Hokkaido, Jepang.
Salju mulai berhenti saat Renji dan Ginnan naik taksi. Perjalanan terasa begitu cepat. Meskipun begitu, kaki Ginnan tetap lemas saat berdiri di depan bangunan yang Renji tunjukkan.
"B-Benar ini?"
Renji menopang tubuh Ginnan segera. "Hm," katanya. "Mau kugendong untuk masuk ke dalam?"
Ginnan pun merona ketika sopir taksi segera membuang muka dari mereka. "Tidak, please. Aku bisa." Katanya lantas memisahkan diri. Sayang, baru saja berjalan dua langkah, kakinya tiba-tiba lemas kembali.
Brugh!
Hampir saja! Serius! Tanah yang dipijak Ginnan bahkan masih berputar-putar saat Renji membopongnya di depan dada.
"Tapi aku bisa…" lirih Ginnan pelan, namun dia cukup tahu harus memeluk leher Renji bila tak ingin jatuh.
Tak lama kemudian, dua penjaga kompak membuka gerbang tinggi untuk mereka berdua. Sementara itu, sopir taksi langsung pergi setelah mendapat bayarannya. Ginnan pikir, rumah baru berarti kosong melompong. Nyatanya tidak. Semua pelayan yang pernah Renji singgung sebelumnya, mereka semua ada. Anjing, kucing, bahkan burung yang Ginnan mau … sejak kapan Renji menyiapkan semuanya? Apa dia selalu langsung memerintah bawahan setiap kali Ginnan meminta?
"Selamat datang, Tuan Renji dan Tuan Ginnan," sambut empat baris pelayan di depan pintu. Dua diantaranya sigap menerima barang bawaan yang dibawa para satpam dari luar. Mereka langsung naik ke lantai dua. Tergesa. Naik tangga terlihat berat sekali, namun melihat semuanya, Ginnan jadi penasaran apa Renji tidak pernah memikirkan beban tubuhnya selama ini?
"Aku boleh menebak style desain rumah ini?" tanya Ginnan. Renji memang tidak menatapnya, tapi pria itu pasti mendengar apapun yang dia katakan.
"Tentu."
"Aku sempat membuka internet," kata Ginnan. Dia melirik sekilas kemewahan marmer-marmer di sekitar lalu mengerjap ke Renji lagi. "Apa benar Victorian? Walau aku memang tidak yakin."
"Hmp, anggap saja begitu," kata Renji.
Di halaman, Ginnan sempat takjub ada kolam besar yang membentang. Semuanya dihiasi salju. Begitu pun pohon-pohon sakura yang ditanam di sudut-sudut tertentu. Dengan luasnya yang tak manusiawi, Ginnan pikir tempat ini benar-benar berlebihan. Namun, dia tahu. Renji yang terbiasa royal mustahil mengambil desain sederhana.
"Salah, ya…" gumam Ginnan kecewa. "Tapi aku suka kok. Lagipula apapun yang kau punya, pasti lebih baik dari kamar di rusunku. Ha ha."
Renji meliriknya sekilas. "Jantungmu berisik sekali…" gumamnya.
Ginnan pun salah tingkah seketika. "A-Aku tidak boleh bersemangat saat pulang?" katanya inosen. "Ini kan pertama kali aku benar-benar masuk ke rumah. Jadi, umn, terima kasih."
Aneh, Renji justru tidak menjawabnya.
"Ren?"
"Hm?"
"Apa aku salah bicara?"
"Tidak."
"Terus, kenapa?"
Renji diam lagi hingga mereka sampai ke pintu kamar. Tempat itu sudah terbuka dengan dua pelayan mondar-mandir di dalamnya. Mereka membongkari koper Renji, menatanya, sementara Renji sendiri membongkari jaket luar sang kekasih begitu merebahkannya.
"Aku bisa, aku bisa…" kata Ginnan. Dia segera duduk dan mengambil alih syal-nya dari tangan Renji. Lelaki itu sungguh bingung. Kenapa mendadak suasananya canggung sekali? Dia pun meraih tengkuk Renji dan menciumnya. Dia pikir, pria itu pasti akan memberikan perhatian kembali setelahnya. "Kau kenapa? Aku tidak mau bicara sendiri di sini."
"Maaf tidak mengajakmu langsung berkeliling," kata Renji. "Harusnya aku tidak berlebihan tadi pagi—"
"Ha ha… apa sih?" tawa Ginnan geli. "Seperti bukan dirimu saja. Astaga."
Ada percikan lembut di mata keemasan Renji. Seperti rasa bangga sudah benar-benar membawa Ginnan ke rumah ini. Terutama setelah dia merencanakannya begitu lama. Ginnan pikir, seseorang yang sukses seperti Renji sudah bosan dengan betapa klisenya impian. Namun ternyata, dia justru pria yang penuh dengan hal tersebut.
"Daripada itu, bagaimana jika tidur dulu? Malam nanti baru ajak aku jalan-jalan," kata Ginnan. "Tapi pertama, aku mau lihat perpustakaanmu yang diceritakan Kim Daniel." Cengirnya.
"Hmn."
"Oh iya, sebelum itu boleh aku minta ponselku?" tanya Ginnan. "Aku mau menghubungi Madam."
Saat itu, Ginnan benar-benar bersyukur Renji memberikan gawainya. Begitu Renji pergi, dia langsung membuka beberapa telepon. Hasilnya, Yuki benar-benar menghubungi. Gadis itu menelponnya lebih dari 50 kali. Begitu juga nomor baru dengan profil wajah Kuze. Ginnan paham, mereka sangat cemas tidak ada kejelasan soal Haru. Dia sendiri bingung harus bilang apa sekarang. Namun daripada tidak, Ginnan sempatkan diri untuk me-miss call balik sebelum Renji datang kembali.
"Letakkan saja di sana," kata Renji kepada seorang pelayan di belakangnya. Ginnan pun langsung menghapus semua daftar log panggilan sebelum pria itu duduk di tepi ranjang.
"Ren?"
"Setidaknya minum tehnya sebelum tidur," kata Renji. "Badanmu dingin. Suhu di luar memang sedikit mengkhawatirkan."
Ginnan pun melihat teko bening yang dibawa si pelayan. Dia mengerjap kala melihat bunga kuning mekar di dalamnya, terlebih dengan daun-daun yang bergoyang. Dia rasa, dia pernah melihat yang seperti itu di iklan. Blooming tea. Hal yang pernah ingin Ginnan coba sepanjang hidupnya tapi tidak pernah sempat.
"Oke."
Renji memandang pelayannya setelah Ginnan menerima secangkir perlahan-lahan. "Pastikan semua perapian di rumah menyala hingga besok pagi," katanya.
"Baik."
"Dan kalian harus makan malam jika sudah waktunya," kata Renji lagi. "Tidak perlu menunggu kami. Aku akan bersama Ginnan kalau dia sudah bangun nanti."
DEG
"Eh?" bingung Ginnan. Lelaki itu tidak jadi menyesap tehnya. "Tunggu—kenapa menunggu aku? Kau bukannya mau ikut tidur?" tanyanya.
Samar-samar, mata Renji sempat berkilat sekilas. "Hmn, nanti aku akan menyusul," katanya. Lalu beranjak pergi bersama si pelayan.
Percayalah, kesepian langsung meraup seluruh tubuh Ginnan saat itu. Dia merasa begitu lemah. Tidak berguna. Ingin diandalkan juga tapi tidak mampu memasuki teritori kuat seorang Renji Isamu. Ginnan sadar, dulu hubungannya dengan Yuki bisa hancur tanpa adanya rasa percaya. Mereka saling menjauh, saling hilang, lalu tak mampu memperbaikinya lagi. Karena itulah, saat Ginnan berpikir ingin melawan, dia segera mengingatkan diri sendiri. Betapa Renji sedang berusaha melindungi segalanya. Bila tak mampu membantu, bukankah Ginnan harus mendukungnya?
"Yuki-chan…" gumam Ginnan. Dia pun mengecek ponsel sekali lagi, berharap sang mantan kekasih balas menghubungi agar mereka bisa bicara. Hanya saja, tidak bisa.
Tidak bahkan setelah Ginnan menelponnya sekali lagi.
"Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan—"
DEG
Jantung Ginnan serasa mau runtuh saat itu. Dia bingung. Dia panik.
Bukankah Yuki-chan masih aktif beberapa saat lalu? Pikirnya, kalut.
Seketika itu, Ginnan pun memandang salju-salju di luar tanpa bisa terlelap ke dalam tidur siangnya.
.
.
.
NB: Ternyata setelah dibagi BAB 1 hanya sampai 28 Bagian 😩😆
Untuk BAB 2 akan kuketik sampai selesai dulu seperti ini, baru update marathon juga.
Oh iya, kalian scroll 1 lagi ya! Ada bonus buat kalian setelah ini!