webnovel

Miliki Aku Dengan Ketulusanmu

Novel Rate ++, Harap bijak. Dibuang oleh keluarga, dinodai oleh mantan kekasih dan dijebak oleh dua teman sendiri, membuat Gretta Fernanda (Waynee) Grinson terpaksa menjalani hidup dengan membuang identitas lama. Kini, hidupnya berubah drastis, saat ia memutuskan untuk terjun sekalian ke dalam kubangan lumpur penuh dosa. Tidak ada lagi Gretta si nona dengan segala macam kekuasan di genggamannya, yang ada hanya berjuang untuk terus hidup, meskipun ia sendiri tidak yakin apakah saat ini hidupnya disebut sebuah kehidupan. Lalu, bagaimana jika ada seorang pria yang membelinya. Membebaskannya dari jeratan kehidupan malam? Dan bagaimana juga, disaat ia sudah melupakan kehidupannya yang dulu, satu per satu orang dari masa lalu kembali menemuinya. "Tidak ada cinta di hati saya dan saya bukan Gretta, Tuan. Percuma anda memaksa saya." Gretta Fernanda Grinson. "Kamu Gretta dan kamu akan mencintaiku cepat atau lambat." sang Tuan. Ikuti kisahnya di sini ….

Haru_lina · Urban
Not enough ratings
406 Chs

Gretta Yang Berbeda

Seeventh Café

"Gretta sudah kukatakan untuk fokus saja dengan kuliahmu, kenapa malah nekat bantu kami, heum?" tegur seorang wanita dengan pakaian pelayan, menatap galak ke arah seseorang yang ia panggil dengan nama Gretta.

Berani sekali wanita ini memarahi seorang Gretta?

Tapi aneh, inilah yang justru dicari oleh Gretta. Ia justru suka, saat ada seseorang yang menegurnya seperti ini. Ia bahkan memasang wajah imut, membuat pria paruh baya yang memperhatikan mereka menggelengka kepala tidak habis pikir.

"Astaga! Kakak galak sekali, Gretta bosan kalau hanya duduk," sahut Gretta dengan bibir mengerucut lucu, menatap si pelayan yang ia panggil kakak dengan tatapan pura-pura takut.

"Sudahlah Ayana. Biarkan Gretta membantumu," sahut seorang pria paruh baya yang di awal menyambut Gretta dengan senyum ramah.

Pria ini menyebut gadis yang memarahi Gretta dengan nama Ayana, membuat Ayana yang mendengar pembelaan atas Gretta berseru protes.

"Tapi Papa!"

Papa?

Iya, Ayana adalah anak dari si pemilik café yang tak lain adalah si pria paruh baya ramah ini.

"Kak…, izinkan Gretta ya…," rayu Gretta dengan tatapan mata kucing, berkedip imut hingga semakin membuat si pria paru baya ini terkekeh.

Si kakak—Ayana hanya bisa mendengkus, saat papanya mulai termakan rayuan dari seorang Gretta, mahasiswi yang sering berkunjung di café dan tiba-tiba nyempil di kehidupan ia serta papanya.

Ia bahkan tidak tahu, sejak kapan Gretta memanggilnya seorang kakak dan semakin lama menganggapnya layaknya kakak sendiri. Lalu sialnya ia pun menyayangi anak nakal ini, benar-benar menyebalkan.

"Tidak bole-

Cringg!

Suara pintu yang terbuka sontak mengalihkan perhatian keduanya dan juga si pria yang segera menyambutnya ramah.

"Selamat datang!"

"Papa biarkan Gretta yang melayani!"

"Hei! Sejak kapan Papaku jadi Papamu, Gretta?" tegur Ayana pura-pura murka dan seketika mendengkus saat mendapat jawaban luar biasa dari Gretta.

"Sejak aku memanggilmu Kakak, Kak Aya! Lopenyu pull, emuah!"

Ha-ha-ha…

Ayana melirik ke arah sang papa yang tertawa karena kelakuan dua perempuan muda, satu anaknya sedangkan satunya adalah pelanggan sejak beberapa bulan lalu.

Ayana kembali melihat ke depan, di mana Gretta melayani seorang pelanggan dengan senyum ceria. Hingga ia bisa melihat jika pelanggan laki-laki itu tersenyum malu, saat melirikan netranya menatap Gretta.

Tidak, Ayana sedang tidak merasa iri karena pelanggan laki-laki di café milik sang papa menyukai Gretta. Namun, ia hanya merasa heran, kenapa Gretta selalu menyempatkan dua jam di cafenya hanya untuk menjadi seorang pelayan alih-alih duduk dan istirahat?

"Ah! Aku pusing memikirkan anak itu," batin Ayana sebelum ikut melayani pelanggan yang kembali berdatangan.

Pelanggan yang sama setiap kedatangan Gretta ke café di tiap harinya.

Cringg!

"Siang Tuan, mau pesan apa?" tanya Ayana professional, senyumnya terukir ramah dan pria muda di depannya mengalihkan wajah dari tas yang dibongkarnya ke arahnya.

"Satu ekspresso," sahut si pelanggan yang segera dicatat Ayana.

"Ada lagi?"

Si pria muda ini tampak melirikkan wajahnya ke arah lain, tepatnya ke arah Gretta yang masih meladeni beberapa pelanggan baru, sebelum akhirnya kembali melihat Ayana yang sebenarnya mengerti arti tatapan itu.

"Tidak ada," jawab si pelanggan dengan gelengan kepala kalem.

"Baiklah, ditunggu sebentar!" sahut Ayana ceria, menyembunyikan kikikan gelinya.

Pria muda yang tampan, sayang Gretta jarang menyapa setiap kali si pria datang.

Ya, pria ini pun cukup memperhatikan sejenak, sebelum akhirnya fokus dengan tugas akhir kuliahnya.

"Dasar, anak muda zaman sekarang," gumam Ayana sebelum memberikan kertas pesanan kepada sang papa.

"Wah! Pesanan ini lagi?" tanya sang papa—Ronny Seeventh.

"Huum, aku jadi curiga jika ia suka dengan Gretta, Pah," lapor Ayana dengan nada posesif seakan menjaga adiknya dari para pria.

"Tadi siapa yang tidak suka dengan panggilan kakak, heum? Kenapa saat ini kamu seakan marah, jika Gretta ada yang menyukai?" ledek Ronny dan delikan anaknya justru membuatnya tergelak.

"Papa ih! Nggak lucu," dumel Ayana sebal.

"Baiklah-baiklah, ini pesanannya dan silakan diantar," timpal Ronny mengalah, sambil mengulurkan secangkir ekspresso pesanan kepada sang anak.

"Okay!"

Ayana pergi bersamaan dengan Gretta yang baru selesai dengan pesanan kesekiannya. Keduanya saling bersingutan ketika berpapasan, sebelum akhirnya sama-sama tertawa ketika saling menjulurkan lidah.

Ronny yang melihatnya kembali menggelengkan kepala dengan kekehan kecil, kemudian mengusap surai Gretta sayang saat gadis itu memberikan pesanan banyak.

"Lihat Papa! Gretta bawa pesanan banyak, kalau seperti ini Papa cepat kaya," kata Gretta dengan cengiran lebarnya.

Bukankah sungguh berbeda? Yang mana Gretta sesunggunya?

"Kamu putri Papa yang terbaik-

"Papa! Aya dengar itu."

"Ha-ha-ha…, kalian berdua putri Papa yang terbaik," koreksi sang papa dengan gelak tawanya.

Ayana mendelik galak kepada Gretta yang menjulurkan lidahnya, sebelum akhirnya mengantar pesanan yang diberikan sang papa.

"Sudah-sudah, sebaiknya antar pesanan dulu," lerai Ronny dan keduanya pun kembali meninggalkan konter, melayani pelanggan mayoritas laki-laki yang memesan dengan senyum malu ke arah nona muda Grinson.

Sementara itu, di meja pojok ada seorang pria yang sudah beberapa minggu ini selalu datang ke café kecil ini.

Pria ini hanya akan memesan satu cangkir ekspresso dan tenggelam dengan tugas kuliahnya. Meskipun sesekali netranya akan ke arah salah satu pelayan. Namun selain itu juga, ia nyaman dengan café ini dan lagi ada wifi yang membuat tugasnya selalu lancar terkirim.

Ekspresso yang dipesannya sudah dingin, namun sama sekali tidak disentuhnya sangking sibuk dengan apa yang dikerjakannya.

Pelanggan di sekitarnya bahkan sudah silih berganti, tapi si pria muda ini masih saja asik dengan jari menari indah di atas keyboard. Tatapan matanya sama sekali tidak berpindah, sekalipun untuk melirik barang sedetik.

Dari ujung konter, Gretta dan Ayana yang sudah tidak sibuk memperhatikan dalam diam si pria. Ayana juga berbisik kepada Gretta, jika si pria ini sering curi pandang ke arah Gretta dan Gretta sendiri menanggapinya dengan kekehan manis.

"Jangan bercanda. Mana ada yang seperti itu," tukas Gretta tidak percaya.

"Idih, kamu tidak percaya? Coba saja," tantang Ayana dengan nada yakin, menatap dengan bahu terangkat dan juga mendengkus saat melihat Gretta justru mencebil.

"Dia terlihat seperti Om-

"Sembarangan! Dia tampan dan sepertinya masih seorang mahasiswa, soalnya di mejanya banyak buku jurusan gitu. Sibuk banget juga dari tadi diperhatikan," sela Ayana dengan delikan mata, saat mulut mencebil Gretta hampir asal sebut.

Gretta yang mendengarnya semakin mencebil, apalagi saat sang papa memberikannya secangkir cokelat panas kesukaannya dan menyuruhnya mendekati si pelanggan pria di sana.

Keduanya tidak tahu saja, jika suara mereka yang berbisik sudah menyambangi telinga si pria. Sehingga si pria ini sendiri bingung, harus tertawa miris atau justru tersenyum karena ia pun mendengar pelayan tujuannya diperintah menemaninya.

"Ck, kenapa harus Gretta deketin dia, Pah?"

Samar, kembali ia mendengkus dalam hati.

Kalau tidak mau ya sudah, pikirnya dalam hati.

"Kasihan, Gretta. Sepertinya dia stress banyak kerjaan."

Suara lain muncul dan si pria ini kembali meringis. Ia memang sedang stress karena bukan hanya tugas kuliah yang dikerjakan, tapi juga tugas dari kakaknya tersayang yang membuatnya mumet sendiri.

"Oke-oke."

Yes akhirnya…

Tanpa sadar, si pria ini bersorak dalam hati dan tiba-tiba ia menegang, saat suara lembut namun ketus di saat bersamaan menyambangi telinganya.

"Hai! Boleh duduk di sini?"

Deg

Bersambung.