webnovel

Bimbang

Di ruang senyap Soa kembali terjebak. Sekelilingnya gelap, sendirian dan tak ada para kunang-kunang. Hanya satu cahaya yang bisa ia tangkap, cahaya menyorot di ujung penglihatan.

Gadis itu berjalan mendekat, ragu langkahnya menunjukkan hati yang berat. Tampak dengan jelas, ada sebuah cermin yang berdiri di tengahnya.

“Cermin?” begitu batin Soa bertanya-tanya sendiri.

Soa tidak berminat mematut diri di depan benda itu. Namun dorongan dari hatinya begitu kuat membisikkan, untuk teguh pada langkahnya berjalan searah mendekati cermin misterius yang setinggi badannya.

“Untuk apa cermin ini?” tanyanya kembali kala ia telah berdiri di depannya.

Perlahan pantulan dirinya semakin kabur. Begitu kagetnya Soa kala beling yang padat itu menunjukkan gelombang di luar nalar.

Sekelebat kemudian seorang pria muncul di dalamnya. Soa tersentak, kehadiran pria dengan setelan jas itu berdiri membelakanginya masih enggan menunjukkan wajah.

Pandangan Soa menyorot serius. Rambut abu-abu pria itu sungguh tak asing baginya.

“Si–siapa kau?” Soa bertanya cemas.

Seketika pria itu membalikkan badan, dan betapa kagetnya Soa karena pria yang membuat dirinya penasaran adalah Sancho Jorell.

Sudut bibir pria itu tersungging, sorot matanya tajam menindas. Dengan suaranya yang berat lantas ia berkata.

“Aku adalah dirimu. Dan kau adalah aku!”

Mata Soa langsung terbuka lebar. Jantungnya seakan ditusuk oleh ribuan pedang.

“TIDAAAAAKKKK.”

Jeritan gadis itu memuncak. Ia mundur terperenyak kehilangan keseimbangan. Sementara Sancho begitu puas menertawakannya.

“TIDAAAAKKKKKKKKK.”

***

Seperti yang telah direncanakan dua hari lalu, Gensi dan Edzard menjemput Soa di rumah sepulang dari mereka mengawasi restoran. Mereka berdua memilih untuk tidak turun dari mobil. Menunggu kemunculan adik-adiknya di depan rumah tanpa ingin saling banyak bicara.

Gensi sedang diliput resah. Ada kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi di acara makan malam ini. “Tenanglah, semua akan berjalan baik-baik saja,” Edzard yang tahu betul perasaan istrinya mencoba menenangkan.

“Kau yakin, bibi Molly sedang tidak merencanakan apa pun?” Gensi mencoba bertukar pikiran.

“Tentu saja. Ini hanya makan malam biasa,” pungkas Edzard.

“Semoga saja, tidak ada hal buruk yang akan terjadi.”

“Sayang, ada apa denganmu? Tidak biasanya kau begini hanya karena Soa.”

“Aku juga tidak tahu, kekhawatiranku pada Soa kali ini terasa lebih dalam.”

Edzard terbelalak mendengar pengakuan Gensi. Sedikit kemudian ia menyerongkan posisi duduknya ke arah istrinya itu. “Sungguh? Dulu kau tidak sekhawatir ini saat tahu dia mulai berbicara sendiri?”

“Perasaanku bercampur menjadi satu.”

“Oh ya. Apa saja itu? Ceritakan padaku agar kau merasa lebih tenang.”

Gensi membuang nafasnya dalam-dalam. “Aku ... merasa khawatir namun enggan peduli. Aku ... merasa senang, namun juga merasa bersalah.”

“Untuk apa kau merasa bersalah? Apa karena perjanjian itu?”

Gensi diam mengisyaratkan bahwa dugaan suaminya memang benar.

“Astaga, perjanjian itu bukan karenamu. Jadi baik kau ataupun aku, kita tidak perlu merasa bersalah.”

“Kau benar, bukan kita yang melakukannya. Tetapi... sindiran Soa sangat tepat mengenai perasaanku kalau... aku memanfaatkan kondisi ini semua–kekayaan ini sungguh nikmat, tetapi aku merasa ini salah.”

“Sudahlah sayang, jangan kau pikirkan lagi. Bukankah ini sudah menjadi keinginanmu sejak dulu, untuk menjadi kepercayaan Ayah sepenuhnya dalam mengendalikan restoran? Kita ingin cabangnya ada dimana-mana, kita bermimpi untuk memperoleh kesuksesan bersama, dan inilah momennya. Kita hampir mendekati puncak, jangan kau tambah bebanmu dengan hal yang tidak perlu.”

“Ya, itu semua memang yang aku inginkan. Hanya saja... aku merasa akan lebih baik jika aku melihat dia dirawat di rumah sakit jiwa ketimbang menjadi tumbal persekutuan setan.

“Ah, kau tahu! Sulit buatku membayangkan apa yang terjadi pada Soa nantinya, tetapi masalah aneh ini sudah terlanjur ada di keluarga kita. Aku merasa akan ada hal yang mengerikan lebih dari yang kita bisa pikirkan, yang akan menimpa setiap orang di keluarga Mannaf.”

“Sudah-sudah. Jangan berpikir terlalu berat, aku yakin hal seburuk itu tidak akan terjadi. Dari pada kita pusing memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak kita paham. Lebih baik kita konsentrasi untuk semakin memajukan perusahaan. Ingatlah, kesempatan ini tidak akan datang dua kali.”

Lagi-lagi Gensi hanya bisa tertegun mendengar perkataan suaminya.

“Hei, kenapa kau diam?” tegur Edzard. “Sebaiknya kau telepon Soa sekarang. Katakan padanya untuk segera keluar.”

“Oh, iya.”

Gensi buru-buru mengeluarkan handphone-nya dari dalam tas. Tak butuh waktu lama, panggilan singkat itu langsung menyambungkannya kepada Soa.

“Ada apa denganmu? Kenapa kau terdengar terengah-engah?” selidik Gensi mendapati keganjilan dari suara adiknya.

Edzard bahkan ikut keheranan mendengar pertanyaan Gensi kepada adik iparnya.

“Apa kau habis lari marathon?!” lanjut Gensi lagi.

“Ti–tidak. Aku hanya... bermimpi buruk barusan. Lupakanlah. Di mana kau sekarang? Jangan buat aku menunggu lama sampai ketiduran lagi!”

“Aku sudah di depan. Keluarlah.”

“Baiklah, aku panggil Ken dulu.”

10 menit kemudian.

Soa muncul sambil menggandeng Ken. Ia terlihat santai, mengenakan celana Jeans dan jaket Hoodie berwarna merah muda yang sering digunakannya di musim semi, bergandengan tangan bersama Ken yang juga mengenakan gaya berpakaian yang sama.

Dari wajah Soa telah terpancar rasa berat hati yang tak bisa ia tutupi. Gensi pun menangkap hal itu, ada bagian dihati terdalamnya keinginan untuk melindungi, namun egonya masih belum berani mengambil risiko dan fasilitas yang ia telah rasakan menjadi semakin sulit untuk ia lepaskan.

“Wah Gensi. Apa ini mobilmu? Kau membeli mobil baru seperti Ayah?” baru saja mereka berhadap-hadapan, Ken sudah langsung bertanya membuat Gensi membelalakkan mata.

Gensi melirik ke arah Soa. Mata sang adik tertangkap menyorot penuh curiga. Gensi tahu betul apa yang dipikirkan adik pertamanya, dan hal itulah yang membuat kelembutan di hatinya kembali berubah keras. “Tentu saja, Ken. Bagaimana menurutmu? Apa ini keren?” wanita itu bersikap percaya diri menunjukkan mobil mewah itu di depan adik kecilnya.

“Wah, ini sangat keren! Kau sudah jadi orang kaya seperti Ayah, Gensi.” Ken terlihat sangat bersemangat.

“Tentu. Kalau kau ingin mainan baru, mintalah padaku.” Soa yang mendengarnya langsung tersenyum sinis.

“Benarkah?”

“Kau tidak perlu meragukanku,” tandas wanita tiga puluh tahun itu. Gensi lalu membukakan pintu mobil di bagian belakang. “Sekarang masuklah, jangan sampai kita datang terlambat.” Ken yang sedang penuh semangat langsung menuruti ucapan Gensi. Segera ia melompat ke dalam mobil dan senyumnya melengkung indah seperti perahu yang sedang mengambang di atas sungai yang tenang.

Setelahnya Gensi kembali ke arah Soa, ia lihat raut muka sinis dari adiknya masih belum juga mereda. “Apa kau juga ingin mainan?” ledek Gensi. “Mintalah padaku, aku tidak keberatan membelikannya untukmu.”

Soa melirik begitu tajam menyayat. Meski emosinya tampak tenang namun bukan berarti ia tak bisa menyerang. Dan bukan Soa kalau ia tidak bisa membalas ucapan kakaknya. “Hei Gensi. Lebih baik simpan saja uangmu agar kau tidak kembali miskin. Aku tidak tega melihatmu diinfus karena kehabisan uang.”