webnovel

32. Liburan Ke Bandung

Milly menceritakan tentang permintaan orangtua Evina untuk menambahkan band jazz di resepsi pernikahannya. Lalu Milly juga menceritakan tentang Martin. Ia sengaja melewatkan bagian tentang Nick yang merekomendasikan JazzGuy pada Darius.

"Kamu habis terkena pelet apa sih? Kenapa sekarang pria-pria jadi mendekatimu?" Ika menggelengkan kepalanya.

"Memangnya ada lagi pria lain?" tanya Helen polos.

"Ada!" seru Ika.

"Tidak ada!"

Ika dan Milly menjawab bersamaan.

Helen mendesah. "Aku lebih percaya pada Ika. Biasanya dia selalu bicara blakblakan."

"Milly, aku tidak percaya kalau kamu belum menceritakan apa-apa tentang Nicholas pada Helen." Ika menatap Milly tanpa dosa. Milly membalasnya dengan wajah garang.

"Nicholas?" Helen melongo. "Maksudnya Nicholas cinta pertamamu, Mil? Benarkah itu?"

"Eh..."

"Tentu saja benar, Helen." Ika menatap Helen dengan serius. "Sekarang mereka berpacaran. Hebat bukan. Setelah bertahun-tahun tidak pernah bertemu dan sekarang tiba-tiba mereka bisa sampai ke tahap ini."

Ika menjelaskan bagaimana saat Nick menabrak mobilnya dan kemudian mengajaknya untuk berkencan, mencium pipinya. Untung hanya sampai itu saja.

Helen tidak tampak bersemangat seperti Ika. Mungkin hanya perasaannya saja. Tapi seolah ada sesuatu yang ada dalam pikirannya.

"Lalu bagaimana dengan Martin? Apa kamu juga menyukainya?" tanya Helen.

"Apa? Tidak. Tentu saja tidak. Aku baru bertemu dengannya beberapa kali, tidak benar-benar mengenalnya. Aku ingin sekali menolak ajakannya untuk bertemu lagi, tapi aku bingung harus bagaimana menolaknya agak dia tidak tersinggung. Kamu bisa menolongku, Helen?"

"Apa yang bisa kulakukan?"

"Saat technical meeting Darius dan Evina, kamu yang urus ya. Aku tidak mau bertemu lagi dengannya."

"Baiklah."

Ibu Milly datang membawa kue pai stroberi. Dengan cepat Helen langsung menyerbunya. Napsu makannya memang agak sulit dikontrol. Ibunya juga telah menyiapkan pai khusus untuk Milly, tanpa gula dan gluten.

"Kamu selalu diet seumur hidupmu. Tanpa nasi atau karbohidrat berlebih. Susu kedelai. Salad buah. Apa kamu tidak merasa tersiksa?" tanya Helen.

"Aku sudah terbiasa. Aku memang tidak begitu suka makan nasi atau kue yang manis-manis." Ya mungkin begitu sebelum ia bertemu dengan Nick. Ah pria itu telah mengajaknya untuk memakan nasi goreng kambing terenak di seluruh dunia. Ia jadi ingin memakannya lagi.

"Apa menurutmu aku harus diet juga?" Helen meletakkan painya di piring. Wajahnya tampak murung.

"Kenapa kamu berkata seperti itu?" Ika menepuk tangan Helen yang besar. "Milly tidak menyuruhmu untuk diet."

"Hanya saja... Mungkin karena aku gemuk, jadi Efran meninggalkanku."

"Efran si berandalan itu?" Suara Ika meninggi satu oktaf.

"Jaga sikapmu, Ika."Milly mengingatkan.

"Sebaiknya kamu jangan mendekati pria itu lagi. Efran bukan pria yang baik untukmu." Ika mengerutkan dahinya.

"Jangan berkata seperti itu. Selama ini aku tidak pernah mengusikmu dengan Wage." Helen jelas tampak tersinggung.

"Eh tapi Wage itu berbeda," tukas Ika. "Dia pria yang sangat baik dan dewasa. Dia juga mapan. Dia..."

"Ika, Efran juga sangat baik dan dewasa. Dia juga punya pekerjaan. Uangnya juga banyak. Tapi dia... dia..."

"Sudah sudah." Milly mencoba menengahi. "Kalau Efran itu memang sangat baik, dia seharusnya tidak meninggalkanmu, apalagi kalau alasannya karena badanmu yang gemuk. Cinta tidak harus melulu karena fisik semata. Cinta itu timbul dari hati, mau menerima apa adanya. Kamu tahu kalau sejak dulu Efran putus sekolah, minggat dari rumah orangtuanya, pernah berurusan dengan polisi, tapi karena kamu memang mencintainya, kamu tetap saja menerimanya. Seringkali cinta tidak membutuhkan status seseorang. Entah orang itu berasal dari keluarga baik-baik atau bukan. Nah jadi kalau karena kamu gemuk, lantas Efran meninggalkanmu, itu namanya bukan cinta."

Kedua sahabat Milly tertegun memandangnya. Helen mengangguk perlahan.

"Kamu benar, Mil. Efran memang tidak pernah mencintaiku."

Ika dan Milly memeluk Helen.

"Oh, Helen Sayang. Maafkan aku. Kamu jangan bersedih ya." Ika mengusap-usap rambut Helen. "Kita akan mencarikan pria yang baik untukmu."

"Terima kasih ya." Helen balas memeluk mereka.

Syukurlah mereka tidak melanjutkan pertengkaran ini lagi. Helen dan Ika kembali melahap kue pai. Milly sudah menghabiskan kuenya.

"Oh iya," kata Helen. "Besok lusa kalian mau ikut denganku ke Bandung tidak? Aku mendapat tiket hotel dan pesawat gratis."

"MAU!" seru Ika.

Bandung? Bukankah lusa Nicholas akan ke Bandung? Lampu bohlam ajaib bersinar di atas kepalanya. Ia akan memberikan Nicholas kejutan.

"Kamu ikut kan, Mil?" tanya Helen.

"Tentu saja."

***

Hari berganti dengan cepat. Milly telah menolak telepon dari Martin. Sebagai gantinya ia membalasnya dengan pesan singkat.

"Maafkan aku Martin tidak sempat mengangkat telepon darimu. Aku sedang di jalan."

Itu lebih baik daripada ia menghindar begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.

Tiket pesawatnya ternyata menuju ke Jakarta. Penerbangan memakan waktu hampir dua jam. Setelah tiba di Jakarta, mereka melanjutkan perjalanan ke Bandung dengan menggunakan bus.

Milly, Helen, dan Ika tiba di Hotel Poseidon pada pukul empat sore. Helen yang mengurus administrasi di resepsionis. Milly dan Ika duduk di sofa.

"Bagaimana hubunganmu dengan Wage? Apa baik-baik saja?"

Tiba-tiba wajah Ika memerah. Ia tersenyum malu-malu. Milly jadi bingung dengan sikap sahabatnya itu.

"Aku... Em... Kamu jangan cerita pada Helen ya. Aku takut dia jadi baper lagi. Kemarin saat aku menceritakan tentang Nicholas saja, sepertinya aku membuatnya patah semangat. Padahal kita kan sama-sama tahu kalau Efran itu bukan pria yang baik untuknya."

"Iya aku mengerti. Makanya aku baru menanyakan tentang Wage sekarang."

"Baiklah kalau kamu mengerti. Aku dan Wage sudah resmi berpacaran. Dia benar-benar pria yang tahu bagaimana cara memuaskan wanita sepertiku." Ika tertawa puas.

"Memangnya apa saja yang sudah kalian lakukan?"

"Wage mengajakku makan malam di cafe. Romantis sekali. Wage mengantarkanku pulang, lalu dia menciumku lembuuuuttt sekali."

Milly teringat saat ia dan Nicholas berciuman di dapur rumahnya. Itu bukan sekedar ciuman lembut. Itu benar-benar ciuman yang sangat menggairahkan, membuat dirinya terbakar oleh nafsu. Ika mengguncang bahunya, membuyarkannya dari lamunan.

"Kamu kenapa bengong begitu?"

"Tidak. Aku tidak bengong."

"Ayo mengaku! Kamu dan Nicholas pasti sudah pernah berciuman. Ya kan? Ayo ceritakan padaku!"

Milly menelan ludah. Haruskah ia menjelaskan segala detailnya pada Ika?

"Aku dan Nick... Aku tidak tahu apa sebenarnya aku dan dia sudah resmi berpacaran atau belum. Dia memang menciumku. Tapi lalu ia berkata kalau aku adalah miliknya. Ia tidak mau kalau Martin sampai merebutku darinya."

"Waah romantis sekali. Kenapa kamu masih ragu mengakuinya sebagai pacar?"

"Itu karena Nick tidak pernah mengucapkan bahwa dia mencintaiku."

"Masa sih? Bagaimana mungkin ia hanya sekedar menciummu tanpa menyatakan perasaannya?"

"Sebenarnya ia telah bernyanyi untukku. Tapi entahlah aku tidak begitu yakin kalau itu benar-benar untukku. Setidaknya aku ingin mendengarnya mengatakan kalau dia mencintaku."

Helen datang sambil memamerkan kartu kunci kamar hotel. "Hore! Kita dapat kamar suite room. Yeay!"

Next chapter