webnovel

biang onar

Menjadi malaikat pemberi rezeki bukanlah hal mudah. Apalagi jika ditugaskan khusus untuk mengabulkan permintaan tulus manusia. Suatu hal sulit untuk dilakukan karena manusia sudah jarang memiliki ketulusan yang murni.

Kebanyakan permintaan mereka didasarkan pada dendam, rasa iri, dan emosi-emosi buruk lainnya.

Bahkan terkadang, manusia sanggup mengharapkan kehancuran dunia dengan setulus hati.

Jika sudah begitu, maka para malaikat yang akan kewalahan. Karena itulah dibuat peraturan bahwa hanya harapan yang tidak merugikan orang lain saja yang boleh dikabulkan.

Namun di mana ada peraturan, di sana pasti ada si pembuat onar. Di mana semakin ketat peraturan maka semakin dia tertantang untuk melanggar.

"Sudah berapa banyak yang kau bunuh?" sosok ketua itu bertanya.

"Sudah kubunuh semua orang yang manusia itu inginkan," jawab si pembuat onar dengan senyum manisnya. Dia tidak gentar meski berdiri sendirian di tengah aula surga, sementara semua malaikat senior duduk di kursi-kursi mereka mengelilingi dirinya.

Sosok yang duduk di kursi utama, mirip singgahsana, menatap Mikanata dengan tajam. "Apa alasanmu mengabaikan peraturan, Nata?"

Mikanata menatap sosok ketua itu. Senyum tengilnya terbit, sangat kontras dengan ekspresi malaikat lain yang begitu serius.

Mikanata menjawab, "Peraturan dibuat untuk dilanggar, kan? Aku hanya mengikuti cara pikir manusia kebanyakan."

"Kau bukan manusia!"

Dia menoleh pada satu malaikat senior yang tampak ingin meninju wajah Mikanata saat itu juga.

Sebenarnya, bukan hanya malaikat senior itu saja, semua malaikat di sana juga ingin meninju Mikanata. Mereka gemas dengan malaikat junior itu. Dia begitu semena-mena dalam menjalankan tugas.

Setelah sekian lama, baru dia saja yang berani mengabulkan keinginan buruk manusia. Keinginan buruk itu bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga membunuh banyak orang.

"Harusnya kau tahu mana yang bisa kau lakukan, dan mana yang tidak."

"Apa kau bahkan pernah membaca peraturan yang ada?"

"Kau tidak pantas untuk naik ke surga!"

"Kau membuat seluruh malaikat pemberi rezeki malu karena perbuatanmu itu!"

"Tidak seharusnya dia ada di sini."

"Bukankah dia harus dihukum?"

Semua senior di sana mengatainya. Mikanata hanya diam saja. Dia tersenyum miring dan memandang malaikat ketua di singgahsana yang hanya terpisah beberapa meter dari tempatnya berdiri. Malaikat itu masih menatap tajam Mikanata.

Dia adalah malaikat paling senior di antara semua malaikat pemberi rezeki yang masih aktiif. Karena itulah semua malaikat langsung menutup mulut saat dia mengangkat tangan, mengisyaratkan untuk diam.

Setelah semua terdiam, dia berujar, "Kau tidak berpikir tindakanmu itu salah, Nata?"

Sebuah gelengan pelan membuat rambut Mikanata bergerak lembut, mengeluarkan bubuk silver berkilauan, silver itu mengepul seperti asap. Kemudian melebur dalam beberapa detik setelahnya.

"Yang saya lakukan hanyalah menjalankan tugas. Seperti yang kalian tahu, saya ditugaskan di bagian khusus ini untuk mengabulkan permintaan para manusia. Jadi saya tidak melihat ada kesalahan dalam tindakan saya."

Sang ketua yang bernama Mikaga itu menekankan kata demi kata, "Keinginan yang kau kabulkan itu bukan keinginan yang baik. Kau tahu itu?"

"Kita mengabulkan permintaan yang tulus. Tidak peduli itu baik atau buruk." Mikanata berkedip sok polos. Padahal dia tahu benar bahwa ada permintaan yang tidak boleh dikabulkan.

"Harusnya kau peduli, karena sudah dijelaskan bahwa keinginan manusia yag merugikan orang lain tidak boleh dikabulkan begitu saja," salah satu senior menyahut.

Mikanata menatapnya dan sebuah senyum terlukis begitu manisnya.

Sorot matanya masih saja jahil saat dia sengaja berujar lembut,"Tidakkah peraturan itu terlalu kejam? Manusia itu bahkan berdoa pada Yang Maha Kuasa lebih sering dari manusia yang berkeinginan baik. Bukankah dia lebih pantas untuk dikabulkan keinginannya?"

"Kau bisa dihukum jika terus seperti ini. Kau sadar jika perbuatanmu semakin hari semakin keterlaluan?" senior yang lainnya memperingatkan.

Pertanyaan itu tidak seperti membutuhkan jawaban. Dan peringatan itu juga tidak diperlukan, karena Mikanata sadar suatu hari dia pasti akan mendapat hukuman juga pada akhirnya.

Mikaga, sang malaikat ketua berkata, "Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, Nata. Kau tahu tugas kita adalah mengabulkan harapan, permintaan, dan keinginan manusia yang tulus. Namun dalam peraturan jelas menyebutkan bahwa kita tidak boleh mengabulkan hal-hal yang bisa menimbulkan kerugian bagi manusia lain."

Mikanata mengangguk tanpa kehilangan senyumnya. "Tentu saja saya tahu itu."

"Kali ini kau tidak hanya membawa kerugian bagi manusia lain, kau bahkan membuat beberapa manusia meregang nyawa. Tindakanmu sudah tidak bisa ditoleransi."

Para malaikat senior mulai mendiskusikan tindakan apa yang akan diambil terhadap Mikanata. Mereka seperti berlomba-lomba mengusulkan hukuman paling kejam untuk junior mereka itu.

Sementara yang sedang dibicarakan hanya diam saja. Wajahnya santai, seperti manusia yang sedang menunggu pesanan makanan di restoran cepat saji. Dia tidak terganggu dengan semua usul hukuman yang terkesan ingin mengusir Mikanata dari surga.

Setelah pembicaraan selesai, setelah diskusi mencapai kesimpulan, mereka pun membiarkan hukuman Mikanata diumumkan.

Sang ketua berdiri, diikuti oleh semua malaikat senior lain.

Mikanata menegakkan tubuhnya, mempesiapkan diri untuk hukuman yang akan dia terima.

"Dengan ini aku nyatakan, malaikat tingkat junior Mikanata akan ditugaskan untuk mengabulkan keinginan gadis manusia yang sudah menderita sejak kelahirannya."

Dahi sang malaikat junior berkerut. "Apa susahnya itu? Bukankah itu sudah menjadi keseharian kita mengabulkan permintaan?"

"Bagus jika kau tidak merasa tugas ini tidak susah. Kau hanya perlu memastikan keinginan gadis itu terkabul tanpa menciptakan kerugian pada manusia lain."

Mikanata tidak merasa ada yang perlu dihawatrkan. Dia hanya perlu melakukan tugas itu seperti dia melakukan tugasnya sehari-hari, mengabulkan permintaan.

Mikaga menambahkan, "Ingatlah ini, Nata. Kau tidak boleh membuat manusia lain merugi maupun menderita. Jadi kau harus berhati-hati dengan caramu mengabulkan harapan gadis itu."

"Baik. Saya akan melakukannya sebaik mungkin," Mikanata menyetujui tanpa protes. Baginya ini terlalu mudah.

"Sebagai tambahan, kau tidak diperbolehkan memasuki surga sampai kau menyelesaikan tugasmu dan membawa serbuk ungu gadis itu sebagai bukti."

Untuk pertama kalinya selama sidang disiplin itu berlangsung, Mikanata kehilangan ekspresi santainya.

Dia melebarkan mata. Rahangnya jatuh karena terkejut. Segera setelah sadar dari keterkejutan, dia mulai protes, "Bagaimana bisa begitu? Saya pulang ke mana kalau hari sudah malam? Di mana saya bisa istirahat dan tidur kalau begini?"

"Kita ini malaikat, kita tidak butuh istirahat ataupun tidur," malaikat senior mengingatkan jat diri Mikanata.

Si biang onar itu masih saja tampak tidka terima, "Tetap saja saya tidak punya tujuan jika saya tidak diperbolehkan masuk ke surga."

Mikanata menatap memohon pada Mikaga. Namun malaikat ketua itu justru melontarkan kata yang semakin membuat Mikanata panik.

"Kau akan dikeluarkan dari surga selamanya jika gagal dalam tugas ini."

Mata Mikanata semakin melebar. Dia bertanya dengan tidak percaya, "Kalian berniat membuangku ke bumi? Ke tempat para manusia itu tinggal?"

Salah satu malaikat berujar sinis, "Bukankah kau meniru suka cara pikir manusia? Akan bagus kalau kau tinggal di sana sekalian."

Mikanata ingin melontarkan protes. Atau setidaknya mencoba bernegosiasi. Namun keputusan sudah terlanjur dibuat, dan tidak ada celah untuk mendapat keringanan dalam hukuman ini.

Saat satu persatu senior itu meninggalkan aula surga, Mikanata hanya bisa menatap mereka dengan nanar. Sambil meratapi nasibnya sendiri.

Mikaga masih ada di sana. Dia berjalan dan mendekaati Mikanata.

"Ini kesempatan terakhirmu, jadi lakukanlah dengan baik," ujarnya sambil mengacak pelan rambut Mikanata, dan itu membuat serbuk silver muncul dari kepalanya. Untuk kemudian menghilang seketika.