webnovel

Menjadi Dewasa

“Soa, kau sudah tidur?” Ken bertanya dari luar.

Soa melihat jam dinding di kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, ia terkejut mendapati adiknya yang belum juga terlelap. “Masuklah, Ken,” ucapnya dengan suara agak meninggi.

Ken lalu masuk dan menghampiri Soa di tempat tidurnya.

“Kenapa kau belum tidur?” tanya Soa menyayangkan.

“Boleh aku tidur bersamamu?”

Soa membelai halus rambut Ken. Lalu mengangguk tersenyum seraya membuka tangan untuk menyambut Ken di atas tempat tidurnya.

Menerima sikap hangat dari kakaknya, Ken yang senang langsung melompat naik. Senyumnya mengembang seperti kue bolu yang berhasil di panggang.

“Soa, kenapa orang dewasa selalu menginginkan uang?” Ken yang berbaring dalam pelukan Soa bertanya mendadak.

Situasi seperti itu memang tak jarang terjadi di antara mereka. Soa sadar, alarm rasa penasaran adiknya sedang menyala, maka sudah saatnya ia memutar otak.

“Sama sepertimu Ken, mereka ingin membeli mainan,” jawab Soa sebisanya.

“Apa? Aku tidak pernah melihat ayah ibu membeli mainan untuk diri mereka sendiri. Kalau itu sebabnya, kenapa harus susah payah mencari uang? Aku bisa memberikannya. Aku punya banyak!” balasnya mulai kritis.

“Tapi mainanmu tidak bisa orang dewasa gunakan.”

“Maksudmu?”

“Hem ... begini. Mobilmu itu terlalu kecil untuk dinaikkan. Lalu rumah-rumahan milikmu, tidak muat untuk menampung tubuh mereka. Apa lagi, oh! Sepedamu. Perjalanan orang dewasa akan membutuhkan waktu lama jika menggunakan kendaraan itu, jadi mereka akan menggantinya dengan motor.”

Tak ada sepatah balasan pun yang keluar dari bibir mungil Ken. Soa mulai ragu, apakah Ken bisa menyerap ucapannya? Namun ia tetap melanjutkan.

“Semua yang orang dewasa miliki ketika mereka masih anak-anak, akan mereka ubah menjadi benda sungguhan yang bisa mereka nikmati. Ini seperti permainan monopoli, Ken. Uangmu akan menjadi uang sungguhan dan kau melewati setiap pilihan juga kesempatan di dalam hidupmu. Akan ada banyak hal yang ingin orang dewasa miliki, persis sewaktu mereka kecil. Begitulah orang dewasa, senang mengubah khayalan menjadi kenyataan.”

Ken masih terdiam mencerna ucapan Soa. Gadis itu mengira adiknya sudah menyerah untuk mencari tahu lebih banyak. Ia pun bangun sejenak menarik selimut agar bisa menghangatkan tubuhnya bersama Ken. Berkali-kali mulutnya sudah menguap, matanya tak kalah merasa berat.

“Uh, aku lelah sekali. Selamat tidur Ken,” ujar Soa seraya menjatuhkan tubuhnya.

Detak jarum jam terdengar begitu jelas, hening malam mendukung tubuh untuk melepaskan keletihan sepanjang siang. Namun baru saja tujuh detik terlewati di antara Soa dan adiknya. Bibir kecil itu sudah kembali mengisi kesunyian.

“Soa ....”

“Hem? Ada apa lagi, Ken?” tanya Soa dengan mata terpejam.

“Apa ketika aku dewasa nanti, aku pun akan melakukan hal yang sama?”

Soa membelalak, tak menduga Ken masih mau mengasah daya pikirnya. Walau ia sudah sangat mengantuk, tidak mungkin baginya bersikap membiarkan Ken begitu saja dengan pertanyaannya. Bisa-bisa Ken akan terus terjaga hingga pagi.

Dengan penuh kesabaran Soa pun memiringkan tubuhnya ke arah Ken. “Soal itu aku tidak tahu,” jawabnya memulai. “Tetapi menurut pengalamanku yang pernah beranjak dewasa dan sekarang sedang dewasa. Dorongan itu semua memang datang padaku. Saat ini aku ingin memiliki banyak hal, aku ingin semua mainan kecilku menjadi benda-benda sungguhan, tanpa terkecuali, dan aku rasa kau pun akan mengalaminya.”

Terdengar Ken berdesah. “Aku kira jadi orang dewasa itu menarik, ternyata sama saja!”

“Hah, bagaimana kau bisa berpikir begitu?” Soa mulai bingung dengan ucapan Ken yang bernada gusar.

Seketika Ken bangkit dari posisi berbaringnya, lalu duduk menghadap Soa dengan raut muka yang tampak kecut.

“Kalau pada akhirnya tentang banyaknya benda yang ingin dimiliki, lantas apa yang membedakan anak kecil dengan orang dewasa, Soa? Tidak ada!” tukas Ken. “Saat ini aku ingin mainan ini dan itu. Lalu ketika aku dewasa nanti aku ingin benda sungguhan ini dan itu, kenapa aku tetap saja berada di tempat yang sama?”

Seketika Soa dibuatnya tak mampu bersuara, batinnya tersentil dengan perkataan bocah itu. Ia jadi ikut duduk, termenung oleh kata-kata Ken. “Bagaimana bisa anak ini jadi berpikir begitu? Aku yang salah jawab, atau dia yang memang lebih pintar dariku?” heran Soa dalam batinnya.

Ken menjatuhkan kepalanya di pangkuan Soa. “Aku tidak mau dewasa, Soa. Bagaimana caraku mengatakan pada Tuhan kalau aku tidak mau dewasa,” rengek Ken polos.

Soa berusaha menahan tawanya, ia angkat kepala Ken lalu memeluk dan mencium kepala adiknya itu penuh hangat. “Tidak bisa, kau tetap akan tumbuh dewasa meski kau menolaknya.”

“Aku takut, Soa.” Ken melepaskan diri dari pelukan Soa.

“Apa yang kau takutkan?”

“Karena ingin untung besar, Ayah jadi terlibat hutang dan sekarang lebih banyak melamun. Ibu selalu mengeluh kekurangan uang, padahal kita tidak pernah kelaparan. Gensi dan kau terus saja bertengkar sambil sibuk mengoceh tentang penurunan restoran. Hidup orang dewasa terlihat sulit, bahkan untuk tertawa.”

Soa lagi-lagi dibuat Ken tercenung, tak menyangka bahwa sikap yang di tunjukannya selama ini membuat adiknya menjadi takut terhadap masa depan.

“Menjadi anak-anak tetap lebih menyenangkan,” tambah Ken dengan wajah kecutnya yang belum juga pudar.

Soa lalu mendorong lembut tubuh Ken dan membaringkan lagi di sampingnya. Sejenak ia membetulkan selimut yang tadi sempat berantakan, kemudian penuh keyakinan menggenggam erat tangan bocah itu.

“Kita akan cari jawabannya, Ken. Apa perbedaan antara anak-anak dengan orang dewasa sesungguhnya.”

Ken melirik Soa, “Untuk apa? aku pikir aku sudah menemukannya?”

Soa membalas tatapan Ken yang begitu yakin. “Hmm, menurutku kau belum menemukannya, karena kau masih dikekang oleh ketakutan,” jawab gadis itu diplomatis.

Ken mengernyit bingung, lalu beralih menatap langit-langit kamar seraya hanyut bermenung menerima kata-kata Soa.

“Belakangan ini aku sering dibuat takut,” aku Soa. “Namun ketika aku sudah tahu apa yang sebenarnya ada di depanku, tiba-tiba ketakutan itu hilang. Dengan begitu, aku bisa bergerak lebih bebas. Itu membuatku menyimpulkan bahwa aku takut karena aku tidak tahu.”

Ken bertanya lagi. “Jadi, sekarang semua ketakutanmu sudah hilang?”

“Tentu saja – belum.”

“Ah! Kukira.”

“Masih ada jawaban yang belum kutemukan. Aku masih harus mencarinya.”

Ken tercengang, pandangannya kembali penuh minat kepada Soa. “Sungguh?”

“Ya. Aku ingin melampaui ketakutanku, Ken.”

Ken yang peka hati amat pandai menangkap ekspresi Soa. Lantas bocah itu tiba-tiba mengulurkan cintanya, “Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu menemukan jawaban, Soa? Aku juga ingin membantumu menemukan keberanian yang kau cari.”

Untuk ke sekian kalinya Ken melukiskan senyum di bibir Soa. “Kau sangat manis, Ken,” pujinya. Soa memeluknya dengan erat lalu mengecup pipi bocah itu berkali-kali. “Tidurlah, ini sudah larut.”

“Kau belum menjawabnya,” Ken masih meminta.

“Cukup dengan kehadiranmu, itu sudah membantu.”

“Benarkah?”

“Tentu. Kehadiranmu memberiku energi untuk tidak menyerah mencari jawaban.”

“Sesederhana itu?”

“Bukankah kau yang bilang hidup orang dewasa itu terlihat sulit? Maka dari itulah, orang dewasa membutuhkan kesederhanaan yang datang dari anak-anak.”

Ken terdiam dan berpikir lagi. Sadar adiknya akan kembali membuka pertanyaan, Soa pun langsung berkata. “Sudahlah, Ken. Kita lanjutkan besok, aku betul-betul sudah mengantuk.”

Lalu sesaat kemudian mereka pun terlelap bersama.