Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya.
"Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
'Eh, ada baju deh yang belum aku coba.' Lily bermonog lalu ia bangkit, kemudian membuka secara lebar lemarinya, 'Nah ketemu deh.' Ia memegang baju bunga-bunga kecil berwarna merah jambu berlengan pendek dengan panjang sampai ke bawah lutut. Ia coba di depan cermin, dan Lily tersenyum lega, 'Akhirnya.'
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Wijas mengirimkan pesan.
[Aku sebentar lagi sampai]
Lily terkejut dan ia langsung berlari ke arah kamar mandi, ia mandi dengan begitu cepat. Di depan cermin ia menatap wajahnya, memulai merias wajahnya dengan simple hanya pelembab, bedak, dan sedikit lipgloss. Selesai berdandan ia keluar kamar, dan berpamitan dengan ayah dan ibunya.
"Ayah, Bu, aku pergi dulu yah." Sambil menyalami kedua tangan orang tuanya.
"Hati-hati ya." Sarinila berkata.
"Awas hanya sampai dzuhur ya." Hertawan mengingatkan. Lily mengangguk menyetujui ucapan ayahnya.
"Assalamualaikum." Lily mengucapkan salam dengan menyegerakan langkahnya. 'Kayanya Wijas udah sampe dari tadi deh,' gumam Lily. Benar saja sampai di warung Ceu Mala sudah ada motor Wijas, sementara Wijas sedang membeli sesuatu. Wijas melihat Lily ia langsung sumringah.
"Hai." Sambil Wijas melambaikan tangannya. Lily tersenyum manis sekali.
"Udah lama nunggu?" tanya Lily.
"Oh ng-ngak kok, baru sampai. Yu berangkat." Wijas bersiap menyalakan motornya disusul dengan Lily duduk. Wijas membawa motornya begitu santai, dia mengelus tangan Lily dengan lembut. Wijas memberhentikan motornya di suatu kawasan wisata air terjun bernama curug parawan.
"Kita sampai," ucap Wijas. Lily turun dari motor dengan memperhatikan kawasan tersebut. Wijas menuju karcis dan membayarnya.
"Yu …." Wijas menggenggam tangan Lily.
Mereka menikmati perjalan tersebut, menyusuri tanjakan dan bebatuan, seringkali Wijas membantu Lily berjalan agar ia dengan mudah melewati tanjakan dan bebatuan. Sampailah mereka di suatu gua kecil, Wijas menarik tangan Lily agar bisa duduk di dalam. Lily duduk di atas batu yang cukup besar dan Wijas juga duduk di samping Lily dengan begitu dekat, mereka menatap sungai dengan banyaknya bebatuan.
"Lily terima kasih telah menerimaku menjadi pacarmu," ucap Wijas. Lily menatap Wijas kemudian ia tersenyum.
"Iya, aku mau kamu berjanji padaku Wijas."
Wijas membalas tatapan Lily yang tadinya hanya melihat ke arah sungai.
"Apakah itu?" tanya Wijas.
"Kamu akan menjaga hubungan kita, berkomunikasi dengan baik, jangan ada kebohongan." Lily menyodorkan tangannya agar Wijas bersalaman dengannya. Wijas menyalami tangan Lily dan berkata
"Oke, aku berjanji. Kita ini kan Wily."
Lily yang mendengar ucapan Wijas tertawa hingga menutup mulutnya dengan tangan.
"Kenapa kamu ketawa?" tanya Wijas penasaran.
"Aku jadi ingat perkataan Adawiyah, dia berkata kalau kita berpacaran singkatan nama kita itu Wily."
"Oh gitu." Wijas menyusul tertawa dengan Lily.
"Dia kalau ngomong asal jeplak, tapi kocak yah orangnya." Wijas berkomentar.
"Iya bener, tapi dia baik banget orangnya, perhatian juga," balas Lily.
"Wah ada saingan nih kalau dia juga perhatian sama kamu." Wijas membetulkan kacamatanya.
"Enggak, kamu kan beda. Harus lebih perhatian sama aku." Lily merayu.
"Pasti, Ly. Makasih yah kamu mau aku ajakin jalan meskipun cuman ke sini." Wijas tersenyum.
"Kamu lain kali kalau mau ngajakin pergi itu yang jelas. Masa aku pakai dress begini diajak ke curug. Untung aja aku pakai sepatu tali, kalau aku paki heels gimana? ini aja aku gatal badanku," keluh Lily.
"Ya ampun iya maaf. Ini kamu pakai jaket aku." Wijas menaruh jaketnya di pundak Lily agar Lily bisa memakainya.
"Jangan marah dong, cantiknya hilang." Wijas merayu.
"Iya deh nggak marah. Makasih ya." Lily kembali tersenyum.
Lily terperanjat mendengar ponselnya, Lily sudah menduga siapa yang menelponnya saat ini, benar saja Hertawan menelpon Lily padahal ini masih jam 11. Lily menghiraukan panggilan ayahnya, dan mematikan nada deringnya, Lily begitu gusar, takut terhadap ayahnya. Tetapi ia masih ingin bersama Wijas.
"Siapa yang telpon?" tanya Wijas.
"Ayahku." Lily menjawab singkat.
"Kita foto dulu sebentar." Wijas mengeluarkan ponselnya dari saku celana, Lily mengatur posisi duduknya dan Wijas mendekat merangkul pinggang ramping Lily. Mereka tersenyum ke arah kamera, beberapa pose mereka abadikan dari hanya duduk bersanding, kemudian duduk saling membelakangi.
"Wijas, ayo pulang," ajak Lily yang sudah jalan lebih dulu keluar dari goa.
"Tunggu!" Wijas menyusul dan memegang tangan Lily agar tidak jatuh ke sungai.
Tidak lama mereka akhirnya sampai di parkiran, Wijas menyalakan motor dan Lily pun duduk. Keluar dari lokasi Curug, Wijas melihat ada tukang bakso yang tak jauh dari lokasi, Wijas memarkirkan motornya.
"Kita makan bakso dulu ya." Wijas mengajak Lily masuk ke bilik tukang bakso. Lily tak bisa menolaknya akhirnya ia mengikuti Wijas.
"Mas, pesan bakso dua ya. Kamu mau campur?" tanya Wijas kepada Lily yang sedang duduk di kursi kayu.
"Aku nggak pakai mie kuning." Lily menjawab.
"Mas, satu campur, satu lagi nggak pakai mie kuning yah." Wijas memesan.
Mas tukang bakso hanya mengangguk. Lima menit kemudian pesanan datang, Lily dan Wijas menyantap mie bakso tersebut dengan lahap. Selama makan mereka saling diam tidak ada obrolan apapun, karena Lily begitu gugup takut terhadap ayahnya. bagi Lily ini merupakan kencan pertamanya.
Selesai makan bakso, Wijas membayar kemudian Wijas mengantarkan Lily sampai ke warung Ceu Mala. Lily tidak berkata sepatah katapun kepada Wijas.
"Ly, maafkan aku yang tadi. Terima kasih untuk hari ini." Wijas tersenyum. Sementara Lily hanya tersenyum tipis. Lily mempercepat langkahnya agar ia bisa segera sampai ke rumah, Lily sangat takut dengan ayahnya. Sampai di depan pintu Lily menghembuskan napasnya, dan memegang dadanya yang sudah berdetak sangat kencang dari tadi, Lily membuka pintu secara perlahan dan mengucap salam. Lily melihat rumahnya begitu sepi, 'Pada kemanakah orang-orang?' batinya bertanya. Lily menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar, Lily menghempaskan tubuhnya dan mengecek ponselnya, sudah beberapa kali ayah menelponnya.
Sambil memandangi langit-langit kamar Lily masih membayangkan kencannya tadi, ada rasa bahagia, ada rasa bersalah juga, seharusnya Lily tidak boleh marah kepada Wijas atas ketakutannya kepada ayahnya sampai begitu dingin kepada Wijas.
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.
***
Bersambung