webnovel

Milly's First Love

Tidak semua kisah cinta pertama berjalan dengan indah. Millicent Jones atau yang biasa dipanggil Milly, selalu menerima perundungan semasa ia sekolah. Teman-temannya mengejek nama Jones menjadi singkatan Jomlo Ngenes. Milly benci sekali dengan sebutan itu karena seolah menjadi kutukan baginya. Hingga usianya yang menginjak tiga puluh dua tahun, ia masih saja menjomlo. Hingga suatu hari, Milly tidak menyangka bahwa ia akan bertemu lagi dengan cinta pertamanya saat masih SMP. Pria itu adalah Nicholas Adinegara. Nick adalah seorang chef seksi, tampan, dan sanggup membuat lutut Milly bergetar karena menatapnya. Seingat Milly, dulu Nick tidak setampan dan semenawan sekarang. Nick tampak begitu tampan mempesona hingga membuatnya melanggar sumpahnya dulu yang mengatakan bahwa ia tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada pria mana pun. Semenjak pertemuan itu, mereka pun jadi semakin dekat. Cinta di antara mereka tumbuh semakin kuat. Namun, berbagai permasalahan pun terjadi. Milly harus merelakan Nick dengan wanita lain. Atau mungkin sebenarnya Nick juga harus merelakan Milly dengan pria lain? Akankah cinta pertama itu berubah menjadi cinta yang terakhir dan untuk selamanya? *** Halo My Readers! Buku ini adalah lanjutan dari buku Terima Aku Apa Adanya (21+); sudah completed. Hanya di Webnovel. Nicholas adalah adik tirinya Rissa. Di buku Milly ini yang menjadi pemeran utamanya adalah Nicholas dan Milly. Buat yang belum tahu siapa itu Rissa, bisa langsung diintip bukunya ya. Buat yg sudah baca buku TAAA terima kasih. Selamat melanjutkan kisah-kisah mereka. Silakan follow IG saya: santi_sunz9 Supaya kita bisa saling mengenal dan siapa tahu nanti saya akan membagikan gift. Salam hangat, Santi_Sunz Happy reading. 21+ KHUSUS DEWASA!! HANYA DI WEBNOVEL!!

Santi_Sunz · Urban
Not enough ratings
438 Chs

30. For Sentimental Reason

Siang itu Milly janji bertemu dengan JazzGuy di cafe. Ia datang satu jam lebih awal, Marshal yang mengantarnya. Sebenarnya jika ia menyetir sendiri, ia akan datang tepat waktu saja. Tapi ia harus tepat janji pada Nicholas. Jika memungkinkan ia akan terus meminta kakaknya untuk mengantarnya ke mana-mana. Agak menyusahkan memang. Sebenarnya ini tidak ada gunanya. Karena saat bertemu dengan vendor atau klien manapun, ia tetap harus menghadapinya sendiri. Milly tersenyum dalam hati. Yang penting ia sudah menepati janjinya.

Sambil menunggu waktu, Milly memesan makanan. Tak lama kemudian Martin datang menghampirinya, lalu duduk di hadapannya.

"Hai, Milly. Kamu sudah datang." Martin tersenyum lebar, membetulkan posisi kacamatanya.

"Hai. Kamu sudah makan siang?"

"Belum sih." Martin memanggil sang pelayan untuk memesan makanan. "Bagaimana kabarmu, Mil?"

"Baik. Kamu sendiri bagaimana?"

"Aku... Sebenarnya aku agak khawatir tentang makan malam kita waktu itu. Aku tidak menyangka kalau tiba-tiba Nicky datang. Apa dia marah padamu?"

Milly menyeringai. "Dia... yah... Aku baik-baik saja kok."

"Oh jadi dia benar-benar marah ya? Aku jadi tidak enak. Maafkan aku ya. Seharusnya aku tidak pernah mengajakmu makan malam."

"Tidak. Justru aku yang merasa bersalah. Tidak seharusnya Nick mengusirmu. Itu sangat tidak sopan. Aku harap kamu tidak tersinggung."

"Tenang saja, Mil. Aku tidak tersinggung. Aku hanya mengkhawatirkanmu." Martin memandangnya. Milly tersenyum setengah hati.

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja."

"Apa kalian berpacaran?"

"Mmm..." Milly mengangguk perlahan. "Mungkin. Entahlah. Tidak pernah ada perkataan resmi seperti itu."

"Oh. Aku pikir kalian benar-benar berpacaran. Hampir saja aku berpikir untuk menyerah."

"Menyerah apa?"

"Hah?" Martin terkekeh. "Tidak tidak. Aku hanya asal bicara. Aku tidak akan pernah menyerah terhadap apapun."

Sang pelayan membawakan makan siang mereka. Kemudian mereka mulai makan. Rasanya canggung sekali makan di hadapan Martin. Pria itu terus menerus mencuri-curi pandang. Martin tampak kikuk saat mengangkat mie dengan garpu, uap panas mengepul, menghasilkan embun tebal di kacamatanya. Ia melepaskan kacamatanya, mengelapnya dengan tisu.

Milly memperhatikannya. Mata Martin terlihat lebih sipit saat tanpa kacamata. Hidungnya lumayan mancung, terdapat bekas merah di bagian atas hidungnya tempat kacamatanya bertengger sepanjang waktu. Dahinya agak berkeringat. Martin memang tampan. Beruntung sekali jika ada wanita yang menjadi kekasihnya. Martin pria yang sangat ramah dan baik. Belum lagi ia pandai bermain piano.

Ia tersenyum simpul pada Milly. "Repot ya kalau memakai kacamata. Beruntung matamu masih normal, tidak perlu sepertiku."

"Menurutku, kamu lebih bagus pakai kacamata."

"Benarkah?" Buru-buru Martin memakainya. "Seperti ini?"

"Ya."

Martin terus saja memandangnya hingga membuat Milly sulit untuk menelan makanan.

"Milly, matamu berwarna hijau."

"Keturunan ayahku. Sebenarnya ibuku juga. Hanya saja mata ayahku lebih hijau cemerlang daripada ibuku."

"Hebat."

"Hebat apanya?"

"Kebanyakan orang Indonesia bermata hitam. Untuk memiliki warna mata sepertimu harus memakai softlens. Kamu tidak usah memakai apa-apa sudah berwarna hijau dari sananya."

"Bukankah menyenangkan bisa berganti-ganti warna mata dengan memakai softlens? Justru aku ingin sekali memiliki mata berwarna hitam sepertimu."

"Benarkah?" Martin tersenyum lemah. "Terkadang kita lebih menginginkan apa yang orang lain miliki, padahal apa yang kita miliki sendiri adalah yang terbaik yang sudah Tuhan berikan."

"Kamu benar. Kamu menyadarkanku untuk selalu bersyukur."

"Ah sama. Aku juga suka lupa bersyukur. Kita harus sama-sama belajar bersyukur."

"Ya benar. Kita sama-sama belajar bersyukur ya."

"Oh ya Milly. Aku ingin memberitahumu. Hal yang paling aku syukuri hari ini adalah aku bisa bertemu dan makan siang bersamamu... tanpa ada gangguan."

"Oh Martin. Sekali lagi aku minta maaf karena waktu itu Nick mengusirmu."

"Milly, kamu tidak perlu meminta maaf. Aku sudah memaafkannya sejak lama kok." Martin kembali memandanginya dengan cara yang membuat Milly tidak nyaman. "Apa kamu senang makan siang denganku hari ini?"

"Kenapa aku harus tidak senang? Martin, sebaiknya kita harus selesaikan makan siangnya. Sebentar lagi klienku akan datang."

Martin mengerjapkan matanya. "Oh iya kamu benar." Setelah itu mereka makan cepat dalam diam.

Tak lama kemudian personil JazzGuy yang lain datang. Martin mengenalkannya satu per satu pada Milly. Jerry, sang pemain saxophone. Rei, pemain bass. Angga, sang pemain drum.

"Bagaimana bisa kamu makan siang dengan wanita cantik? Menang banyak kamu, Martin." Jerry menggodanya.

Martin terkekeh. "Itu namanya rejeki."

"Milly, lain kali kita harus makan siang bersama. Biar aku yang traktir." ujar Rei.

"Oh iya maaf. Aku tidak bermaksud tidak mengajak kalian." Milly merasa tidak enak.

"Tenang saja, Milly. Rei memang bendahara." Jerry menjelaskan pada Milly. Lalu ia berpaling pada Rei. "Sebaiknya kamu memakai uang hasil keringat kita semua dengan bijak."

"Aku selalu membaginya dengan adil. Tapi mentraktir seorang wanita cantik tidak akan sedikitpun merugikan kita kan, Jer." Rei menonjok pundak Jerry perlahan.

"Kamu benar." Jerry tersenyum lebar.

"Milly, tolong jangan dimasukkan hati ya." Angga menepuk bahunya, kebetulan pria itu duduk di sebelah Milly. "Jerry dan Rei memang terlalu banyak bicara. Semoga kamu tidak tersinggung ya."

"Tidak apa-apa, Angga. Aku sama sekali tidak tersinggung."

Akhirnya Darius dan Evina datang. Evina membawa ibunya yang adalah seorang penggemar jazz. Jerry dan Rei bertindak sebagai juru bicara. Martin dan Angga lebih banyak diam.

Mereka membahas tentang beberapa pilihan lagu kesukaan ibunya Evina.

Kemudian JazzGuy menampilkan sebuah lagu. For Sentimental Reason.

Untuk sementara JazzGuy belum memiliki vokalis tetap. Jadi Martin yang bernyanyi sambil bermain piano. Dulu sekali saat Milly masih kecil, ayahnya sering menyetel lagu jazz. Salah satunya yang paling sering diputar adalah karya Nat King Cole. Lagu ini sama sekali tidak asing lagi di telinga Milly.

I love you... for sentimental reasons

I hope you do believe me

I'll give you my heart

I love you and you alone were meant for me

Please give your lovin' heart to me

And say, "We'll never part"

I think of you every morning

Dream of you every night

Darling I'm never lonely

Whenever you're in sight

I love you... for sentimental reasons

I hope you do believe me

I've given you my heart

Harus diakui, suara Martin memang seksi. JazzGuy tidak memerlukan seorang vokalis tambahan. Jari jemari Martin begitu luwes menekan tuts piano ke sana ke mari. Mata Martin tak pernah lepas memandang Milly. Itu membuat Milly sangat tidak nyaman. Ia beralih menatap Jerry atau Rei. Tapi ketika ia kembali menatap Martin, pria itu masih saja terus lekat menatapnya.

Selesai refrain, Martin baru melepaskan tatapannya dari Milly. Pria itu memainkan pianonya dengan penuh penghayatan. Saat berkata : I love you... Martin kembali menatap Milly. Seketika Milly terkesiap. Ia merasa seolah-olah Martin sedang menyatakan cinta padanya.