"Pasti sakit. Memang ini benar-benar dipukul pakai botol sampai pecah ya?"
"Hm."
Usapan obat merah Ginnan berhenti. "Punggungmu memar," katanya dengan suara yang berat. "Tahu tidak? Melihatmu begini rasanya sakit sekali. Tapi kau belum menepati janji cerita."
"…"
Ginnan tetap mengintip wajah dingin Renji.
"Waktu itu … sebenarnya kau sedang apa?" tanya Ginnan. "Aku sakit, tapi kalau kau terluka, bisa bayangkan posisi kita tertukar?"
"Aku harus cerita sekarang?"
"Tentu saja!" Ginnan mulai menggosok dengan emosi. "Janji adalah janji. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."
Renji membentangkan kedua lengannya satu per satu kala Ginnan memakaikan piamanya ulang. "Sebenarnya bukan masalah besar," katanya. "Tapi aku tidak suka kau dihina seperti itu."
DEG
"Eh? Aku?"
"Hm."
Renji kini berfokus padanya. "Aku bertemu seseorang saat pergi membeli obatmu," katanya. "Waktu itu aku masih belum memanggil dokter. Dan ternyata dia memotret kita beberapa kali selama ini. Stalker."
Tunggu—apa dia adalah wartawan?!
"Ada orang asing yang tahu kita di Belanda?"
"Hm."
"L-Lalu?"
"Aku memeriksa kameranya," kata Renji. "Dan wajahmu ada di beberapa video biru untuk gay editan."
DEG
"APA?!"
"Mungkin dia animator professional," Renji membuang pandangannya ke lantai. "Dan CGI-nya benar-benar bagus. Aku tidak bisa mengontrol emosi melihat wajahmu di sana. Katanya, itu untuk diperjual belikan."
Ginnan kehilangan kata-kata.
"Kau mungkin belum sempat menampakkan diri secara resmi waktu itu. Tidak seperti sekarang," kata Renji. "Tapi beberapa pihak tidak sepemikiran denganku. Begitulah."
"Jadi…" Ginnan mengepalkan tangan tanpa sadar. "Mereka membuat rumor jelek tentangku. Maksudku, ahaha … aku tahu aku pelacur. Tapi, mereka memperluasnya dengan berita baru bohongan—"
"Kau seolah-olah ada di dalam pesta seks," sela Renji dengan urat lengan yang bermunculan. Percayalah, Ginnan menyesal melihat wajahnya. Meski pria itu tidak mengepalkan tangan, tapi pancaran mata emasnya benar-benar ingin menghancurkan seseorang. "Puluhan lelaki di sana-sini. Video lain berisi siksaan. Yang lain lagi seperti menghinamu dengan tinja di wajah—aku tidak bisa mengendalikan diri."
Dan Renji benar-benar menghajar lelaki itu. Sayang musuh satu tumbuh seribu. Renji sungguh-sungguh berkelahi dengan mereka sebelum dihajar balik. Tentu saja pria itu tidak tersudutkan. Ginnan yakin dia lebih dari mampu melawan mereka. Tapi menang diantara belasan orang? Renji memang keluar dari serbuan itu. Tapi bukan berarti pria tersebut tak mengorbankan sesuatu.
"Kau ini sebenarnya kenapa sih…" Ginnan mengusap matanya yang mendadak berair. Kini dia membereskan peralatan dan obat-obatan dengan cara yang sangat halus. "Lain kali biarkan saja yang seperti itu. Pikirkan juga keselamatanmu. Lagipula kau itu novelis. Kerjamu di belakang laptop dan bukannya berkelahi."
"…"
"Bayangkan kalau kau kenapa-kenapa lebih dari ini? Kau pikir … aku yang waktu itu sakit, bisa apa selain menyalahkan diri sendiri?"
Ginnan justru mendengar kekehan.
"Aku sudah baik-baik saja," kata Renji.
"Tapi kan yang seperti itu sudah resiko. A-Aku … setelah kupikir sekali lagi wajar kok kalau mereka menggunakan wajahku yang sedang viral dicari. Lagipula statusku memang pelacur. Yang lain-lain seperti stalker itu pasti banyak di luar sana. Kalau kau menemukan mereka, apa akan dihajar juga? Hah?"
Renji mendadak mendekapnya hangat. "Baik, sekarang maafkan aku, hm?"
Ginnan kehilangan kata-kata lagi. Dia kini meremas piama Renji. Ingin teriak, tapi rasanya justru sulit sekali. "Hm. Tapi lain kali jangan ulangi. Aku kan tidak benar-benar di video itu," katanya. "Aku bersamamu seharian. Kita bahkan di luar negeri sebulan lebih jadinya. Aku tidak kurang sedikit pun."
"Iya, maaf."
Kalau pria di hadapannya itu Renji yang dulu, Ginnan yakin dia tak akan mengatakan hal-hal seperti ini. Dia pun mengangguk perlahan, lalu membalas pelukannya.
"Umn."
Tanpa sengaja Ginnan me-notice kalender kecil di atas nakas. Di sana tanggal untuk besok dilingkari warna merah. Ginnan pun mencoba mengingat-ingat apa yang cukup penting dan membuat Renji menandainya. Tapi, aneh. Ginnan tidak bisa mengingat apapun. Dia pun berbisik di telinga sang kekasih.
"Ren?"
"Hm?"
"Apa besok kau akan pergi?"
"Maksudmu?"
Pelukan mereka terlepas. Ginnan memandang kedua mata emas itu dan mencoba menyelaminya. "Yah.. umn… kan pulang. Kalau ingat wajah kita sudah terlihat media, bukankah perusahaan butuh bicara denganmu?"
Renji justru diam.
Ginnan pun menggosok hidungnya salah tingkah. "A-Aku hanya khawatir. Tapi kalau tidak ada yang terjadi, itu bagus. Sungguh. Aku tidak berharap ada masalah dalam pekerjaanmu."
"Hm, besok aku akan pergi ke suatu tempat," kata Renji. "Tapi tidak sendirian."
"Eh?" kaget Ginnan. "Terus dengan siapa? Apa benar-benar ada yang—"
"Denganmu."
DEG
"Hah?"
"Bagus…" Renji langsung menghela nafas panjang. "Ternyata kau sungguhan lupa." Pria itu pun beranjak dari duduk, tampak sedikit kesal, dan Ginnan pun segera menangkap tangannya.
"T-Tunggu, Ren!" seru Ginnan. "Aku lupa soal apa?!" paniknya. "Maksudku, kalau kau tahu, bisa beritahu aku?"
Renji justru berbalik dan mencubit satu pipinya lembut. "Ke Rusun. Kita akan bertemu Madam Shin dan mengurus kontrak," katanya. Lalu duduk, bersila di depan Ginnan sembari melingkari pinggang lelaki itu. "Aku memang sudah menebusnya. Tapi, jika kau belum tanda tangan, menurutmu apa yang akan terjadi?"
Secara ajaib, mendadak ada tarikan lembut di dada Ginnan. "Ugh.. a-aku…"
"Katakan," Renji menatapnya dalam. "Kau benar-benar bisa berikan dirimu padaku atau tidak, Ginnan Takahashi."
Ada keputusasaan yang samar di mata itu. Ginnan bisa melihatnya dengan jelas. Aneh. Bukankah Renji telah mendapat jawabannya? Mereka berdua akan menikah bukan? Tapi kenapa Renji masih meminta izinnya? Memang, sejauh apa pria ini menghargai perasaannya?
"Mn, iya?" kata Ginnan ragu-ragu. "Tentu saja, Ren. Asal kita bertemu Madam-ku, tinggal tanda tangan saja kan?"
Yang tidak Ginnan sangka adalah saat Renji menyurukkan wajah ke perutnya. Pria itu bahkan menghirup aromanya di sana. Seolah-olah dia ingin memastikan Ginnan sungguh-sungguh ada. Nyata. Dan serius menerimanya. Ya ampun … serangan apa lagi ini? Ginnan pun berusaha menormalkan detak jantungnya sembari menepuk lembut kepala Renji.
"Maaf aku sempat lupa soal itu, Ren," kata Ginnan. "M-Mungkin, mn… karena lamaranmu sudah sebulan lalu? Ha ha… itu cukup lama kan? Jadi jangan tersinggung, oke?"
Renji tidak menjawab apapun. Ginnan jadi ingat, pria ini sempat mengatakan dia selalu menginginkan kehadiran seseorang dalam hidupnya. Tak peduli pria atau wanita. Asal mereka membuatnya nyaman dan mau menetap utuh, Renji pasti membuka tangannya. Astaga, apa dia sungguh sebahagia ini? Ginnan jadi ingin lihat bagaimana ekspresi wajahnya sekarang.
"Ren?"
"Hm?"
"Aku sudah bertemu keluargamu di Belanda," kata Ginnan. "Apa kau … mau bertemu keluargaku juga di panti?" pintanya hati-hati. "Ehem, aku tahu kau benci keramaian. Tapi, bagaimana pun aku tumbuh di sana. Jadi, yeah … begitulah."
"Tentu."