webnovel

Milea Alias Minah

Namaku Milea. Tapi bukan Mileanya Dilan. Aku Milea-nya Mas Bagus, tukang bangunan yang berangkat ke Jakarta setahun yang lalu tapi sekarang hilang kabar. Nama asliku sebetulnya Minah. Tapi sejak film yang orang orang bilang keren banget itu beredar, di rumah Mas Bagus ngotot memanggilku dengan nama Milea. Lebih seksi katanya. Kalo Minah kedengerannya kayak nama pembantu, katanya. Aku nurut aja, karena kata almarhum Simbok, istri itu kan harus patuh sama suami? Meski begitu, aku agak bingung, kenapa Mas Bagus keberatan sama namaku yang mirip nama pembantu? Biarpun aku ini bodoh, ga berpendidikan, cuma lulusan sd, dan nilai matematikaku dulu langganan merah di raport, tapi aku tau, kalo tukang bangunan itu juga bukan kerjaan yang keren semacam direktur. Jadi menurutku, agak kurang pantas juga kalo Mas Bagus merendahkan profesi pembantu. Tapi sudahlah. Tidak kuributkan. Apalagi itu kan bukan masalah besar. Masalah yang lebih besar, mas Mas Bagus ini sebenarnya kemana? Kenapa dia nggak pulang pulang dan nggak bisa dihubungi? Berbekal sedikit tabungan yang semakin menipis, aku pun nekad berangkat ke Jakarta, tanpa menyadari ada kejutan tragis yang sudah menungguku disana.

mileaaliasminah · Realistic
Not enough ratings
7 Chs

Bab 1 - Mileanya Mas Bagus

Namaku milea. Tapi bukan Mileanya Dilan. Aku Milea-nya Mas Bagus, tukang bangunan yang berangkat ke Jakarta setahun yang lalu tapi sekarang hilang kabar.

Nama asliku sebetulnya Minah. Tapi sejak film yang orang orang bilang keren banget itu beredar, di rumah Mas Bagus ngotot memanggilku dengan nama Milea. Lebih seksi katanya. Kalo Minah kedengerannya kayak nama pembantu, katanya.

Aku nurut aja, karena kata almarhum simbok, istri itu kan harus patuh sama suami? Meski begitu, aku agak bingung, kenapa Mas Bagus keberatan sama namaku yang mirip nama pembantu? Biarpun aku ini bodoh, ga berpendidikan, cuma lulusan sd, dan nilai matematikaku dulu langganan merah di raport, tapi aku tau, kalo tukang bangunan itu juga bukan kerjaan yang keren semacam direktur. Jadi menurutku, agak kurang pantas juga kalo Mas Bagus merendahkan profesi pembantu.

Tapi sudahlah. Tidak kuributkan. Apalagi itu kan bukan masalah besar. Masalah yang lebih besar, mas Mas Bagus ini sebenarnya kemana? Kenapa dia nggak pulang pulang dan nggak bisa dihubungi? Sambil mengaduk aduk indomie hype ayam geprek menu makan siangku hari ini, aku ngetest nelpon hpnya lagi. Tapi lagi-lagi, operator bicara.

Nomor yang Anda tuju tidak aktif atau berada diluar jangkauan...

Kubuka whatsapp buat mengecek status pesan yang kukirim semalam, dua hari yang lalu, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, dan berbulan bulan yang lalu. Semua masih centang satu.

Dulu banget Mas Bagus memang pernah menghilang tanpa kabar juga, tapi cuma 3 hari. Sebabnya karena simcardnya hangus dan duitnya habis jadi harus nunggu gajian baru bisa beli yang baru. Tapi ya cuma pas itu aja. Selebihnya dia rutin telpon ke rumah seminggu sekali dan kirim whatsapp setiap hari.

Aku juga sudah menelpon teman teman kerjanya di Jakarta, tapi nggak ada yang tau dimana Mas Bagus. Tono bilang dia terakhir melihat Mas Bagus jumat malam tanggal 13. Katanya mereka masih sempat ngopi bareng di warteg sambil main gaple malam itu. Setelah itu dia nggak tau apa apa lagi. Bahkan katanya mandor Mas Bagus juga bingung karena paginya Mas Bagus bolos tanpa kabar.

Kupindahkan indomie yang sudah matang ke dalam mangkuk beling bonus beli rinso, lalu kutuangi bumbu- bumbu dan cepat cepat aku melahapnya sebelum Fitri, putri semata wayangku yang umurnya hampir genap satu tahun terbangun.

Sejak Mas Bagus hilang, aku hanya bisa makan makanan yang sangat pedas. Ceritanya waktu itu aku sempat kehilangan selera makan, sampai badanku kurus kering dan asiku mampet. Si Yati tetangga sebelah sekaligus sahabatku nyaris putus asa karena setiap kali maksa aku makan, habis itu aku muntah lagi, hingga akhirnya dia ngetest saran entah dari siapa yang bilang bahwa makanan pedas bisa ngilangin mual. Karena udah nggak punya ide lain buat maksa aku makan, Yati pun masak oseng mercon, dagingnya satu ons, cabenya sekilo rawit semua. Ajaib. Ternyata betulan aku bisa makan masakan itu tanpa muntah! Biarpun aku makannya sambil nangis karena kepedasan plus teringat suamiku yang hilang.

Sembari menyantap mie yang pedasnya menohok-nohok bukan cuma lidah tapi juga lambung itu, aku memikirkan tabunganku yang semakin menipis. Padahal, sejak Mas Bagus menghilang dan berhenti mengirimiku bulanan, aku sudah berhemat luar biasa, dan mengambil kerjaan sampingan kanan kiri, tapi tetap aja, biaya hidup jaman sekarang itu nggak murah, apalagi aku punya bayi.

Dan ini sudah setahun. Sampai kapan aku harus menunggu, tanpa kabar dan kepastian seperti ini?

Sambil menyumpit helaian mie terakhir dari mangkukku, tiba tiba hatiku mantap.

Aku akan menyusul mas Bagus ke Jakarta. Bersama Fitri.

Aku akan mencarinya sampai ketemu.

Tekadku begitu bulat. Sama sekali tak kusadari, ada kejutan tragis yang sudah menungguku disana.