webnovel

JANGAN DENGARKAN MEREKA

Mata Jenson memerah menahan air mata dan dia memejamkan mata tak percaya, dia tidak menyangka mommynya akan kembali sakit seperti dua tahun yang lalu.

Dia menunduk dan merasakan kesedihan yang luar biasa dalam pemikiran itu.

"Apa memang ini yang kamu inginkan Kak?"

Jenson mengangkat kepalanya dan menatap Stephanie dengan kilatan kemarahan yang luar biasa.

"Kamu gila? Aku mencintai Mommy lebih dari apapun."

"Oh ya? Tapi Mommy seperti ini lagi gara-gara kamu."

"Stefi, tidak ada yang menginginkan kematian Jaz."

Jenson meneriaki Stephanie sambil menggebrak meja kerjanya dan itu membuat Stephanie tersadar bahwa dia sudah keterlaluan memprovokasi Jenson.

"Dia murni kecelakaan dan itu bukan gara-gara aku, aku hanya mencoba menyembunyikannya dari Mommy dan semuanya agar tidak terjadi seperti ini."

Stephanie tercengang mendengar kenyataan itu, tapi dia teringat sesuatu dan dia menarik sudut bibirnya untuk kembali mencibir Jenson.

"Tapi jika Kakak tidak mengikuti Liora dan muncul di media, aku rasa semua rahasia tidak akan berakhir sampai ke Mommy."

"Kamu yakin sesederhana itu?"

Stephanie menatap Jenson tak mengerti.

"Sebelum Jaz meninggal, dia menitipkan Liora padaku, dan siapa yang tahu kalau Liora ternyata sedang hamil anak Jaz."

Stephanie membelalak tak percaya.

"Kamu pikir aku tidak pusing dengan semua ini? kalau Tuhan memberikan pilihan untukku, aku juga masih menginginkan keberadaan Jaz disisi kita agar Liora tidak bersamaku. Kamu pikir aku tidak memikirkan perasaan Mommy dan Christabella?"

Stephanie menunduk dengan derai air mata yang semakin liar di pipinya.

Sementara Jenson mengatur nafasnya untuk meredakan emosinya dan dia mengerjapkan matanya beberapa kali agar tidak mengeluarkan air mata.

"Lalu dimana Kak Bella sekarang? Aku baru saja dari rumah sakit untuk menengoknya, tapi suster bilang Kak Bella sudah pulang, dia ada di sini kan?"

Jenson mengangkat wajahnya ke arah Stephanie dan dia sangat terkejut saat mendengarnya.

"Christabella sudah pulang dari rumah sakit?"

Stephanie menautkan alisnya dan dia bertanya pada Jenson dengan heran.

"Bukankah kamu yang seharusnya menjemputnya Kak?"

Harusnya begitu, tapi dia bahkan tidak tahu apapun, jadi dia panik dan buru-buru menghubungi Antonie.

Panggilan terhubung secepat mungkin dan Jenson langsung pada intinya.

"Christabella sudah keluar dari rumah sakit, kamu yang menjemputnya?"

"Saya tidak akan berani tanpa perintah Tuan."

Jenson menyugar rambutnya frustasi dan dia tahu harusnya Antonie tidak mungkin mendahuluinya.

"Kalau begitu periksa CCTV rumah sakit dan cari tahu dia pergi bersama siapa."

"Baik Tuan."

Jenson mematikan sambungan teleponnya dan dia menghela nafas berat.

"Jadi Antonie juga tidak tahu kemana Kak Bella?"

Jenson menggeleng tanpa daya.

"Kamu memiliki pengawal yang begitu banyak, tapi kamu lupa mengirim satu pengawal saja untuk Kak Bella, sebegitu tidak pentingkah dia untukmu Kak?"

Stephanie terus mencibirnya.

Jenson merasa tegang dan terdiam, baru kali ini dia merasa terkena skakmat, padahal dia biasanya tak terkalahkan dalam hal apapun terutama bisnis, tetapi di depan Stephanie saat ini, Jenson mati kutu.

Tapi Stephanie benar, kenapa dia tidak pernah berpikir memerintah para pengawalnya untuk menjaga ketat Christabella?

Ah, Jenson sangat menyesal sekarang.

Dia mengeluarkan ponselnya lagi untuk menghubungi Christabella, tapi dia harus menelan kekecewaan karena ponsel Christabella non aktif.

Jenson meletakkan ponselnya di meja dan dia memijat pelipisnya saat kepalanya mulai sakit.

Pada saat itu, ponsel Jenson tiba-tiba berdering, dia tampak bersemangat mengecek ID penelepon berharap Christabella atau Antonie, tapi yang menghubunginya justru Liora.

Stephanie yang duduk di depannya, langsung mengakkan punggungnya begitu tahu Liora yang menghubungi kakaknya, bersamaan itu kilatan kemarahan kembali menyala di matanya.

Dia bangkit dari duduknya dan menyambar ponsel Jenson sebelum Jenson mengatakan apapun pada Liora.

"Liora, jika dulu aku dan Mommy saja tidak pernah merestui hubungan kamu dan Kak Jaz, jangan harap kali ini kami akan merestui hubunganmu dengan Kak Jens, kamu pikir siapa ha? Harusnya kamu tahu kalau selamanya Kak Jens akan menjadi milik Kak Bella."

Mendengar kemarahan Stephanie yang berapi-api, Liora ingin sekali tertawa, tapi dia tidak mungkin melakukannya dan justru berpura-pura menyedihkan.

"Stephanie, kenapa kamu begitu tega? aku tidak pernah merebut Jenson dari Christabella."

"Bagaimana mungkin seseorang perempuan sepertimu mengakui kesalahannya? jangan sok drama Liora, aku tahu semua kebusukan kamu dan ibumu..."

Stephanie masih ingin mengatakan sesuatu yang lebih kejam saat Jenson dengan marah merebut ponselnya kembali.

Dia kemudian keluar dari ruang kerjanya meninggalkan Stephanie sendirian dengan pintu yang terbanting keras.

"Liora, aku mohon maafkan Stephanie."

Liora tidak menjawab apapun dan hanya isak tangisnya saja yang terdengar.

Jenson semakin merasa iba.

"Liora, please jangan menangis! Kasihan janinmu."

"Aku tidak peduli Jens, untuk apa? bukan hanya Tante Shirley saja yang menentangku, tapi bahkan Stephanie terus menghinaku."

"Aku mohon jangan dengarkan mereka..."

Stephanie yang saat ini berada di belakang Jenson, menatapnya dengan tak percaya dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menginterupsi Jenson.

"Jangan gila kamu Kak!"

Jenson berbalik dan menatap Stephanie dengan nyala api kemarahan di matanya, dia mematikan ponselnya dan menghadapi Stephanie.

"Lebih baik jangan ikut campur urusanku!"

Stephanie tertawa mencemooh.

"Hanya karena membela perempuan seperti Liora, kamu bahkan berani menentang Mommy dan aku. Hebat sekali."

"Aku hanya ingin memenuhi keinginan terakhir Jaz."

"Hingga mengorbankan istrimu sendiri?"

"Diam Stefi! Kamu tidak tahu apapun."

Suara Jenson yang dingin dan tegas seketika membungkam Stephanie.

"Baiklah, terserah kamu Jenson."

Stephanie pergi setelah mengatakan itu dan dia sangat kecewa.

Jenson meraung marah, jari-jarinya yang seperti giok melingkar dan mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Argh!"

Jenson meninjukan kepalan tangannya ke dinding dengan keras dan darah merah segar langsung mengalir di sela jarinya.

Meski begitu dia tidak merasakan sakit apapun, sakit di tangannya tidak sebanding sakit di kepalanya saat ini.

***

Sama halnya dengan Jenson, Liora juga sangat marah hingga nafasnya terengah-engah, dia bahkan membanting ponselnya hingga pecah.

Dari dulu, dia tidak pernah akur dengan Stephanie, semua terjadi karena ibunya Liora pernah menggoda Alexander dan Stephanie juga Shirley tahu semua perselingkuhan itu. Padahal waktu itu Liora sudah bersama Jaz, dia bahkan sering mengingatkan ibunya, tapi semuanya sia-sia.

Ayah Liora yang tidak pernah memberi nafkah sejak Liora masih kecil, membuat Miranda, ibunya Liora, melakukan segala cara untuk merayu laki-laki bergengsi seperti Alexander untuk bertahan hidup.

Dan Liora yang harus menanggung semua kebencian dan hinaan itu sendiri sekarang karena ibunya telah meninggal akibat kecelakaan bersama Alexander, tapi Jenson dan Jaz tidak pernah tahu kebenaran soal itu.

Membuang ingatan masa lalu ibunya, Liora mengatur nafasnya dan dia mengambil kembali ponselnya yang retak, memutar nomor manajernya dan berkata dengan isak tangis penuh frustasi.

"Aku ingin jumpa pers besok."