3 Milena dan Keonaran (1)

Seperti biasa, hutan yang berada di sisi salah satu kota besar di Colorado ramai dengan aktivitas di sana-sini, baik yang kasat mata maupun tidak. Udara sore itu juga tidak begitu terik. Daun-daun yang semula berwarna hijau kini mulai terlihat menguning, batang-batang pohon mulai mengkerut seiring berlalunya hari.

Hewan-hewan kecil berlarian di batang-batang pohon, kupu-kupu yang beterbangan mencari makan, semut-semut yang berjajar rapih menuju sarangnya, beruang yang sibuk mencari ikan di sungai, serta kegiatan makhluk-makhluk penghuni hutan lainnya.

Oh! Tak lupa dengan para penghuni hutan tak kasat mata! Mereka juga sibuk menyiapkan persediaan untuk musim dingin yang akan segera tiba dalam beberapa minggu ke depan. Di saat semua penghuni tak kasat mata itu sibuk bekerja, pada salah satu batang pohon Oak yang tinggi, seorang peri ( jenis peri bertubuh kecil dan bersayap seperti Tinker Bell atau biasa disebut fairy) tampak tertidur lelap. Rambutnya halus, pirang gelap, dan terurai hingga ke pinggang, telinganya lancip dengan bentuk yang lentik, dan sayap yang indah terkulai indah di punggungnya.

Dia tertidur begitu pulas. Wajahnya yang cantik rupawan seakan-akan dirinya adalah seorang putri tidur dari negeri peri. Peri cantik itu tertidur begitu pulas dan damai, jika ada yang melihatnya saat itu juga, maka orang itu akan terkesima dan terpana akan pemandangan indah itu.

Namun, semua itu hanyalah ilusi semata. Karena peri yang satu ini, meski terlihat bagaikan makhluk terindah dan anggun, peringainya sangat buruk. Di dunia peri, ia amat terkenal karena tingkah lakunya yang suka berbuat kekacauan. Wajahnya memang cantik rupawan, hal itu tak terbantahkan dari sekian banyak peri laki-laki yang telah berusaha merebut hatinya, responnya hanya berupa gelak tawa dan ia akan menjulurkan lidah pada siapapun yang mengungkapkan isi hatinya padanya. Tak jarang hal itu membuat peri perempuan lainnya cemburu dan kesal, mungkin, seantero dunia peri tak menyukainya. Mereka tak bisa berbuat apa-apa dengan tingkah laku peri tersebut dikarenakan ia adalah salah satu keturunan terakhir dari empat peri legendaris yang pernah ada. Bahkan para tetua-pun tak bisa berbuat apa-apa terhadapnya.

Dari kejauhan, beberapa peri tampak sibuk bekerja sama mengangkut buah arbei dalam gulungan daun yang besar.

"Lihat! Dia malas-malas lagi!" gerutu seorang peri perempuan dengan sayap sedikit bengkok. Pandangan matanya menyipit tak senang melihat peri pemalas tersebut enak-enakan tidur sementara yang lainnya sibuk bekerja.

"Hentikan sikapmu, Lucinda! Kau tak mau menjadi peri jahat, kan? Biarkan saja dia! Seorang tetua bilang kalau kau terus berurusan dengan Milena, kau akan menjadi salah satu peri jahat buangan. Peri pemarah itu mengarah kesana, menjijikkan! Aku heran, dengan kelakuannya dan tabiat buruknya yang suka marah-marah dan mengacau itu, kenapa dia harus memiliki tampilan fisik yang begitu sempurna?! Dia itu sungguh mengerikan!" peri di sampingnya bergidik.

"Kau benar, padahal dia peri tercantik yang pernah kutemui selama ini." Alfred menghela napas panjang, sayapnya berkepak lambat hingga nyaris membuat buah arbei jatuh dari gulungannya.

"Kenapa para pria hanya melihat dari segi fisik saja!" koar Lucinda galak. "Frida! Kau adalah peri tercantik bagiku! Kau baik, suka menolong, wajah juga tak kalah darinya! Kenapa harus dia yang mendapat gelar itu?"

Frida hanya mengerucutkan bibirnya dan mengerutkan kening. Matanya yang indah melirik diam-diam pada Alfred di belakang Lucinda, peri laki-laki itu menatap dengan mata sayu pada Milena, peri yang mendapat julukan Peri Pemarah (dia memiliki banyak julukan, namun sifatnya yang pemarah lebih menonjol ketimbang yang lain).

"Berhenti membicarakan orang lain. Sangat tidak pantas! Hari sebentar lagi sore, kita masih ada pekerjaan setelah ini." Grace yang berada di belakang Frida memperingatkan dengan nada mencemooh.

Mereka bertiga hanya diam seribu bahasa, Grace adalah peri tertua di antara mereka bertiga, mau tak mau pembicaraan itu berhenti sampai disitu.

avataravatar
Next chapter