webnovel

4. Jalan Lo Itu Buntu

"Astaghfirullah kaget!" baru saja manik mata ambernya terbuka, dia sudah dikejutkan dengan sosok pria tinggi besar yang berbaring di sampingnya dalam keadaan setengah telanjang.

Itu bukan hantu genderuwo yang biasanya digambarkan dengan sosok laki-laki tinggi besar dan bermata merah. Itu adalah suaminya, Sagara si pemilik kulit eksotis dan penuh bekas luka karena sejak dahulu hobinya adalah tawuran dan mengikuti lomba bela diri.

Setidaknya, ada tiga bela diri yang Sagara kuasai di usianya yang ke dua puluh delapan ini. Meski tidak terlalu banyak, setidaknya mampu untuknya melindungi diri.

"Lo ngapain sih tidur di sini, Saga?!" sentak Shayna sambil mendorong Sagara dengan harapan pria itu bergeser sedikit saja. Tentunya, harapan Shayna tidak terealisasi. Sagara tidak bergeming. Dia tetap di posisinya dengan mata yang tertutup padahal Shayna tahu pria itu sudah bangun.

"Saga!" karena gak ada respon, Shayna berteriak memanggil nama sang suami.

Sagara terganggu. Matanya terbuka perlahan, melirik Shayna tajam. "Gue lebih tua dua tahun dari lo. Harusnya lo panggil gue pakai sebutan Mas." Dengusnya, protes.

"Mas? Cih! Jangan harap y ague mau panggil lo dengan sebutan itu. Mendingan gue makan coklat daripada disuruh manggil lo dengan sebutan Mas." Shayna menolak mentah-mentah ide gila Sagara. Meski mereka tumbuh bersama sejak usia belasan dan Shayna sadar kalau Sagara lebih tua darinya, tetap saja panggilan Mas agaknya terlalu berlebihan untuk pria menjengkelkan seperti Sagara. Pria kurang ajar yang kasar dan tidak tahu caranya mencintai.

Sagara yang pada dasarnya cuek dan tidak gampang tersinggung santai-santai saja saat mendengar penolakan Shayna. Dia justru memiringkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas wajah gadis yang baru kemarin menjadi istrinya.

"Sekarang lo bisa ngomong begitu. Lama kelamaan juga insting lo bakal beda. Lo bakal panggil gue Mas." Sagara tampak senang menggoda Shayna, membuat wajah putih berseri si keturunan Spanyol ini terbakar amarah.

Shayna bergidik ngeri seolah yang Sagara bicarakan adalah hal menjijikan. "Iyuw… amit-amit deh. Udah gue bilang mendingan gue makan coklat daripada disuruh manggil lo Mas! Pokoknya ya, sampai kapanpun, gue gak akan manggil lo dengan sebutan itu!" Shayna kembali menolak mentah-mentah hal tersebut. Dia justru menegaskan bahwa dirinya lebih baik di suruh makan coklat, makanan yang paling dibenci daripada disuruh memanggil Sagara dengan sebutan konyol itu.

"Nih ya… Panggilan Mas itu hanya untuk orang-orang terhormat yang pantas untuk dihargai. Orang-orang yang sopan dan tau tata krama, bukannya lo yang… asdfjkl! Gue sampai gak bisa jelasinnya. Pokoknya seumur hidup gue gak akan manggil lo dengan sebutan menjijikan itu! Kalau sampai gue manggil lo begitu, lo boleh deh ambil keperawanan gue!" Shayna kembali menegaskan.

Ya, dia menegaskan sesuatu yang agaknya sangat dia benci. Sangat amat dia benci.

Tetapi, namanya takdir memang tak ada yang tau. Pagi hari dia bersikeras tidak ingin memanggil suaminya dengan sebutan Mas, siang harinya dia hanya bisa menganga dengan lidah yang kelu di hadapan Kakek Dome dan kedua orang tua Sagara.

"Iya, Shayna… kamu harusnya panggil Sagara pakai sebutan Mas. Terus nanti Sagara panggil kamu pakai sebutan Dek." Kakek Dome berbicara.

Bukankah Shayna pernah berkata bahwa dirinya bersumpah akan menurut pada pria paruh baya itu? Sekarang, entah bagaimana dia ingin melanggar sumpahnya sendiri.

"M-mas?" bibir Shayna sampai bergetar saat mengatakannya.

Di pojok ruangan, Sagara sudah tertawa mengejek. Dengan tangan menggenggam coklat rasa jeruk kesukaannya, dia meledek Shayna. "Makan tuh 'Ma'." Katanya tanpa suara.

"Nah, gitu dong. Besok-besok dibiasain manggil Sagara pakai sebutan Mas. Biar tambah cantik. Sudah mandiri dan berpendidikan masa gak sopan sama suaminya?" kata Tante Halwah, ibu Sagara.

"H-harus banget ya?" Shayna masih tampak tidak ikhlas.

Mengompori suasana, Sagara menyahut dari pojok ruangan. "Wajib dong, Ay! Gue lebih tua dari lo dua tahun loh. Dan juga, status gue adalah suami. Jadi, lo harus sopan dan nurut sama gue."

"Kali ini Kakek setuju nih sama Saga. Kakek bilang juga apa, Saga kalau udah nikah sama Shayna bakalan taubat. Buktinya dia sekarang bener dikit. Otaknya satu persen waras." Sahut Kakek Dome.

Shayna menarik nafas panjang, memaksakan senyumnya. Ya, dia tidak memiliki pilihan lain. Dia harus menurut pada Kakek Dome.

"Tuh 'kan Ay, gue bener. Sini Ay, duduk samping suami." Sagara semakin mengompori Shayna. Dia menepuk sebelahnya yang kosong, menginterupsi Shayna untuk duduk di sana.

Bertingkah sebagai istri yang baik, Shayna mulai beranjak dan duduk di samping Sagara. "Udah nurut nih, hehe…" katanya canggung.

"Duh, serasi banget ya pengantin baru ini?" Halwah menyenggol Kakek Dome.

"Sejak dulu serasinya…" mengabaikan percakapan mereka yang tidak jauh-jauh dari betapa cocoknya pengantin baru itu, Sagara mulai menggoda Shayna dengan berbisik di telinganya.

"Siap-siap lo nanti malam."

Shayna menoleh hingga bibir mereka nyaris menyatu, kemudian bertanya. "Siap-siap apaan? Emang kita mau pergi?"

Dengan wajah mesum menggoda, Sagara menjawab. "Siap-siap keperawanan lo lah… lupa atau gimana Dek?"

"Hah?!" Shayna masih tidak mengerti. Entah dia pura-pura lupa tentang ucapannya pagi tadi, atau memang lupa.

"Hah heh hoh… katanya pinter, lulusan Oxford… tapis ama omongan sendiri lupa." Sagara menyindir Shayna.

Seketika, otak Shayna berputar pada kejadian tadi pagi. Mulutnya terbuka, matanya syok. "Saga, lo gil—"

"Mas, Ay!" Sagara menegaskan.

Shayna berdecak, jengkel. "Lo gila ya M-m-mas Saga?!"

Sagara menggeleng santai, masih dengan mulut yang sibuk mengunyah coklat rasa jeruk. "Menurut lo siapa yang gila? Gue yang santai dan diem aja sejak tadi pagi atau lo yang banyak bacot dan berakhir jilat ludah sendiri?! Lagian air putih di gallon banyak, kok ya yang diminum ludah sendiri." Sagara menyindir Shayna.

Shayna sebagai seorang perempuan keras kepala dan dominan tentu tak mau kalah begitu saja. "Gue 'kan gak tau kalau Kakek bakalan mampir ke apartemen kita dan nyuruh gue manggil lo pakai sebutan Mas!"

"Apapun yang terjadi, ucapan tetap ucapan dan sumpah tetaplah sumpah. Makannya jangan terlalu berlebihan membenci sesuatu. Takdir gak ada yang tau. Bisa jadi yang paling lo benci adalah sesuatu hal yang menurut takdir baik." Sagara tiba-tiba bijak.

Shayna kebingungan. "Tumben bijak?"

"Sejak dulu Ay. Lo aja yang gak sadar kalau gue bijak. Yang dipikirin cuman Abi terus sih…" sindir Sagara, membawa nama Abi, sekretaris Shayna.

Kening Shayna berkerut, memelankan suaranya. "Kok jadi bawa-bawa Abi? Dia gak ada hubungannya sama kita. Dia cuman sekretaris gue." Desis Shayna.

Sagara tersenyum miring membalas. "Gue tau kali kalau kalian dulu sempat pendekatan. Cuman ya gue ketawain aja karena gue tau… jalan lo itu buntu. Cuman satu, dan di ujung jalan itu cuman ada gue."