Amanda menghentikan langkahnya saat ponsel yang ada di saku kiri sweater-nya berdering, dia meraih benda itu dan melihat siapa yang melakukan panggilan telepon, namun dia melihat tidak ada nama pada nomor tersebut. Iphone berlambangkan buah itupun masuk lagi ke sakunya diikuti dengan sebuah helaan napasnya. Dering benda tersebut masih terdengar beberapa menit selanjutnya, rupanya sang penelepon lumayan gigih sehingga masih tetap melakuan panggilan walaupun tidak ada niat sedikitpun gadis itu untuk mengangkatnya.
"Forget it, aku enggak akan mengangkat telepon tanpa nama," katanya sambil terus melanjutkan langkah menuju parkir motor. Tanpa dia sadari sepasang mata melihatnya dengan raut kecewa, pemuda itu berdiri di depan kelas yang ada di ujung dengan ponsel di tangannya.
Natasya yang tadi berjalan bersama dengan Amanda saat keluar kelas, meminta izin kepadanya untuk berbincang-bincang dulu dengan Leon dan Shireen. Ketua kelas 11 MIPA 1 katanya ada yang ingin dibahas terkait agenda kegiatan MPK SMA Pilar Bangsa dengan kedua adik kelasnya.
Langkah kaki gadis bermata cokelat itu kian mendekat ke parkiran motor, nampak hanya ada beberapa motor saja yang tersisa di sana. Sebuah senyuman ramah menyambutnya di sana. Jhoni, satpam yang bertugas di sekolah menengah itu nampak sedang duduk di bangku tak jauh dari tempat di mana motor Amanda terparkir. Di tangan kanan security itu nampak sebuah benda kecil yang mengeluarkan asap, sepertinya laki-laki berusia tiga puluh tahunan itu mencuri kesempatan untuk sekadar mengusir asam di mulutnya dengan nikotin. Jika saja dia tertangkap tangan sedang merokok di lingkungan sekolah akan menjadi malapetaka yang susah dielakkannya, sudah tiga kali dia menerima teguran keras karena kebiasaannya itu.
Amanda mencuri pandang Jhony yang hari itu mengenakan kaus biru gelap bertuliskan security SMA Pilar Bangsa di bagian dada kirinya. Menurutnya satpam muda itu lebih pantas menjadi aktris dengan wajah tampannya daripada hanya sekadar satpam sekolah. Pantas saja dia menjadi buah bibir siswi-siswi pada setiap kesempatan. Badan tegap dengan sebuah kumis tipis menghiasi wajahnya sebagai pemanis, kulitnya yang putih kadang membuat iri para perempuan yang mati-matian mendapatkan kulit seperti milik satpam itu. Beberapa perempuan berpendapat bahwa Jhony terlalu cantik untuk menjadi seorang laki-laki.
Gadis itu segera membuang tatapan matanya saat tanpa diduga pemuda itu melihatnya juga. Sebuah senyum dihadiahkan kepada gadis yang berambut sebahu itu. Jhony membuang rokok di tangannya yang hanya tersisa puntung, dia melangkah mendekat. Amanda tiba-tiba merasa kikuk karena sama sekali tidak menyangka akan dihampiri oleh security muda itu.
"Halo, Manda," sapanya dengan senyum yang tersemat.
"Hai, Pak." Gadis itu membalas dengan kalimat sekenanya.
"Pak?" Satpam itu menaikkan sebelah alisnya mendengar balasan dari sapaannya tadi. "Yang lain memanggil aku Abang, masa kamu memanggil Pak."
"Eh, maaf aku enggak tahu, Pak. Eh, Bang. Maaf aku enggak tahu kalau Abang tidak suka dipanggil Pak."
"Enggak apa-apa, Manda. Bukan hal besar itu sih, terserah kamu mau memanggilku apa. Boleh 'Bang', boleh 'Pak', panggil 'Yang' juga boleh. Senyamannya kamu saja." Amanda memaksakan tersenyum untuk menanggapi kalimat security itu. Apa maksudnya memanggil 'Yang' itu? Peyang? Amanda bercanda dengan dirinya sendiri dalam benak.
"Maaf, Bang. Mungkin karena ini pertama kali kita bertemu dan bercakap-cakap, jadi aku agak bingung harus menggunakan kalimat sapaan apa." Amanda tersenyum kikuk.
"No big deal, Manda. Ini memang pertama kali kita bincang-bincang ya, sebenarnya sih aku sudah lama ingin memperkenalkan diri kepada kamu."
"Aku 'kan sudah kenal, nama Abang adalah Jhony Pantau," ujar Amanda sambil menerka-nerka kepanjangan dari nama yang selalu terpampang di baju seragam pemuda itu. Kalimat Amanda disambut tertawa kecil oleh Jhony.
"Jhony. P, dan P-nya bukan kepanjangan dari Pantau tapi Putra. Jhony Pantau itu sebuah acara tivi," kata Jhony dengan senyum lebarnya.
"Oh, aku kira kepanjangannya adalah Putri, Bang."
"Ya kali, Manda." Satpam itu menghela napas, sebuah senyuman dan geleng kepala melengkapinya, baru kali ini ada gadis muda yang berhasil membuat namanya yang sakral seperti sebuah bahan ledekan.
"Kamu tidak seperti biasanya pulang agak telat, Manda? Biasanya enggak lama bel berbunyi sudah pulang." Manda nampak berpikir sejenak berusaha mencerna kalimat yang diucapkan sosok di depannya, dia tidak menyangka bahwa ada yang memperhatikan kebiasaannya saat pulang sekolah. Padahal dia pun tidak pernah menjadwalkan seperti yang dikatakan pemuda itu.
"Aku suprise lho ada yang memperhatikan itu, Bang."
Jhony tertawa lebar memamerkan giginya sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Tak sengaja Amanda melihat bagian dalam mulut pemuda itu, untuk ukuran seorang perokok dia termasuk mempunyai gigi yang bersih.
"Sebenarnya bukan memperhatikan, hanya saja kebetulan saat aku menyeberangkan siswa yang keluar dari gerbang kamu berada di sana, Manda."
Gadis ber-sweater kuning itu tersenyum mendengar penjelasan masuk akal laki-laki di depannya, padahal dia merasa bahwa Jhony selalu memperhatikannya baik baru datang atau saat pulang sekolah.
"Okey, aku pamit dulu ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban iya gadis itu mengayunkan langkahnya menuju motor matic-nya. Dia mengeluarkan kunci dari tas ranselnya yang sejak tadi menjadi penghias punggungnya, kedua matanya tak sengaja melihat ban belakang kendaraan roda duanya kempes. Dia berjongkok di samping kanan motornya, sambil menggelengkan kepala dia menekan ban tersebut.
"Mengapa? Ada apa, Manda?" tanya Jhony sambil ikut berjongkok di samping Amanda. "Sepertinya bocor." Pemuda itu menyimpulkan setelah ikut menekan ban itu dengan tangan kanannya.
"Mungkin tadi kurang angin ya saat berangkat dari rumah jadi bocor, Bang."
"Kadang kurang angin seperti itu bisa menyebabkan bocor, tapi lebih sering ada benda tajam yang suka iseng menusuk ban."
"Benda tajam?" Amanda mengernyitkan dahinya, istilah yang digunakan sosok di depannya kurang familiar di telinganya.
"Iya, benda tajam, Manda. Seperti lidah misalnya," ujar Jhony sambil tersenyum kecil dia tidak yakin guyonannya akan menjadi lucu atau tidak untuk ukuran seorang Amanda. Gadis itu menatap Jhony, sepertinya dia tidak menyangka bahwa satpam yang berjongkok di sampingnya berguyon seperti itu. Sebuah cubitan mampir ke lengan pemuda itu.
"Apa salahku, Manda?" Intonasi kalimat Jhony agak tinggi karena terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Amanda.
"Itu untuk kalimat yang lucu tadi, Bang." Amanda tertawa kecil melihat sosok di sampingnya mengusap-usap bekas cubitannya.
"Kalau kamu berpikir itu kalimat yang lucu cukup tertawa saja, Manda. Enggak perlu cubit-cubitan."
"Ya habisnya, Abang. Masa benda tajam itu termasuk lidah. Memang benar sih, tetapi benda tajam semacam itu tidak bisa menyakiti ban motor, Bang. Benda itu hanya bisa menyakiti hati-hati yang lembut.
"Seperti hatiku dong, Manda. Hati yang lembut."
"Ya tahu, Bang. Aku 'kan belum pernah lihat hati Abang," ujar Amanda masih dengan tertawanya. "Jadi bagaimana nasib ban motor aku ini, Bang? Tambal ban jauh lagi." Gadis itu menghela napas panjang dengan wajah penuh tanya ke arah satpam muda itu.
Sebuah motor ninja berwarna hijau berhenti tepat di belakang kedua manusia yang masih berjongkok di samping motor matic berwarna putih milik Amanda. Dia melepaskan helm full face-nya, lalu turun dari kendaraannya menghampiri mereka.
"Ada apa, Manda?" tanyanya. Gadis itu menoleh ke arah suara yang bertanya itu dengan senyum yang mengembang.
"Kak ..." Amanda sama sekali tidak percaya dengan yang ditangkap kedua matanya, dia tidak menyangka kakak kelas yang satu ini ada di depannya sekarang.
"Arios, namaku Arios," kata siswa berambut lurus yang disisir ke samping kanan itu.
"Aku sudah kenal dengan nama Kakak, hanya saja aku tidak menyangka Kakak ada di sini. Tadinya aku kira siapa," Amanda menyematkan senyum untuk menggenapkan kalimatnya. "Bocor sepertinya ban motor aku, Kak."
"Bocor? Kamu pulang denganku saja, Manda." Arios memberi ide setelah ikut berjongkok sebentar di samping motor Amanda dan menekan ban tersebut.
"Pulang dengan Kakak? Tapi bagaimana dengan ..."
"Motor kamu sementara ditinggal di sini saja, Manda. Enggak akan hilang, ada keamanan yang berjaga."
"Tapi ... bagaimana besok aku berangkat sekolah jika motorku ada di sini. Kak?"
"Gampang."
"Gampang bagaimana, Kak? Di tempat tinggal aku jarang sekali angkot yang lewat."
"Hal itu gampang sekali menyiasatinya, Manda. Sekarang kamu pulang denganku, jangan khawatir aku antar sampai ke depan rumah kamu. Besok pagi aku jemput untuk berangkat sekolah. Motor kamu sementara biarkan saja dulu disini, nanti meminta tolong Bang Jhony untuk membawanya ke tambal ban," Arios memberikan penjelasan. "Bisa 'kan minta tolong, Bang Jhony?"
Satpam itu agak gelagapan karena tidak menyangka akan dilibatkan dalam pembicaraan tersebut. "I-iya bisa, nanti ditambal ke si Elay belakang sekolah."
"Tuh, Bang Jhony sudah setuju, Manda. Yuk naik."
Manda mengangguk pelan setelah memandang Arios sesaat lalu satpam muda itu. Kakak kelasnya itu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan selembar uang berwarna merah.
"Tolong ditambal ya motornya, Bang," ujar Arios sambil mengulurkan uang itu. "Ini sekalian untuk membeli rokok Abang, Terima kasih banyak atas bantuannya."
Satpam itu mengangguk pelan lalu menerima uang yang diberikan Arios dan mengantunginya.
"Tolong ya, Bang. Aku sekalian titip motornya di sini," ujar Amanda dengan wajah serius namun dilengkapi sebuah senyum.
"Iya, Manda." Satpam muda itu mengangguk melengkapi kalimatnya.
Amanda menyusul Arios yang sudah kembali naik ke motor besarnya. Tak pernah tebersit sedikitpun sebelumnya di benaknya dia akan pulang bersama kakak kelasnya yang populer. Gadis itu merasa hari ini adalah hari keberuntungannya karena bisa bertemu dengan dua orang yang menjadi idola para siswi di SMA Pilar Bangsa. Jhony yang ketampanannya membius juga Arios, kakak kelasnya yang mantan Ketua Osis dan populer.