah gimana!" Pak Kiyo mulai kehilangan kemampuan berbicara dengan jelas.

"Tentunya bukan untuk membuat Silvia Anggraini marah saja." Aku menangkis ocehannya dengan tenang. "Dengan merusak semua kelas, aku juga mendapat kebencian semua siswa. Dan yang Silvia Anggraini telah lakukan adalah memimpin kebencian itu."

"'Memimpin'?" Pak Kiyo menjadi bingung terhadap satu kata yang aku ucapkan.

"Kata kias." Jelasku singkat. "Maksudku, Silvia Anggraini adalah orang yang pertama kali menemukan pelaku sesungguhnya dan memojokkannya. Di sini, wujud kejahatannya adalah aku. Dengan membuat Silvia Anggraini melawanku; yaitu kejahatan, itu juga menjadikan Silvia Anggraini sebagai kebaikan. Logika simpel psikologi manusia: yang melawan jahat adalah baik."

"...Apa bisa semudah itu?"

"Entah. Tapi buktinya, aku sangat dibenci." Kataku sambil menunjuk bekas memar di pipiku. Di pipiku adalah bukti fisik yang tidak dapat ditentang.

Jika aku tidak menghancurkan semua kelas itu, rencanaku tidak akan pernah berhasil.

Tidak ada alasan lain selain untuk mendapatkan semua kebencian itu demi satu momen yang kurencanakan.

Aku ingat aku pernah memberi tahu Pak Kiyo, bahwa aku merusak kelas-kelas karena itu adalah cara yang paling efisien... Tidak kusangka, penjelasannya menjadi sangat tidak efisien. Oh, betapa ironisnya.

"Sekarang sudah betul-betul paham, 'kan? Aku ingin pulang." Aku tidak menunggu Pak Kiyo mempersilahkanku dan segera melanjutkan langkahku ke parkiran sepeda.

Oh, aku juga telah mengurus pembuli itu. Tapi karena Pak Kiyo tidak menanyakannya, aku tidak perlu memberitahunya, nanti akan jadi rumit lagi seperti tadi.

"Aku salah! Aku salah, oke? Aku paham sekarang... Tapi... kamu gimana?" Pak Kiyo terus melanjutkan berbicara meskipun aku sudah dengan jelas menyatakan berakhirnya pembicaraan ini.

Apa lagi ini?

"Apanya?" Dengan jengkel dan kerutan di keningku, aku menengok ke belakang lagi.

"Kamu nggak sadar...?" Pak Kiyo menggumam di depan wajahku. "Kamu bilang ini 'efisien'? Apa memang betul ini efisien?! Merusak sekolah terus membuat orang-orang melihatmu jahat; itu jelas ribet, nak!"

Salah.

"Untuk apa kamu setiap pulang sekolah membersihkan kelas? Kamu dapat apa?! Kenapa kamu menolong nak Silvia? Kenapa kamu membantu menyelesaikan masalah OSIS?! Kamu membantu menyelesaikan HUT; kenapa? Terus yang kamu lakukan waktu SMP itu... kenapa?"

Pak Kiyo tidak tahu. Pak Kiyo tidak paham.

"Nak... kamu tidak sedingin yang kamu kira."

Jangan samakan aku.

Aku tidak berbicara dan ingin mendekati mereka karena kemanusiaanku.

Mereka berguna. Mereka bisa dibodohi.

Aku menciptakan sebuah persona... sebuah topeng, tepatnya demi mendapatkan kesan seperti itu. Menjadi lebih disukai, lebih dikenal, mendapatkan bantuan dan simpati. Itu semua demi informasi, hubungan, pertemanan.

Tapi itu tidak lebih dari sebuah kebohongan. Itu bukan kebenaran. Itu bukan sifat asliku. Dan sekarang, Pak Kiyo menganggap bahwa itu adalah diriku yang asli.

"Aku tahu ini salahku. Aku... ingin kamu bisa membantuku membetulkan Majelis supaya HUT bisa berjalan lancar... Aku tahu apa yang mau terjadi, tapi aku tetap aja... aku tetap aja mengandalkanmu. Terus makanya kamu..." Kata Pak Kiyo mencela dirinya sendiri dengan rungutan di bibirnya.

"Hei." Kemudian, Pak Kiyo menyentuh satu titik itu.

Tutup mulutmu. Sudah cukup. Aku sudah tahu. Aku sudah cukup mendengar.

"Seharusnya kamu tahu betapa berharganya dirimu sendiri, nak. Kamu selalu melakukan ini, 'kan? Tapi bisa nggak, kamu berhenti... mengorbankan dirimu sendiri untuk menyelesaikan masalah?"

"..." Kejengkelan dan kepahitan mengumpul di lidahku.

Aku merasa kecewa.

Kukira, mungkin Pak Kiyo, satu-satunya yang tidak berubah setelah mengetahui wajah asliku, telah memahami aku. Kukira, Pak Kiyo paham bahwa tidak ada batasan manusiawi di dalam diriku.

Tapi ia tidak paham. Ia tidak pernah paham dari awal.

Jangan memandang rendah diriku dengan simpatimu. Jangan kasihani aku.

"Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangku. Kalau sesuatu terjadi di depanku, itu adalah urusanku, bukan urusan orang lain. Jangan ikut campur kalau kamu sendiri tidak bisa lihat apa yang sebenarnya terjadi." Dengan sekali nafas aku melontarkan penolakan kepada Pak Kiyo.

Ahh, sangat menjengkelkan.

Dunia ini adalah pandangan subjektifku. Apa yang salah di mata orang lain, aku tidak pedulikan dan tidak perlu kupedulikan.

Jika aku membuat pilihan dan gagal, itu tidak apa. Tapi di mata Pak Kiyo, aku dinyatakan kalah dan telah mengorbankan diriku demi orang lain. Tapi bagiku sendiri, aku telah berhasil mencapai tujuan dari pilihan yang kubuat sendiri.

Aku berhasil menghancurkan pembulian Nathania Dea. Aku berhasil melancarkan HUT. Aku berhasil membuat Silvia Anggraini disukai banyak orang.

Kenapa aku harus merasa bersalah atau merasa tersakiti?

Kenapa justru Pak Kiyo yang merasa tersakiti?

Kenapa aku harus diberi belas kasihan?

Kalau tidak ada yang tersakiti dari awal, kenapa aku harus dipandang belas kasihan seperti itu?

Jangan bersikap sok tahu, orang dewasa. Hanya karena kamu lahir beberapa tahun lebih awal dariku, itu tidak menjadikanmu orang yang paling bijak di muka bumi ini.

Pak Kiyo dengan lemah menurunkan pandangannya. "Ketika kamu..." Perlu cobaan kedua kalinya hingga Pak Kiyo bisa mengeluarkan perkataannya, "Ketika kamu menolong orang lain, bukannya kamu ingin orang lain untuk menolongmu?"

"Cukup."

Pak Kiyo tidak mengerti apa-apa.

Aku lahir berbeda. Aku tidak bisa merasakan apa pun.

Aku tidak memiliki perasaan atau emosi yang orang bisa sebut sebagai perasaan manusiawi.

Pak Kiyo; singkatnya mengatakan bahwa, selama ini usahaku telah kulakukan demi orang lain dan supaya orang lain memedulikanku. Dia mengira aku bisa merasa simpati? Dia mengira aku ingin simpati?

Jangan bercanda.

Aku tidak ingin kebaikan atau simpati hangat seperti itu.

Aku tidak ingin simpati klise drama remaja yang bisa mencucurkan mata makhluk busuk itu.

Aku melakukan ini semua bukan untuk diberi pujian. Aku melakukan ini semua bukan karena aku adalah karakter tragis yang ingin pertolongan.

Motivasiku bukanlah agung, terhormat, ataupun tragis. Motivasiku adalah sepele.

Jangan jadikan aku sebagai pahlawan. Jangan dirikan patung untuk menghormatiku.

Itu menjijikkan.

Jangan samakan aku dengan manusia lainnya yang menangis karena cerita fiksi. Jangan samakan aku dengan manusia yang selalu bermimpi suatu hari cerita di drama-drama akan terjadi nyata. Jangan samakan aku dengan manusia yang sama yang telah menolak Silvia Anggraini.

Itu memuakkan.

Dia mengira aku melakukan ini demi kebaikan?

Hah!

Aku melakukan ini semua karena alasan yang sepele. Bukan karena ideologiku. Bukan karena sifatku. Bukan karena rasa keadilanku. Bukan untuk diri sendiri ataupun orang lain.

Ini adalah hidupku dan hidupku sendiri. Tidak ada siapa pun yang bisa menentukan alasan apa yang telah kuperbuat.

Kamu orang dewasa cuman ingin merasa enak, jadi berhentilah menganggap layaknya kamu di atasku.

Jangan belas kasihani aku dan jangan memboroskan simpatimu untukku. Itu hanya untuk kepuasan dirimu saja.

"..." Akhirnya aku melangkah. Tidak ada kata-kata atau tangan yang dapat mencegahku untuk melangkah pergi dari sini.

Aku tidak akan membiarkannya memanggil ini pengorbanan diri ataupun teriakan pertolongan. Itu adalah penghinaan yang lebih hebat dari apa pun; sebuah penghujatan terhadap seseorang yang hidup di dalam keputusasaan.

"Nak... aku beberapa kali mendengarmu memanggil orang lain dengan nama lengkap mereka."

Nama... lengkap...?

"Nak, aku pikir itu memang sedikit aneh, tapi sekarang aku tahu kenapa kamu memanggil dengan nama panggilan mereka."

Meskipun sebelumnya aku menyatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan diberhentikan oleh apa pun, pada akhirnya langkah kakiku berhenti di tengah jalan.

Itu menyadarkanku akan fakta yang diungkapkan Pak Kiyo: kenapa selama ini aku menyebut nama orang lain dengan nama lengkap?

Aku tidak ingat kapan pertama kali aku memulainya. Aku hanya ingat dari awal, aku selalu menggunakan nama lengkap untuk menyebutkan nama orang lain dalam hatiku.

Tentunya, dalam perbincangan biasa aku memanggil orang lain dengan nama panggilan mereka. Tidak mungkin aku memanggil mereka dengan nama lengkap di dunia nyata, itu akan jadi kaku.

Ketika aku berbicara dengan Pak Kiyo tadi, nama lengkap Silvia Anggraini juga keluar dari mulutku.

Jika ingatanku betul, aku juga telah beberapa kali menyebut nama orang lain dengan nama lengkap mereka di depan Silvia Anggraini dan pembuli.

Kenapa?

Kenapa aku mulai memanggil orang lain dengan nama lengkap mereka? Kapan itu dimulai? Sudah jelas secara logis, akan lebih cepat mengucapkan nama orang lain dengan nama panggilan mereka, seperti yang setiap kali aku lakukan jika aku berbicara dengan mereka. Apakah aku melakukannya karena aku kira itu keren? ...Tidak. Apakah yang kulakukan selama ini aneh? Mungkin iya. Pak Kiyo pikir itu aneh, jadi mungkin apa yang kulakukan tidak normal. Pemikiran logis apa yang membuatku menyebut nama orang lain dengan nama lengkap mereka?

"..." Aku betul-betul terkejut sampai aku tidak bisa mengucapkan apa pun kembali ke Pak Kiyo. Pertama kalinya dalam hidupku, aku terdiam tercengang di tempat. Wajah apa yang kubuat sekarang?

Apa yang bisa kukatakan; jika aku sendiri tidak tahu jawabannya? Jika aku berbohong, kebohongan apa yang akan kulontarkan?

"Kamu takut sakit." Pak Kiyo mendeskripsikan kebalikan dari diriku. "Kamu memanggil mereka dengan nama lengkap supaya kamu nggak merasa akrab. Kamu tahu sendiri kamu sedang memanfaatkan mereka, jadi kamu sengaja menjauhkan dirimu, supaya kamu nggak merasa bersalah."

"..."

"Kamu nggak sejahat yang kamu kira, nak." Pak Kiyo melangkah mendekat dan menaruh tangannya di atas kepalaku. Dia mulai mengelus kepalaku. "Kamu itu anak baik. Kamu telah berbuat baik... banyak kebaikan. Dan aku yakin, kamu telah berbuat lebih banyak hal baik di luar pengetahuanku."

"..." Beberapa hal yang telah kulakukan tanpa sepengetahuan Pak Kiyo, lewat sepintas di pikiranku.

"...Aku pernah mendengarnya dari ayahmu... Ibumu meninggal waktu kamu kecil, 'kan? Maaf. Ayahmu yang beritahu aku. Waktu itu kamu nggak menangis. Jadinya... apa kamu takut sama dirimu sendiri karena kamu nggak bisa menangis? Apa kamu mencari alasan kenapa kamu nggak bisa menangis? Maka dari itu, kamu kira dirimu adalah jahat, nak?"

"..."

"Supaya kamu bisa memberi alasan kenapa kamu nggak bisa menangis... kamu melihat dirimu sendiri sebagai manusia tanpa perasaan?" Selagi dia berbicara, dia menunjukkan pandangan belas kasihan.

"Sudah selesai?" Aku menyingkirkan tangan Pak Kiyo dari kepalaku.

Aku tidak membuka mulutku tadi, karena aku kira Pak Kiyo punya alasan yang bagus... Ternyata itu cuman kosong.

Aku lebih terkejut lagi dia bisa memanggilku semacam "anak baik", setelah semua yang telah aku lakukan. Dia pasti sangat ingin membohongi dirinya sendiri... Hm...

Jadi begitu. Sekarang aku paham kenapa Pak Kiyo ingin memandangku sebagai anak baik.

Jika apa yang dikatakan Pak Kiyo tentangku masih tidak masuk akal, itu karena memang masih tidak masuk akal. Pak Kiyo hanya ingin membodohi dirinya sendiri.

Dia sangat takut bertanggung jawab atas keputusannya yang telah membiarkanku merusak kelas-kelas, jadi dia membuatku sebagai anak baik yang merusak kelas dengan maksud baik. Dengan begitu, dia meringankan beban rasa bersalahnya.

Dia ingin mendukung orang baik. Dengan begitu, dia dapat melihat dirinya sendiri sebagai komplotan orang baik.

Dia sangat ingin percaya bahwa aku merusak kelas demi kebaikan orang lain sampai dia membawa nama ibuku. Ditambah lagi, dia sampai menyamakan aku dengan manusia.

Apa semua orang dewasa sangat ingin menghindari tanggung jawab sampai menyalahkan orang yang lebih muda? Memalukan.

"Nak..." Pak Kiyo berwajah terkejut sekaligus sedih.

"..." Kelihatannya Pak Kiyo ingin melanjutkan wejangannya, jadi aku membalikkan badanku lagi dan segera melangkah pergi.

Pak Kiyo tidak lagi memanggilku ataupun berusaha menghentikanku.

Pasti dia sudah kehabisan kata-kata untuk mengubah pikiranku.

Seandainya Pak Kiyo adalah orang lain, aku tidak akan bertindak kasar di depannya. Aku tidak akan pernah bisa. Bayangan akan rahasiaku terbuka bagi semua orang adalah sesuatu yang tidak bisa aku cerna. Tapi Pak Kiyo adalah sebuah anomali.

Jika Pak Kiyo adalah orang lain, maka saat pertama kalinya diriku yang sebenarnya terungkap, aku akan semakin berusaha menyembunyikan sifat asliku dan langsung memotong hubunganku dengannya. Tapi faktanya, ketika Pak Kiyo tahu, aku tidak berusaha melakukan itu semua.

Sifat dan pendirian Pak Kiyo lah yang membuatku sampai berpikir: "mungkin tidak apa dia tahu".

Aku membenci orang dewasa. Sikap sok tahu tersebut; aku tidak bisa menerimanya atau menjadi terbiasa. Pak Kiyo adalah pengecualian dari opini tersebut. Aku percaya bahwa Pak Kiyo ada di atas orang dewasa lainnya.

Namun, dari kejadian ini aku sadar bahwa aku telah memaksakan pandangan "Pak Kiyo yang ideal" ke "Pak Kiyo yang sebenarnya".

Sama seperti Pak Kiyo memanggilku "anak baik", aku menggagap Pak Kiyo memahami aku; ini sangat ironis.

Kita berdua saling salah paham tentang satu sama lain.

Sudah jelas mulai dari hari ini, aku akan memutuskan semua hubunganku dengan Pak Kiyo. Aku tidak perlu seseorang yang tidak bisa bekerja sama denganku.

Aku tidak perlu merespons dengan keras pernyataan-pernyataan yang disampaikan Pak Kiyo. Aku tidak perlu terburu-buru menentang ataupun mengambil kesimpulan. Hal-hal seperti sifat dan kemanusiaanku tidak perlu dipertanyakan lagi, yang perlu dipertanyakan adalah alasan di balik tindakanku.

Ketika aku melihat hasil kerja kerasku terbayarkan, aku tidak bisa merasakan apa-apa. Itu sama meskipun aku mengetahui Silvia Anggraini mulai disukai oleh banyak orang, ketika Nathania Dea berhenti dibuli, OSIS berfungsi lagi, HUT berjalan lancar... aku tidak merasa senang ataupun puas. Ini juga sama ketika aku dipukul Alex Mahes, ketika hubungan pertemananku rusak; aku tidak merasa sedih, tersakiti, ataupun menyesal.

Dengan begini, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa aku adalah makhluk yang tidak memiliki beberapa emosi. Aku masih bisa merasa jengkel, tapi terkadang, itu disebabkan dari kebodohan manusia.

Aku masih perlu merenungkan hal tersebut lebih lama lagi di lain hari.

Kemudian, pandangan "anak baik" oleh Pak Kiyo.

Salah satu argumen yang disampaikan Pak Kiyo adalah: aku sering membersihkan kelas. Tentunya aku sering membersihkan kelas demi reputasi dan watak "Topeng"ku. Apakah motivasiku membersihkan kelas kurang jelas di matanya? Dia seharusnya tahu wajah asliku, tapi ternyata kurang cukup jelas.

Oh, ya. Semisal Pak Kiyo tahu tentang situasi keluargaku dengan keluarganya Silvia Anggraini, dia pasti akan menggunakannya sebagai salah satu argumennya juga. Dia pasti bilang, "kok kamu setuju dengan mudahnya" atau semacam itu. Aku tidak senaif itu sampai aku berharap bisa memutuskan hubungan ayahku dengan ibunya Silvia Anggraini. Perasaan cinta sangatlah bodoh sampai tidak bisa diprediksi dengan jelas.

Argumen lainnya yang disampaikannya adalah: hasil tujuanku harus dicapai dengan mengorbankan diriku. Apa yang Pak Kiyo katakan ada sedikit kebenarannya. Aku telah mengorbankan semua reputasi dan pertemananku. Sayangnya, argumennya tersebut tetap tidak masuk akal.

Jika aku berencana menyelamatkan semua orang dengan mengorbankan diriku, seharusnya aku tidak merusak kelas. Bagaimana Pak Kiyo bisa menjelaskan alasanku merusak kelas-kelas? Dia tidak akan bisa menjelaskan secara logis. Dia hanya berusaha menghindari kenyataannya.

Argumen yang disampaikan Pak Kiyo bertentangan dengan kenyataan yang telah terjadi. Itu karena memang tindakanku terlihat konyol. Aku merusak kelas dan dengan sengaja mengungkap diriku sendiri sebagai pelakunya. Di sini, aku bertindak sebagai penjahat demi kepentingan kebaikan.

Jadi, aku jahat atau baik?

Pak Kiyo mengambil kesimpulan bahwa aku adalah anak yang baik karena aku telah mengorbankan diriku sendiri. Jadi, meskipun aku telah merusak sekolah, aku tetaplah orang baik karena aku bermaksud baik...?

Apa-apaan ini? Omong kosong apa ini?

Jangan sok tahu. Jangan sok hebat karena telah bersimpati dengan orang-orang yang melakukan kejahatan. Itu menjijikkan.

Aku pernah membaca sebuah teori psikologi tentang hal yang mirip. Teori ini mengatakan bahwa kebanyakan orang cenderung memilih pilihan yang mayoritas tidak pilih. Mereka menghina hal-hal yang disukai semua orang dan menepuk tangani sesuatu yang tidak terkenal.

Lalu kenapa orang-orang tersebut bisa punya pikiran seperti ini? Jawabannya: hanya karena itu keren.

Tidak ada alasan ilmiah. Tidak ada hubungannya dengan organ otak. Bukan karena ini adalah sebuah tren atau entah apa. Ini terjadi hanya karena manusia adalah "manusia".

Pasti akan selalu ada orang yang membenci musik yang populer. Pasti akan selalu ada orang yang memihak kelompok kecil. Pasti akan selalu ada orang yang menjelekkan orang yang benar-benar baik. Seolah mereka memakai semacam aura kecerdasan yang tahu apa yang orang lain tidak ketahui.

Dan jujur saja, aku setuju terhadap teori ini. Aku sendiri tahu betapa tidak masuk akalnya hal-hal yang ada di pikiran manusia. Ditambah lagi, perkataan-perkataan yang disampaikan Pak Kiyo tadi telah membuktikan teori ini.

Perkataan Pak Kiyo mungkin memang terdengar sepele dan secara moral benar. Tapi, perkataan sepele itu sangatlah menjijikkan.

Pikirkan baik-baik. Pak Kiyo bisa saja mengatakan bahwa seorang pembunuh adalah orang yang baik. Coba katakan hal tersebut ke depan keluarga korban pembunuhan.

Pak Kiyo tidak tahu betapa berat beban dari perkataannya.

Jika Pak Kiyo sendiri tidak sadar, bagaimana dengan orang lain? Apa semua manusia seperti ini?

Jujur saja, aku tidak peduli entah diriku adalah jahat atau baik.

Pandangan "jahat" dan "baik" hanya digunakan manusia supaya mereka bisa merasa nyaman mengategorikan diri mereka sendiri sebagai orang yang baik, dan supaya mereka tidak merasa bersalah. Kenapa aku harus menghiraukan sesuatu yang diciptakan manusia untuk membodohi diri mereka sendiri?

Faktanya, aku punya banyak rencana alternatif yang tidak ada hubungannya dengan merusak kelas. Tapi, aku tidak memutuskan melakukan rencana-rencana alternatif tersebut karena aku pikir rencana ini lebih simpel, efektif, dan efisien.

Fakta bahwa pertimbanganku lebih menitikberatkan efisien dan sebagainya, dibandingkan pertemanan, moral, dan hukuman, sudah membuktikan bahwa aku berhati dingin.

Pada akhirnya, pertemananku adalah salah satu efek dari "Topeng"ku. Hari-hari ketika aku tertawa bersama Alex Mahes dan Calista Anita- tidak lebih hanyalah akting belaka.

Justru karena aku tidak peduli, dengan mudahnya aku membuang semua reputasi dan pertemananku tanpa alasan yang jelas. Apa itu masih kurang jelas?

Pak Kiyo tidak akan memahami pikiranku.

Seberapa banyak, seberapa keras, seberapa lama aku berbicara kepada Pak Kiyo, dia tidak akan pernah bisa "memahami" perbuatanku.

Karena dia terlalu "manusia" untuk memahamiku.

Aku tidak bisa menjelaskan perasaan apa yang sedang dia alami dari wajahnya itu.

Marah? Sedih? Frustrasi? Mungkin gabungan dari semuanya itu.

Wajahnya seperti menahan menangis...

"Apa-apaan?!" Teriak Silvia Anggraini. Silvia Anggraini berdiri jauh di depanku, menghalangiku keluar dari tempat parkir.

"..." Di kedua tanganku hanya berpegang kemudi sepeda. Aku sedang menuntun sepedaku keluar dari tempat parkir. Karena hari ini hari penting, aku tidak heran tempat parkir akan sangat ramai dan sempit, jadi satu-satunya jalan keluar sedang dia tutupi dengan seluruh tubuhnya.

Silvia Anggraini berpakaian rapi. Tentunya karena dia adalah ketua dari pengurus acara HUT ini, dia harus siap untuk pidato dan kata-kata terima kasih untuk tutup acara, serta pengumuman para pemenang lomba-lomba. Pasti baginya, ini adalah hari penting di mana semua kerja kerasnya akan terbayar...

"Aku tahu apa yang kamu lakukan! Dan aku nggak butuh bantuanmu!"

"..." Tapi aku hanya terus berjalan. Aku membentur pundaknya dengan cukup keras untuk membuat jalan sepedaku. Aku berjalan melewatinya.

"!" Silvia Anggraini menggertakkan giginya, berpaling, dan menghadap ke punggungku yang sedang meninggalkannya.

Aku tidak tahu pasti apa yang Silvia Anggraini tadi sedang bahas.

Dari kata-katanya, dia bisa saja sedang membicarakan bagaimana aku telah menjadi kambing hitam.

Atau bisa saja dia sedang membicarakan bahwa segala kerja HUT yang dibutuhkan ada di sebuah flashdisk yang kusuruh Pak Kiyo berikan kepada Silvia Anggraini. Itu adalah bagian dari rencanaku. Aku sudah tahu bahwa seluruh anggota akan kembali bekerja pada akhirnya. Sehingga, ketika mereka semua tahu bahwa Silvia Anggraini telah menanggung semua beban itu dan dia telah rela mengerjakan bagian tugas mereka, mereka akan merasa malu, atau memuja-muja Silvia Anggraini, atau merasa bersalah karena telah membuat orang yang baik hati menderita.

Anehnya, Silvia Anggraini terlihat telah mengetahui rencana ini. Aku telah menekankan ke Pak Kiyo untuk tidak memberitahukan ini ke siapa pun, khususnya Silvia Anggraini. Berdasarkan pemikiran Pak Kiyo yang mengecewakan tadi, ada kemungkinan Pak Kiyo memberi tahu semuanya ke Silvia Anggraini, ada juga kemungkinan Silvia Anggraini menerka apa yang telah terjadi di latar belakang; Silvia Anggraini adalah orang yang pintar, aku tidak akan terkejut.

Yang dia pertanyakan bisa memiliki banyak arti.

Bagaimanapun juga, ini tidak penting lagi.

"..."

Tidak perlu aku membuka mulutku. Tidak perlu aku memuaskan rasa penasarannya. Segala hubungan apa pun yang kita miliki, berakhir di sini. Sekalipun kita menjadi saudara tiri sungguhan, aku akan memastikan kita tidak akan pernah berbicara bertatapan wajah lagi.

Inilah tekadku, dan kelihatannya itu terlihat jelas di wajahku karena dia menghalangi jalanku di sini daripada berusaha bertanya kepadaku di rumah nanti.

Apa pun yang sedang dia bicarakan dan pikirkan, jawabanku tidak akan pernah berubah.

"Kenapa?" Silvia Anggraini berlari mengejarku dan menarik lenganku dengan sangat kuat hingga membuatku berpaling ke arahnya. "...Kenapaaa?!"

Aku menatap matanya langsung. "..." Dengan demikian, aku memberinya jawaban dengan menunjukkan wajah tanpa "Topeng". Kekosongan mengalir di wajahku.

"!!!"

Kamu tidak akan pernah paham.

Aku mengelakkan pegangannya dan melanjutkan berjalanku.

Mungkinkah aku melakukan hal lain yang bukan menghancurkan kelas-kelas untuk menyelesaikan semua masalah ini?

Mungkin bisa di kehidupan lain.

Namun mimpi itu berakhir di sini. Tidak bisa diulang. Tidak bisa ditarik.

Silvia Anggraini berusaha mengejarku lagi, tapi berhenti di tengah jalan. Tangannya hanya meraih udara.

"..." Mulutnya terbuka dan tertutup. Tidak ada suara yang keluar.

Pasti ada banyak pertanyaan yang terpendam di hatinya.

Kenapa aku memarahinya tentang pembuli. Kenapa aku merusak semua kelas. Kenapa dan kenapa. Apa yang aku dapatkan dari melakukan semuanya ini.

Silvia Anggraini tidak perlu memahami seluruh kebenarannya.

Kata-kata Pak Kiyo tidak meninggalkan kepalaku.

Raut muka yang dibuat Silvia Anggraini tidak meninggalkan kepalaku.

Aku tahu apa yang kuperbuat haruslah dibenci. Aku tahu apa yang kuperbuat adalah salah di mata orang lain. Aku tahu itu semua karena aku telah mempertimbangkannya.

Ada banyak cara lain yang bisa kulakukan. Namun, aku tetap memilih cara keji ini. Karena inilah caraku.

Namun.

Aku penasaran.

Aku ingin tahu.

...Sebuah pertanyaan tidak meninggalkan dari benakku.